Rabu, 17 Februari 2010

DIA YANG MEMANDANGIKU DI METROMINI 47

Sungguh membuatku gede rasa ketika ia menatapku berkali-kali. Sebelum duduk, maupun setelah duduk, pandangannya selalu ke arahku. Kebetulan, ia duduk di bangku seberang yang tepat di sampingku.

Ini kejadian sesungguhnya yang baru kualami kemarin malam, di dalam Metromini 47 jurusan Senin-Pondok Kelapa. Seseorang yang wangi, yang kutahu memakai parfum mahal, menatapku. Sengaja aku tidak membalas tatapan matanya, karena aku takut biji mataku akan beradu dengan biji matanya, dan kami selanjutnya bisa saling berpandang-pandangan. Itu aku nggak mau.

Pandanganku tetap ke depan. Ke jalan, dimana Metromini membawaku melewati jalan Rawasari dan Jembatan Serong. Ku lihat di depan banyak sekali warung-warung tenda yang menjajakan kuliner malam. Yang paling banyak kutemukan warung tenda yang menjual pecel ayam dan pecel lele.

Aku juga melihat dua rumah tua yang masih kokoh berdiri. Rumah tua yang dalam beberapa tahun ini entah seperti apa nasibnya, dipugar menjadi rumah yang lebih modern atau dibeli sehingga berpindah tangan? I don't know for sure. Yang pasti rumah yang berada di jalan Rawasari ini berdiri di antara toko-toko keramik.

Ia masih mencuri-curi pandang ke arahku. Aku semakin gede rasa. Aku merasa, aku orang yang paling ganteng di Metromini 47 itu. Aku jadi menerka apa yang membuatnya memandangiku. Apakah aku mirip Anang? Itu-tuh mantan suaminya Krisdayanti. Masa gitu aja nggak tahu? Bego amat sih loe! Aku juga menerka, barangkali dia pikir aku mirip mantan cover boy majalah Mode yang sudah almarhum itu. Ah, entahlah! Yang pasti dia terus memandangiku.

Sebenarnya aku ingin berkenalan dan mengajaknya kencan. Aku ingin ajak dia ke sebuah cafe yang cozy, dimana nggak banyak orang, nggak banyak asap rokok, nggak banyak orang memainkan Blackberry atau notebook yang cuma update status FB atau Twitter. Aku ingin menciumnya di cafe yang remang-reman itu. Ingin menjamahnya. Memeluknya.

Namun sayang, aku masih normal. Aku masih berstatus sebagai pria dan jiwa dan ragaku masih menjadi laki-laki. Kalo saja aku nggak normal, barangkali aku akan melakukan apa yang aku sudah rencanakan tadi, yakni mengajaknya ke cafe. Kalo aku normal, maka aku akan duduk bersamanya di Metromini 47 itu.

"Stop! Stop!"

Dan aku pun berhenti di Jembatan Serong, tanpa memikirkan dia lagi. Pria yang berkali-kali menatapku. Pria yang wajahnya ditumbuhi oleh bewok dan kumis. Ah, untung aku nggak muntah melihat wajahnya.

0 komentar: