Rabu, 31 Maret 2010

SENYUM SANG MAKELAR PAJAK

Wajahnya nampak begitu tenang. Entah yang saat ini ia hadapi bukan dianggap sebagai sebuah persoalan atau memang hidupnya sudah terjamin. Terjamin terhadap apa? Terjamin terhadap eksistensinya di dunia ini.

Jangan heran kalo pria berwajah jelek ini tersenyum. Bahkan sempat membuka mulutnya dan memperlihatkan ada dua buah gigi yang ada di tengah yang bolong. Digigit tikus kali. Ah, entahlah! Mungkin digigit anjing.

Penangkapan Gayus Tambunan seharusnya menjadi awal dari mengungkap para makelar kasus (maksus) yang menurut Susno Duadji ada di Polri. Bukan cuma di Polri, tetapi pejabat-pejabat di instansi tempatnya bekerja, yakni di pajak, dimana bersarang sejumlah makelar pajak (makjak). Gayus bisa jadi pahlawan. Pegawai Ditjen Pajak IIIa pemilik duit Rp 28 miliar ini bisa jadi pahlawan.

Ayo Gayus buka mulutmu! Ungkap nama-nama pejabat tinggi si maksus dan makjat itu! Jangan takut! Jangan takut! Jangan takut!

TAIKU MEMANG BAU, BAGAIMANA DENGAN TAIMU?

Sebelum aku mengenalmu, kau sudah mati. Yang menyedihkan, engkau mati mengenaskan. Dengan leher yang melengkung ke kanan. Nampak engkau sedang berusaha menghadap ke arah kanan.

Engkau mati dalam kondisi sedang bergerak. Aku berpikir, engkau mati secara tiba-tiba. Ada sesuatu yang membuatku mati. Mungkinkah kabar yang mendebarkan dari mantan Kabareskrim Susno Djuaji yang membuatnya jantungan, dimana engkau sebenarnya termasuk salah satu makelar kasus, tetapi kamu tidak mengakui, dan gara-gara berbohong, jantung engkau tiba-tiba mati?


Ini WC tempat saya berak. Nah, di atas lubang WC ada ventilasi, dimana di situ terdapat cicak mati.

Mungkinkah engkau mati gara-gara instansimu sekarang tercoreng moreng. Seorang berwajah jelek bernama Gayus Tumbuhan merusak sistem permakelaran yang selama ini sangat tertutup rapat dan kini jadi terbongkar? Entahlah. Yang pasti engkau sudah mati dalam kondisi mengenaskan. Dengan leher mengengok ke kanan.

Kamu tidak mungkin mati hanya gara-gara Susno Duadji. Kamu pun tidak akan mungkin mati gara-gara Gayus Tumbunan. Sebab kamu adalah seekor cecak. Kamu bukan buaya, tetapi kamu cecak.



Lubang ventilasi dengan cicak mati. Ia mati dengan mendadak, karena mencium aroma yang tidak sedap dari lubang WC

Barangkali aku tahu kenapa kamu mati. Penyebab kematianmu mungkin karena bau taiku yang nyemplung di lubang WC. Kebetulan memang kamu berdiri di atas lubang WC. Kebetulan pula saat itu aku sedang jongkok di WC. Aku tidak melihat ada kamu di atasku. Aku baru lihat kamu setelah pekerjaanku membuang kotoran selesai dan aku temukan engkau sudah tidak bergerak lagi. Engkau mati.

Engkau mati mengenaskan, mencium taiku yang bau itu. Mohon maaf, taiku memang bau. Bagaimana dengan taimu? Tai makelar-mekelar kasus yang mengambil duit rakyat? Makelar-makelar pajak yang kongkalikong dengan para wajib pajak, sehingga memperkaya diri. Bagaimana tai mereka itu? Tai mereka pasti lebih bau dari taiku. Aku yakin, cecak itu akan mati lebih awal sebelum melewati lubang WC yang sedang ditongkrongi oleh para makelar kasus dan makelar pajak itu. Sebab, aku makan pakai duit halal dan tai yang keluar dari lubang pantat berasal dari makanan halal. Sementara mereka, makan duit haram dan tai yang keluar pun pasti akan haram.

all photos copyright by Jaya

Sabtu, 20 Maret 2010

“SAYA SENENG, NIH. SERU!”

Ketika Nurdin Halid berdebat dengan Andi Mallarangeng di acara Malam Minggu One yang disiarkan live (Sabtu, 20/3/2010) di tvOne, saya sengaja nonton di ruang VIP di studio tvOne di Cawang, Jakarta Timur. Selain ingin berperan sebagai penonton, saya ingin minta pendapat soal pembahasan talk show malam itu dengan istri Nurdin Halid, yakni Andi Nurbani.

“Wah saya senang banget,” ujar wanita yang akrab disapa Ani ini. “Saya memang biasa nonton acara debat-debat kayak begini.”

Wanita berjilbab ini selalu menggangguk saat sang suami berusaha memberikan tanggapan. Saya cuma bisa senyum dan mencoba terus meminta tanggapan terhadap show yang berlangsung malam itu.

“Seru!”


Ibu Ani Halid (paling kanan pakai jilbab) ketika menemani sang suami, Nurdin Halid dalam acara Malam Minggu One di tvOne, dimana menghadirkan pula Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Andi Mallarangeng.


Sebagai istri yang baik, Ani selalu hadir. Memang nggak setiap event, tetapi kebanyakan ia seringkali muncul. Ini nggak cuma pada saat talk show, diundang salah satu stasiun televisi, tetapi pada saat menyaksikan pertandingan sepakbola, kalo memang kebetulan diajak sang suami, ia pasti ikut.

“Suka nonton bola kalo diajak nonton aja,” aku ibu tujuh anak ini.

Saking seringnya bersinggungan dengan sepakbola, salah seorang anaknya yang kuliah di Melbourne, Australia melakukan aktivitas yang berhubungan dengan sepakbola. Ia mengumpulkan teman-teman kuliahnya buat membentuk klab sepakbola di negara Kanguru itu.


Sambil terus nonton debat di acara Malam Minggu One yang disiarkan langsung oleh tvOne tiap Sabtu pukul 19.30-21.30 wib ini, Ani sempat tanya soal honor band dalam sekali manggung. Gara-garanya, dalam acara itu ada penampilan Ada Band. Bahkan ia ini sempat minta foto bareng dengan vokalis Ada Band, yakni Donny.

“Kira-kira kalo Slank manggung di Australia berapa ya, Mas?” tanya Ani yang penggemar berat Manchester United (MU) ini.

Waduh?! Slank manggung di Australia? Gokils! Wong di Indonesia aja relatif mahal, gimana manggung di Australia? Weleh! Weleh! Eh, tapi kalo yang mikirin uang saya, pasti memang rada pusing. Maklumlah, saya nggak sekaya istri Nurdin Halid ini, bo! Gaji saya sebulan cuma 23 juta perak. Ups! Ketahuan deh gaji saya. Gawat! Nah, kalo istri Nurdin ini kan pengusaha. Jadi ya wajar aja kalo tanya-tanya soal honor Slank manggung di Australia, ya nggak?

all photos copyright by Jaya



MENDING DIBIARKAN SAJA DARIPADA DIBELI SAMA ORANG

Begitulah cerita Hugeng, pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang rumput di gudang tua di sebelah Carrefour, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Bahasa keren dari tukang rumput adalah gardener. Nah, sudah tujuh tahun ini ia bekerja di gudang milik perusahaan rokok Djinggo ini.

Menurut Hugeng, gudang ini dahulu milik perusahaan televisi bermerek National Gobel. Kemudian dibeli oleh perusahaan rokok Djinggo. Sudah sejak lama, gudang ini dibiarkan begitu saja. Nggak dirobohkan buat diganti dengan gedung baru, nggak pula berusaha dijual kepada orang lain.

"Kata pemiliknya sih mending dibiarkan begitu saja," kata Hugeng, pria kelahiran Cilacap, Jawa Tengah ini.


Foto gudang Djinggo dilihat dari area Carrefour, Cempaka Putih. Mana gudangnya? Atap genteng yang ada di depan gedung Gudang Garam itu adalah salah satu atap gudang. Kelihatan kan? Kalo nggak kelihatan, Anda kayaknya perlu pake kacamata, deh!

Sekadar info, Djinggo atau dikenal dengan rokok Minak Djinggo didirikan pada tahun 1930 di Pati, Jawa Tengah. Pemilik rokok ini bernama Kho Djie Siong. Pada tahun 1932, Djinggo memindahkan pabriknya, dari Pati ke Kudus. Di Kudus ini, Djie Siong membuat produk baru yang dikasih nama Nojorono. Nama Nojorono inilah yang kelak menjadi nama holding company yang membawahi rokok Djinggo.

Sebenarnya di Jakarta ini Djinggo punya banyak gudang. Beberapa gudang nasibnya mirip yang ada di samping Carrefour ini, diterlantarkan. Salah satunya di Mangga Besar. Nggak jauh dari Cempaka Putih, ada gudang milik Djinggo, yakni di Kawasan Industri Pulogadung, yang konon masih dioperasikan.

Sebenarnya gudang di Cempaka Putih ini sangat strategis. Betapa tidak, lokasinya persis di pinggir jalan. Di deretan gudang Djinggo, ada kantor rokok yang jadi kompetitornya, yakni Gudang Garam. Menurut saya, kalo gudang Djinggo di situ, akses men-delivery barang cepat. Masuk pintu tol ke arah Tanjung Priuk maupun ke Bogor nggak jauh. Ini sempat dirasakan oleh pabrik Coca-Cola yang beberapa waktu lalu sempat beroperasi di pojokan wilayah Cempaka Putih sekitar tahun 90-an.


Ini gudang yang dilihat dari pintu masuk. Kata Hugeng, di lokasi depan situ, banyak mahkluk halus yang bergentayangan. Nggak percaya? Silahkan mampir kalo punya waktu ke situ ya? Ditunggu, lho kehadirannya. Tiada kesan tanpa kehadiran Anda.

Anyway, sampai tujuh tahun bekerja, menurut Hugeng, belum dapat info akan dipugar, direnovasi, atau bahkan dijual. Hebatnya, baik listrik maupun air, tetap menggunakan daya sesuai pabrik, bo. Gokil nggak tuh?! Padahal yang tinggal di situ cuma Hugeng, istri Hugeng, seorang anak Hugeng, dan seorang Security.

Daya listrik yang digunakan gudang ini sebesar 15 ribu watt. Makanya bayaran per bulan masih cukup besar, minimal Rp 200 ribu, bahkan pernah mencapai Rp 700 ribu. Sementara untuk PAM, pemakaiannya nggak bisa tentu. Kadang murah, kadang besar, karena saluran air yang terpasang di sepanjang gudang ini seringkali bocor. Kalo sudah bocor, kudu menelusuri pipa satu per satu dengan sabar.

"Tapi itu bukan tugas saya. Di sini saya cuma memotong rumput supaya nggak tinggi. Itu pun rumput yang di depan gudang saja. Kalo di dalam sudah hancur-hancuran," papar Hugeng.

Banyak 'penunggunya' nggak? Maksudnya setan, hantu, jin, atau genderuwo?

"Wah, banyak banget, mas," katanya pada saya sambil tersenyum. "Terutama di depan gudang ini. Kalo dimatikan, kita bisa melihat mahkluk halus berseliweran di depan sini."

Mengerikan banget ya? Jangan-jangan banyak orang yang borong belanjaan di Carrefour gara-gara 'kesambet' setan dari gudang tua milik Djinggo ini ya? Gara-gara 'kesambet' atau 'kesetanan' (maksudnya kemasukan setan), mereka yang belanja menghabiskan ratusan ribu di Carrefour. Ah, entahlah!

Itulah yang barangkali banyak orang yang nggak tahan kerja seperti Hugeng ini. Kalo nggak cuma bertahan 3 tahun, ya paling mentok 5 tahun. Hugeng ini termasuk karyawan yang paling lama bekerja di gudang milik Djinggo ini. Berani juga ya?

"Ya, daripada nggak ada kerjaan, mending jadi tukang bersihkan rumput, mas," ungkap Hugeng sambil mengisap rokok dan mengepulkan asap rokok ke udara. "Kalo jadi karyawan di pabrik, kita harus kontrak, yang harga kontraknya 300 ribu. Itu belum ditambah bayar listrik dan air. Hitung-hitung 500 ribu untuk rumah. Nah, kalo di sini kan tinggal kerja aja. Soal tempat tinggal, listrik dan air sudah dibayarin perusahaan."

Wah, bener juga sih. Biar hidup dengan banyak setan, hantu, genderuwo, tuyul dan mbak yul, atau jin dan jun, sing penting bisa dapat penghasilan di ibukota Jakarta ini. Hugeng, yang gondrong itu sadar, pendidikannya nggak tinggi. Ia lulusan SMP. Jadi, kalo nasibnya saat ini memang cuma jadi tukang potong rumput, ya terpaksa memang harus dijalani dulu. Ya, siapa tahu Allah berkehendak lain, dia berhasil menjadi pemilik perusahaan Djinggo.


Gudang Djinggo tampak belakang. Dari depan ke belakang luas, lho, tanahnya. Meski nggak akurat, tapi menurut Hugeng, tanahnya bisa mencapai lebih dari 1 hektar. Gokil nggak tuh?! Bayankan kalo tanah yang luas ini dipergunakan buat hal produktif buat masyarakat, wah, alangkah luar biasanya pemilik rokok ini. Pasti dapat dosa, eh salah! Maksudnya dapat pahala dari Tuhan. Kita bisa sama-sama mendoakan agar bisa masuk UMPTN, eh salah lagi, maksudnya masuk surga.

Saya menghayal, kebijakan pertama Hugeng ketika menjadi pemilik perusahaan adalah menjadikan gudang tua sebagai sebagai tempat yang produktif, nggak cuma buat produktif buat perusahaan tetapi buat masyarakat. Misalnya menjadikan gudang ini sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Luar biasa bukan? Nggak perlu sampai menghibahkan tanah buat Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, tetapi RTH sementara aja sebelum perusahaan punya ide tanah ini digunakan buat apa.

Apalagi dengan kebijakan pemerintah menjadikan rokok sebagai barang haram, tentu ruang gerak pabrik rokok akan semakin sempit. Distribusi akan semakin sedikit. Nah, alangkah baiknya kalo gudang yang tidak terpakai, digunakan buat warga Jakarta yang hendak berolahraga dengan membuka RTHS. Lho, kok pake embel-embel huruf "s"? Ya itu tadi, nggak perlu menghibahkan tanah, tetapi cukup "S" saja, yakni "sementara". RTH sementara.


all photos copyright by Jaya

Senin, 15 Maret 2010

NONTON FILM ESEK-ESEK BARENG MANTAN GERMO

Usianya 74 tahun. Keriput-keriput di wajahnya memang menunjukkan pria asli Betawi ini sudah tua. Beberapa giginya juga sudah ompong. Hanya rambutnya yang berhasil ia sembunyikan dengan topi yang ia kenakan, sehingga saya tidak dapat mengetahui rambutnya: berubankah atau malah justru botak.

Pria ini bernama pak Dulloh. Meski tua, ia tidak renta. Jalannya masih relatif cepat untuk orang seusianya. Cara bicaranya pun masih ceplas-ceplos. Hanya pendengarannya yang agak terganggu. Kalo bertanya atau berbicara, Anda harus mengulang pertanyaan dua kali atau mendekatkan mulut Anda ke kuping pria ini.



Entah bisa dibilang untung atau malah sebaliknya rugi, saya menghabiskan satu jam ngobrol dengan ayah dua anak yang sudah mempunyai tiga cucu dan sebentar lagi akan mempunyai cicit ini. Toh, pada akhirnya saya tidak menganggap perjumpaan dan percakapan dengan seseorang sebagai sebuah ‘perdagangan’ ala kapitalis yang selalu berpikir ‘untung’ dan ‘rugi’. Buat saya, setiap perjumpaan atau percakapan dengan orang yang tidak kita kenal adalah sebuah berkah. Pasti ada hikmah yang kita tidak tahu apa hikmatnya.

Perjumpaan saya dengan pak Dulloh sebenarnya tidak sengaja. Ketika saya menunggu di sebuah bangku kayu di depan Benhil Teater, tiba-tiba seorang pria tua datang dan duduk di samping saya. Seperti biasa, kebiasaan saya menegur orang di samping saya lakukan. Rupanya gayung bersambut, pak Dulloh menikmati juga ngobrol dengan saya. Barangkali ia merasa sudah lama tidak ngobrol panjang dengan seseorang, karena teman-teman seusianya sudah meninggal atau memang ia tipe pria introvert yang selalu tertutup dan pilih-pilih lawan bicara. Ah, whatever lah!

“Dari kecil saya memang suka nonton,” ujar pak Dulloh.

Buat pak Dulloh, Benhil Teater menjadi semacam kenangan terhadap biskop jadul. Bioskop non-sinepleks model Benhil Teater sudah tidak banyak lagi, bahkan bisa dibilang sudah menjadi tempat langka. Yang masih berdiri cuma Benhil Teater di Bendungan Hilir, Jakarta Barat ini, lalu Gita Bahari, Senen, Jakarta Pusat, dan Koja, Jakarta Utara.

“Dulu di tanah Pasaraya Manggarai juga ada bioskop. Saya pernah nonton di situ,” ungkap pak Dulloh.

Ingatannya pada Manggarai ternyata bukan sekadar soal bioskop. Sudah sejak usia 9 tahun, pak Dulloh tinggal di Manggarai. Bukan bermukim bersama keluarga dan punya rumah di daerah situ. Bukan. Ia menggelandang di sekitar terminal Manggarai yang dahulu masih taman dan kemudian berubah menjadi tempat orang berdagang aneka dagangan.

“Saya malas tinggal di rumah orangtua saya, karena saya difitnah,” jelas pak Dulloh. “Masa saya dituduh korupsi uang SPP sekolah saya?”

Adalah ibu tiri yang memfitnah pak Dulloh. Sejak ibu kandungnya meninggal, ia hidup dengan ibu tiri, lebih tepatnya istri ayahnya yang ke-7. Ayah kandung pak Dulloh memang ‘tukang kawin’. Biasalah, kalo jadi ‘tuan tanah’ alias punya tanah banyak, tipe pria jadul ya ‘tukang kawin’.

Ayah kandung pak Dulloh punya 7 istri. Meski punya 7 istri, hanya istri pertama dan kedua yang menyumbangkan anak. Istri pertama menyumbang 5 orang anak, sedangkan istri kedua menyumbang 2 orang anak. Pak Dulloh adalah anak dari istri pertama.

“Sekarang ini hidup tinggal saya dan kakak saya yang ada di Padang,” kata pak Dulloh.

Dahulu ayah kandung pak Dulloh punya puluhan hektar tanah di sekitar Tebet dan Lapangan Ros, Jakarta Selatan. Maklumlah, zaman dulu, mau punya tanah tinggal patok. Luasnya ditandai dengan patok lalu diikat dengan tali. Masjid besar yang berdiri di depan bekas POM bensin Lapangan Ros sampai ke restoran Daeng Tata, Casablanca, Jakarta Selatan adalah bekas tanah ayahnya.

“Dulu POM bensin Casablanca itu bekas lapangan bola,” lanjut pak Dulloh. “Dinamakan Lapangan Ros, karena dulu memang di lapangan situ dan sekitarnya banyak ditumbuhi pohon-pohon ros liar.”

Begitu punya istri baru, ayahnya langsung memberikan jatah tanah. Mematok tanah untuk istri barunya. Begitu seterusnya. Namun sayang, tidak sejengkal tanah pun dimiliki oleh pak Dulloh mapun keluarganya kini di daerah Lapangan Ros maupun Tebet. Semua tanah yang dimiliki ayahnya dahulu, sudah habis.

“Padahal kalo menyebut nama H. Rais, pasti orangtua di situ (maksudnya di Lapangan Ros atau Kampung Melayu Kecil) pasti tahu,” papar pak Dulloh.

Percakapan kami sempat ada commercial break. Pak Dulloh tiba-tiba berdiri dan jalan ke arah luar gedung. Sekadar info, bioskop Benhil ini berada lantai 2 di dalam gedung PD Pasar Jaya yang ada di jalan Bendungan Hilir. Sementara di bawah gedung terdapat beberapa tukang jualan, salah satunya tukang buah-buahan.

Tidak berapa lama, pak Dulloh muncul lagi sambil membawa plastik hitam. Plastik ini kemudian diletakkan di samping tempat duduknya, tepatnya di tengah-tengah kami duduk. Rupanya isi plastik ini adalah buah duku. Ah, baru kali ini ada orang yang saya ajak bicara membelikan duku. Pasti ia merasa nyaman ngobrol dengan saya. Kalo iya, wah, Alhamdulillah sekali.

“Berarti saya yang harus membelikan minum,” kata saya sambil bangkit dan berjalan menuju toko yang menjual minuman.

Setelah saya membelikan dua gelas minuman, pak Dulloh melanjutkan kisah hidupnya lagi. Kali ini bukan soal ibu tirinya yang ‘kejam’, yang selalu memberi makan dirinya dengan nasi basi. Bukan soal ibu Tirinya yang mengambil jatah uang SPP yang diberikan ayahnya dan dikorupsi. Kisah pak Dulloh kali ini soal profesinya yang sempat ia jalankan beberapa tahun lalu.

“Saya dulu adalah germo,” aku pak Dulloh. “Tahun 70-an saya sempat ‘pegang’ sekitar 15 perempuan malam di Manggarai.”

Tahun 60-an dan 70-an, pusat Manggarai memang masih di stasiun kereta api. Semua orang dari berbagai daerah melalui stasiun ini. Maraknya aktivitas orang di stasiun itu yang menimbulkan gagasan pak Dulloh mempekerjakan perempuan menjadi wanita tuna susila (WTS). Dari satu-dua perempuan, pria ini sampai menjadi ‘bapak asuh’ dari 15 orang WTS. Pada tahun itu, harga sekali ‘main’ sekitar Rp 15 ribu. Dari angka segitu, pak Dulloh cuma mengutip 3 ribu perak.

Gara-gara pak Dulloh, di salah satu pinggiran rel kereta api Manggarai terkenal dengan istilah ‘gunung lentang’. Dinamakan ‘gunung lentang’, karena di situ banyak WTS yang terlentang. Kata ‘gunung’ merupakan analogi dari payudara si WTS. Di lokasi ‘gunung lentang’ sudah disediakan tenda-tenda kecil yang cukup untuk pasangan ‘bermain’, dimana di dalam sebuah tenda sudah disediakan ember berisi air berikut gayungnya. Dua alat ini tentu saja berfungsi untuk membersihkan noda-noda lengket sehabis ‘bermain’.

“Pekerjaan itu akhirnya saya tinggalkan begitu saja,” kata pak Dulloh. “Tapi setahu saya sampai sekarang masih banyak mantan anak buah saya yang meneruskan usaha di ‘gunung lentang’.”

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukan pukul 3. Artinya kami harus masuk membeli tiket biskop dan masuk ke dalam gedung bioskop. Saya membelikan dua buah tiket seharga 3 ribu perak. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun saya menonton film Indonesia lagi. Bukan sembarangan film Indonesia, tetapi film Indonesia jadul, yakni film Gadis Penggoda, sebuah film esek-esek produksi tahun 90-an. Jadi pas sekali bukan? Nonton film esek-esek dengan mantan germo.

Jumat, 12 Maret 2010

DENSUS 88 & KUIS DULMATIN

Keberhasilan tim Densus 88 di Pamulang, Tangerang Banten pada Selasa 9 Maret 2010 membanggakan Polri. Tim ini berhasil melupuhkan tiga teroris. Terlepas dari kebangga tersebut, saat ini dikalangan wartawan peliput teroris sedang berkecamuk spekulasi yang bikin pusing. Gara-gara spekulasi, ada yang iseng bikin kuis. Nama kuisnya kuis Dulmatin. Lho, kok orang meninggal dibuat kuis? Kurang kerjaan ajah! Gokil banget sih?



Kalo soal kematian Dulmatin di warung internet seperti yang Anda lihat ini barangkali memang benar. Masa ada orang yang mau akting memerankan tokoh teroris dengan adegan mulut terbuka kayak begitu?




Apa sih kuisnya?

Ada dua pertanyaan yang kudu dijawab dan para wartawan teroris masih terus mencari jawabannya. Saya bukan wartawan teroris dan orang yang benci dengan tororis. Tetapi tentang munculnya kuis Dulmatin ini bikin penasaran juga. Ini bakal menjadi gokil story, cong!


Pertanyaan I: Benarkah pistol yang dibawa Dulmatin itu tipe pistol yang dimiliki para teroris?










Pertanyaan II: Apakah benar Dulmatin siap menyerang Densus dengan pistolnya ketika berkunjung ke warung internet? Coba perhatikan baik-baik pistol yang dipegang oleh Dulmatin. Apakah memang begitu cara memegang pistol? Kalo memang siap menyerang, apakah kondisi pistolnya seperti itu? Bukankah jari telunjuk dalam kondisi siap menarik pelatuk?

Nah, kuis Dulmatin ini sangat menarik. Sayang, nggak ada perusahaan yang berani mensponsori kuis ini. Padahal kalo ada, bakal gokil abis peminatnya. Bejibun! Apalagi kalo pemenangnya adalah mobil Mercy seri terbaru. Atau Alphard warna putih kayak ambulan itu. Mantabs kan?

Rabu, 10 Maret 2010

DIA PUN BERHASIL MEMBUKTIKAN KEJANTANANNYA

"Puji Tuhan telah lahir putri pertama km dgn selamat dan juga ibunya selamat pd hari selasa tgl 23-feb-2010 jam 1.50 pagi. Tuhan memberkati. Jhondri @ HEppy".

Itulah sebaris kalimat short massage service (SMS) yang masuk ke handphone saya. SMS tersebut datang dari Jhondri.

Siapakah Jhondri itu? Begitu pentingkah buat hidup saya?


Setiap kali potong rambut, kami selalu curhat-curhatan. Jhondri selalu blak-blakan bercerita, baik soal pribadinya yang 'melambai' maupun acara kisah serong-nya dengan pria.

Kisah Jhondri sebetulnya sudah saya tulis dalam dua tulisan. Ya, nggak apa-apalah kalo Anda pengen tahu siapa 'pria' ini. Lho kok menyebutkan kata pria dengan tanda kutip begitu? Sebeb, sebelum married, status Jhondri masih abu-abu. Apakah dia pria, setengah pria, atau bener-benar wanita yang mendompleng fisik pria?

Hal tersebut bisa dimaklumi. Jhondri adalah seorang hairstylist. Kalo diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Penata Rambut. Tukang cukur maksudnya, cong! Tetapi bukan sembarangan tukang cukur, karena he's my hairstylist. Gara-gara kehadiran seorang Jhondri, saya jadi loyal pada satu tukang cukur rambut. Padahal sebelumnya, boro-boro loyal, saya selalu berkeliling dari satu barber shop ke barber shop lain, dari satu salon ke salon lain.

Singkat cerita, Jhondri memaksakan diri buat married. Padahal saya tahu banget, ia suka banget sama pria. Jhondri itu guy saudara-saudara. Namun orangtuanya yang sudah sepuh membukakan hatinya buat menyukai wanita dan kemudian married.

"Kasihan saya orangtua saya," katanya. "Habis mereka selalu berpesan agar saya segera married. Kalo saya married maka hubungan persaudaraan antarmarga jadi berlanjut."

Memang berat buat Jhondri menerima pesan dari orangtuanya kayak begitu. Nggak heran, sifat kebanci-banciannya pun buat sementara ditinggalkan. Ia kemudian married dengan teman main di waktu kecil dulu. Namanya Heppy.



Lebih dari setahun married, Jhondri akhirnya berhasil membuktikan kejantanannya. Ia berhasil punya anak. Padahal ia hampir putus asa, karena sudah hampir beberapa bulan married, istrinya belum juga hamil-hamil.

"Padahal saya sudah memakai berbagai gerakan pas ML, lho," ujar Jhondri pada saya tanpa malu-malu.

Kisah soal ML selalu diceritakan Jhondri pada saat ia memotong rambut saya. Kami memang belum pernah janjian nongkrong bareng di cafe atau restoran. Kami juga nggak pernah curhat-curhatan via SMS. Semua cerita dibuka blak-blakan saat acara menggunting rambut.

Saya tahu mengapa beberapa bulan after married perut istri Jhondri belum melendung alias hamil. Ternyata Jhondri masih 'main serong'. Mending 'main serong'-nya dengan wanita, ini mah dengan pria, bo! Back to nature gitu, deh!

Sampai akhirnya, Tuhan membukakan hati Jhondri buat stop serong! Sejak menstop aktivitas serong, Tuhan langsung mengabulkan permohonan Jhondri dan sang istri buat punya anak. Maka lahirlah Enjel Heptiyana dengan berat 3,5 dan tinggi 50 cm. Enjel adalah nama putri Jhondri dan Heppy.

"Tuhan memang luar biasa," kata Jhondri menggagumi putrinya itu.


Meski kami berbeda kepercayaan, tetapi kami mengagumi anak kami sebagai ciptaan Allah yang luar biasa! Subhannallah!

Saat Enjel brojol, Jhondri setia menemani istrinya. Bahkan di kamar bersalin cuma tiga orang, yakni bidan, Jhondri, dan istrinya.

Proses persalinan memerlukan waktu lama, ya menurut Jhondri dari 'bukaan' ke 'bukaan' berikutnya memakan waktu 7 jam. Sampai kemudian istrinya mulas-mulas dan bidan minta buat 'ngeden' alias mendorongkan dengan cara mengencangkan perut sambil menahan nafas.

"Istri saya hampir nggak sangup lagi 'ngeden'. Sudah kelelehan sekali," ungkap Jhondri. "Tapi saya bilang, kamu pasti bisa. Kalo kamu menyerah, maka risikonya harus di-cecar. Itu perlu biaya mahal lagi."

Kebetulan bidan yang membantu Jhondri bukan bidan yang mudah mengatakan cecar. Bukan cuma bidan, banyak dokter yang juga melakukan hal yang sama. Nggak mau cape. Dikit-dikit bilang ke pasien yang mau melahirkan: "Ini harus segera di-cecar!" Padahal si dokter belum memberi tips atau semangat pada ibu-ibu yang melahirkan buat mengeluarkan bayi secara normal.

Dokter nakal mode begitu juga seringkali ditargetkan oleh rumah sakit (RS). Ini bukan isu, tetapi realita. Dokter kandungan harus memenuhi target men-cecar-kan pasien yang melahirkan, sehingga pemasukkan RS jadi besar. Gokil kan? Beruntunglah saya nggak menjumpai dokter model begini ketika istri saya melahirkan dua anak kami. Kalo ketemu, pasti saya akan perkarakan sampai tuntas. Nah, Alhamdulillah, Jhondri pun mendapatkan bidan yang dengan sabar memotivasi istri Jhondri agar terus berusaha mengeluarkan anaknya secara normal.

"Sekarang ini setiap pulang kerja, saya selalu memandangi anak kami, karena saya kagum akan kebesaran Tuhan," ujar Jhondri.

Kekaguman Jhondri, juga menjadi kekaguman saya. Why? Pertama, Jhondri telah membuktikan kejantanannya. Ia nggak tergoda dengan semangat buat tetap menjadi guy forever kayak beberapa teman-teman saya. Ia memaksa diri married dengan wanita dan punya anak. Yang kedua, seperti saya, saya selalu menganggumi anak-anak kami. Mereka adalah ciptaan Allah yang luar biasa. Meski kepercayaan saya dan Jhondri berbeda, namun kami selalu bersyukur dengan apa yang dianugerahkan Allah pada kami. Thanks to Allah.

all photos copyright by Jaya