Minggu, 26 September 2010

“PELACUR SEPERTI SAYA ADALAH OBAT PENENANG BAGI SUAMI-SUAMI YANG TIDAK BAHAGIA DI RUMAH”

Pernyataan tersebut diungkapkan oleh seorang call girl cantik pada dr. Boyke Dian Nugraha SpOG. Tentu saja, pernyataan itu tidak diutaran saat dokter Boyke sedang berada di kamar hotel, tetapi di dalam ruang praktek.

Kisah yang saya kutip dari buku Di Balik Ruang Praktek Dr. Boyke ini berawal ketika seorang call girl (selanjutnya saya sebut pelacur) masuk ke ruang praktek dengan wajah lebam. Ada bekas tamparan di pipinya yang menurutnya berasal dari pelanggannya. Si pelanggan menampar pipi si pelacur, gara-gara ia didiagnosa menderita penyakit kelamin. Prak! Prok!

Tamparan tersebut jelas membuat kaget si pelacur. Semakin kaget, ketika si pelanggan mengungkapkan, bahwa dirinya kencing nanah setelah 4 hari kencan dengan si pelancur itu. Menurut si pelacur, sangat tidak mungkin pelacur kelas tinggi seperti dia bisa menularkan penyakit via (maaf!) vaginanya. Pelacur kelas tinggi seperti dia selalu dijamin kesehatannya. Wong ia selalu memeriksakan kesehatan, disuntik anti-sypilis, dan para pelanggannya pun terpilih, yakni dari kelas atas semua.

“Apakah Anda yakin bahwa sebuah ‘lubang’ yang diisi berbagai cairan dari berbagai sumber dijamin bersih?” tanya dr. Boyke, seperti yang saya kutip dari buku tersebut di halaman 177.

“Jadi saya menderita penyakit kelamin, dok?” tanya pelacur itu.

“Kemungkinan iya,” jawab dr. Boyke.

Dr. Boyke pun meminta si pelacur memeriksa ke laboratorium. Nah, saat menunggu hasil lab, dr. Boyke memberi saran agar si pelacur yang lulusan akademi sekretaris ini untuk kembali ke jalan yang ‘lurus’. Artinya, berhenti jadi pelacur. Namun, si pelacur ini malah marah-marah. Katanya, ia ke dokter untuk berobat, bukan untuk diceramahi.

“Saya mengerti terhadap profesi dokter, tetapi saya pun bangga dengan profesi saya ini,” ujar pelacur itu.

Ketika muncul kata profesi, dr. Boyke sempat protes. Bayangkan, pelacur dianggap profesi sebagaimana profesi dokter. Namun, si pelacur ternyata punya alasan. “Coba dokter pikir, tanpa orang semacam saya mana mungkin dicapai persetujuan proyek-proyek besar. Saya memang umpan, tetapi umpan untuk sesuatu yang berguna dalam pembangunan,” kata dengan senyum penuh kemenangan.

Lanjutnya, “Orang semacam saya adalah obat penenang bagi suami-suami yang tidak bahagia di rumah”.

Dikatakan oleh si pelacur, bahwa banyak suami yang bertemu dengannya mengeluh soal pekerjaan dan juga rumah tangga. Para suami ini mengeluh, kalau di rumah yang mereka dapat hanya rong-rongan materi dan kecemburuan saja, sementara dengan si pelacur masalah-masalah tersebut seolah langsung selesai. Sebab, selain memberikan kenikmatan dalam layanan seks, si pelacur seperti seorang advisor jenius.

Tentang istri-istri yang seringkali membuat suami merasa terus ‘dirong-rong’ materi, saya jadi ingat salah satu khotbah Jum’at yang sempat saya dengar. Bahwa ujian yang paling berat bagi seorang suami ternyata datang dari istri sendiri. Pulang kerja, bukan menyiapkan minum atau makan malam, justru malah menyiapkan segudang pertanyaan yang menyudutkan suami. Istri marah-marah. Suami mana yang tidak BT?

Suami seorang pejabat. Bertahun-tahun menjabat, tetapi tidak menjadikan keluarga kaya raya. Tanpa sadar, istri minta ini-itu, dimana permintaan itu mendesak suami untuk melakukan tindakan yang di luar kemampuan, khususnya dalam materi. Dengan sadar sang suami menjadi koruptor. Istri tak peduli uang yang didapat sang suami, yang penting keinginan ini-itu terpenuhi. Sang suami BT, terlanjur basah, suami pun berselingkuh dan ‘main’ dengan pelacur.

Namun saya tidak membenarkan tindakan suami melakukan tindakan korupsi atau ‘lari’ ke dunia pelacuran sebagaimana contoh di atas. Sebab, tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan istri, apalagi saya sebagai pria yang menjadi pembela suami-suami peselingkuh atau tukang ‘main’ dengan pelacur. Oalah! Tulisan ini sekadar mengungkap fenomena yang sudah lama terjadi hingga kini. Tujuannya, biar bisa menjadi pelajaran kita bersama, bukan cuma pelajaran bagi dr. Boyke di ruang prakteknya.

0 komentar: