Senin, 15 Maret 2010

NONTON FILM ESEK-ESEK BARENG MANTAN GERMO

Usianya 74 tahun. Keriput-keriput di wajahnya memang menunjukkan pria asli Betawi ini sudah tua. Beberapa giginya juga sudah ompong. Hanya rambutnya yang berhasil ia sembunyikan dengan topi yang ia kenakan, sehingga saya tidak dapat mengetahui rambutnya: berubankah atau malah justru botak.

Pria ini bernama pak Dulloh. Meski tua, ia tidak renta. Jalannya masih relatif cepat untuk orang seusianya. Cara bicaranya pun masih ceplas-ceplos. Hanya pendengarannya yang agak terganggu. Kalo bertanya atau berbicara, Anda harus mengulang pertanyaan dua kali atau mendekatkan mulut Anda ke kuping pria ini.



Entah bisa dibilang untung atau malah sebaliknya rugi, saya menghabiskan satu jam ngobrol dengan ayah dua anak yang sudah mempunyai tiga cucu dan sebentar lagi akan mempunyai cicit ini. Toh, pada akhirnya saya tidak menganggap perjumpaan dan percakapan dengan seseorang sebagai sebuah ‘perdagangan’ ala kapitalis yang selalu berpikir ‘untung’ dan ‘rugi’. Buat saya, setiap perjumpaan atau percakapan dengan orang yang tidak kita kenal adalah sebuah berkah. Pasti ada hikmah yang kita tidak tahu apa hikmatnya.

Perjumpaan saya dengan pak Dulloh sebenarnya tidak sengaja. Ketika saya menunggu di sebuah bangku kayu di depan Benhil Teater, tiba-tiba seorang pria tua datang dan duduk di samping saya. Seperti biasa, kebiasaan saya menegur orang di samping saya lakukan. Rupanya gayung bersambut, pak Dulloh menikmati juga ngobrol dengan saya. Barangkali ia merasa sudah lama tidak ngobrol panjang dengan seseorang, karena teman-teman seusianya sudah meninggal atau memang ia tipe pria introvert yang selalu tertutup dan pilih-pilih lawan bicara. Ah, whatever lah!

“Dari kecil saya memang suka nonton,” ujar pak Dulloh.

Buat pak Dulloh, Benhil Teater menjadi semacam kenangan terhadap biskop jadul. Bioskop non-sinepleks model Benhil Teater sudah tidak banyak lagi, bahkan bisa dibilang sudah menjadi tempat langka. Yang masih berdiri cuma Benhil Teater di Bendungan Hilir, Jakarta Barat ini, lalu Gita Bahari, Senen, Jakarta Pusat, dan Koja, Jakarta Utara.

“Dulu di tanah Pasaraya Manggarai juga ada bioskop. Saya pernah nonton di situ,” ungkap pak Dulloh.

Ingatannya pada Manggarai ternyata bukan sekadar soal bioskop. Sudah sejak usia 9 tahun, pak Dulloh tinggal di Manggarai. Bukan bermukim bersama keluarga dan punya rumah di daerah situ. Bukan. Ia menggelandang di sekitar terminal Manggarai yang dahulu masih taman dan kemudian berubah menjadi tempat orang berdagang aneka dagangan.

“Saya malas tinggal di rumah orangtua saya, karena saya difitnah,” jelas pak Dulloh. “Masa saya dituduh korupsi uang SPP sekolah saya?”

Adalah ibu tiri yang memfitnah pak Dulloh. Sejak ibu kandungnya meninggal, ia hidup dengan ibu tiri, lebih tepatnya istri ayahnya yang ke-7. Ayah kandung pak Dulloh memang ‘tukang kawin’. Biasalah, kalo jadi ‘tuan tanah’ alias punya tanah banyak, tipe pria jadul ya ‘tukang kawin’.

Ayah kandung pak Dulloh punya 7 istri. Meski punya 7 istri, hanya istri pertama dan kedua yang menyumbangkan anak. Istri pertama menyumbang 5 orang anak, sedangkan istri kedua menyumbang 2 orang anak. Pak Dulloh adalah anak dari istri pertama.

“Sekarang ini hidup tinggal saya dan kakak saya yang ada di Padang,” kata pak Dulloh.

Dahulu ayah kandung pak Dulloh punya puluhan hektar tanah di sekitar Tebet dan Lapangan Ros, Jakarta Selatan. Maklumlah, zaman dulu, mau punya tanah tinggal patok. Luasnya ditandai dengan patok lalu diikat dengan tali. Masjid besar yang berdiri di depan bekas POM bensin Lapangan Ros sampai ke restoran Daeng Tata, Casablanca, Jakarta Selatan adalah bekas tanah ayahnya.

“Dulu POM bensin Casablanca itu bekas lapangan bola,” lanjut pak Dulloh. “Dinamakan Lapangan Ros, karena dulu memang di lapangan situ dan sekitarnya banyak ditumbuhi pohon-pohon ros liar.”

Begitu punya istri baru, ayahnya langsung memberikan jatah tanah. Mematok tanah untuk istri barunya. Begitu seterusnya. Namun sayang, tidak sejengkal tanah pun dimiliki oleh pak Dulloh mapun keluarganya kini di daerah Lapangan Ros maupun Tebet. Semua tanah yang dimiliki ayahnya dahulu, sudah habis.

“Padahal kalo menyebut nama H. Rais, pasti orangtua di situ (maksudnya di Lapangan Ros atau Kampung Melayu Kecil) pasti tahu,” papar pak Dulloh.

Percakapan kami sempat ada commercial break. Pak Dulloh tiba-tiba berdiri dan jalan ke arah luar gedung. Sekadar info, bioskop Benhil ini berada lantai 2 di dalam gedung PD Pasar Jaya yang ada di jalan Bendungan Hilir. Sementara di bawah gedung terdapat beberapa tukang jualan, salah satunya tukang buah-buahan.

Tidak berapa lama, pak Dulloh muncul lagi sambil membawa plastik hitam. Plastik ini kemudian diletakkan di samping tempat duduknya, tepatnya di tengah-tengah kami duduk. Rupanya isi plastik ini adalah buah duku. Ah, baru kali ini ada orang yang saya ajak bicara membelikan duku. Pasti ia merasa nyaman ngobrol dengan saya. Kalo iya, wah, Alhamdulillah sekali.

“Berarti saya yang harus membelikan minum,” kata saya sambil bangkit dan berjalan menuju toko yang menjual minuman.

Setelah saya membelikan dua gelas minuman, pak Dulloh melanjutkan kisah hidupnya lagi. Kali ini bukan soal ibu tirinya yang ‘kejam’, yang selalu memberi makan dirinya dengan nasi basi. Bukan soal ibu Tirinya yang mengambil jatah uang SPP yang diberikan ayahnya dan dikorupsi. Kisah pak Dulloh kali ini soal profesinya yang sempat ia jalankan beberapa tahun lalu.

“Saya dulu adalah germo,” aku pak Dulloh. “Tahun 70-an saya sempat ‘pegang’ sekitar 15 perempuan malam di Manggarai.”

Tahun 60-an dan 70-an, pusat Manggarai memang masih di stasiun kereta api. Semua orang dari berbagai daerah melalui stasiun ini. Maraknya aktivitas orang di stasiun itu yang menimbulkan gagasan pak Dulloh mempekerjakan perempuan menjadi wanita tuna susila (WTS). Dari satu-dua perempuan, pria ini sampai menjadi ‘bapak asuh’ dari 15 orang WTS. Pada tahun itu, harga sekali ‘main’ sekitar Rp 15 ribu. Dari angka segitu, pak Dulloh cuma mengutip 3 ribu perak.

Gara-gara pak Dulloh, di salah satu pinggiran rel kereta api Manggarai terkenal dengan istilah ‘gunung lentang’. Dinamakan ‘gunung lentang’, karena di situ banyak WTS yang terlentang. Kata ‘gunung’ merupakan analogi dari payudara si WTS. Di lokasi ‘gunung lentang’ sudah disediakan tenda-tenda kecil yang cukup untuk pasangan ‘bermain’, dimana di dalam sebuah tenda sudah disediakan ember berisi air berikut gayungnya. Dua alat ini tentu saja berfungsi untuk membersihkan noda-noda lengket sehabis ‘bermain’.

“Pekerjaan itu akhirnya saya tinggalkan begitu saja,” kata pak Dulloh. “Tapi setahu saya sampai sekarang masih banyak mantan anak buah saya yang meneruskan usaha di ‘gunung lentang’.”

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukan pukul 3. Artinya kami harus masuk membeli tiket biskop dan masuk ke dalam gedung bioskop. Saya membelikan dua buah tiket seharga 3 ribu perak. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun saya menonton film Indonesia lagi. Bukan sembarangan film Indonesia, tetapi film Indonesia jadul, yakni film Gadis Penggoda, sebuah film esek-esek produksi tahun 90-an. Jadi pas sekali bukan? Nonton film esek-esek dengan mantan germo.

2 komentar:

indrawisudha mengatakan...

Gokils Dad! Lagi-lagi tulisannya sayang untuk dilewatkan. keberuntungan selalu menyertaimu, Bung! Selalu ada cerita asik yang menghampiri untuk dituliskan. Kapan dibukukan?

diary si tukang gowes mengatakan...

Alhamdulillah kalo diriku beruntung bertemu dg orang dan mendapatkan cerita yang luar biasa. Sebetulnya setiap kali berjumpa dengan orang, pasti orang itu punya kisah yang istimewa, tergantung bagaimana kita menggali orang tsb.

Soal dibukukan kisah-kisah yang saya tulis. Insya Allah kalo ada penerbit yang tertarik, saya pasti mau membukukan.

Thx, bro! Sukses selalu ya!