Selama ini istilah Pecun selalu dihubungkan dengan Perek. Istilah Perek sendiri sudah muncul sekitar 1980-an, dimana saat itu sedang
tren bahasa Preman di kota-kota besar. Perek
sendiri kepanjangan dari Perempuan
Eksperimen, yakni perempuan yang bisa diajak kencan oleh lelaki mana pun. Awalnya,
Perek bukanlah Pelacur profesional
alias dibayar, tetapi perempuan ‘biasa’ tetapi ‘murahan’, dimana bisa melakukan
apa dengan pasangan kencannya asal suka sama suka.
Sumber lain menuturkan, cikal bakal
istilah Perek sudah muncul awal 1970-an.
Pada tahun itu ada band yang ngetop bernama Grandfunk Railroad. Yang
mendengarkan band aliran rock ini biasanya cuma anak-anak nakal, tukang mabok, suka
bolos sekolah, dll. Di dalam geng anak-anak nakal ini ada perempuan-perempuan.
Mereka menganut seks bebas. Aktivitas seksual lelaki dan perempuan yang bebas
ini dihubungkan dengan Grandfunk. Kata ‘Grandfunk’ diplesetkan menjadi di-grenpang atau digerpang alias dipegang-pegang, baik dipegang payudara maupun kemaluan
perempuan tersebut. Istilah itu akhirnya berubah menjadi di-grepe.
Awal 1980-an, terjadi pembalikan kata grepe menjadi pegre. Pembalikan kata itu kemudian berubah jadi Perek. Sejak itu, istilah untuk
perempuan-perempuan nakal yang ‘bisa dipakai’ dalam satu komunitas disebut Perek. Namun Perek bukanlah Wanita Tuna Susila (WTS).
Bloggers, istilah Perek
kemudian berkembang ke dalam beberapa jenis-jenis, yang menjadi cikal bakal
istilah Pecun. Ada yang mengatakan Pecun adalah Perek Cuma-Cuma. Tentu Anda bisa menebak, kenapa disebut Perek Cuma-Cuma, karena Perek jenis ini tidak meminta bayaran
atau berkencan dengan lelaki sekadar suka sama suka itu tadi. Paling-paling
lelaki yang mengajak Pecun jenis ini hanya
mengajak makan atau nonton film.
Pecun juga berarti Perek
Culun. Istilah ini mengacu pada Perek
yang payah, yang dianggap ‘tidak mengerti’ pasangan kencannya. Misal, pasangan
kencan sudah membayarkan makanan atau mengajak nonton, bahkan membelikan barang-barang
kesukaan si Perek, tetapi Perek ini tidak mau ‘diapa-apakan’ oleh
pasangan kencan itu. Boro-boro diajak making
love (ML), dipeluk dan dicium pun ogah.
Lalu Pecun juga untuk sebutan bagi Perek
Pecundang atau Perek Beracun.
Istilah Perek Beracun ini ditujukan
pada Perek yang menyebarkan penyakit
pada teman kencan. Biasanya Pecun
jenis ini adalah Perek profesional
yang bergonta-ganti teman kencan dengan meminta bayaran, tetapi tidak pandai ‘menjaga
kesehatan’.
Belakangan, Pecun ini ngetop di
kalangan pengila kuliner. Di Surabaya ada mie goreng yang dikenal dengan nama Mie Pecun. Istilah Pecun di sini adalah Pedas
Beracun. Mie ini memang pedas dan bikin ketagihan, makanya diistilahkan ‘beracun’.
Untuk ‘merangsang’ pembeli, penjual Mie
Pecun ini pun membuat judul di daftar
menu dengan sangat ‘mengiurkan’, yakni Menu
Horny dan Cemilan Perangsang.
Tentu masih banyak hal yang
menggunakan kata Perek. Di kalangan
mahasiswa di Makassar, misalnya. Perek
pun diplesetkan menjadi Pengemar Rokok
Keretek. Namun Bloggers, Perek atau Pecun bukan sekadar istilah untuk Perek atau kuliner berbasis mie. Pecun juga merupakan tradisi warga Tionghoa di Tangerang. Tradisi Pecun ini dikemas dalam Festival Sungai Cisadane
yang sudah berlangsung ke-8 kali sejak 2003.
Pecun dalam tradisi ini berarti upacaya pencarian dengan
menggunakan perahu. Perayaan ini dikaitkan dengan penghormatan terhadap jasad
seorang tokoh Tionghoa yang berpengaruh, yakni Khut Gwan. Dalam sejarah, pria
ini menjatuhkan diri ke dalam sungai, begitu setelah mendengar berita hancurnya
ibu kota Cho, tempat Klenteng Bio diserbu orang Chien.
Menurut sejarawan Tionghoa asal
Tangerang, Oey Tjin Eng, perayaan Pecun
di Tangerang diperkirakan mulai dilaksanakan sejak 1910. Saat itu,
sungai-sungai di Jakarta sudah mendangkal, sehingga perayaan ini dipindahkan ke
Tangerang. Selain sungai di Jakarta sudah dangkal, Sungai Cisadane memenuhi
kriteria pelaksanaan tradisi Pecun
ini, yakni sungainya cukup luas.
Selain menampilkan kesenian
tradisional Tionghoa, seperti barongsai dan liong, dalam perayaan Pecun terdapat pula penampilan tradisi
Betawi, yakni menari atau ngibing diiringi musik gambang kromong. Para penari
ini menari di atas dua perahu yang dirapatkan dengan papan, sehingga membentuk
permukaan lebar dan datar sebagai layaknya panggung.
Dalam buku Hari Raya Twan Yang
atau Duan Yang (Hari Kehidupan) yang diterbitkan oleh Perkumpulan Keagamaan dan
Sosial Boen Tek Bio, diceritakan, pada perayaan Pecun tahun 1911 terjadi tragedi kecelakaan perahu papak hijau yang
menabrak sebuah rakit. Ketika peristiwa itu, rakit kebetulan melintang di
tengah sungai saat digelar perlombaan perahu papak hijau dan merah. Gara-gara
menabrak rakit, perahu papak hijau terlempar dan jatuh persis di atas getek.
Kabarnya, patahan perahu tersebut hingga kini disimpan di tempat Lim Tiang
Tiang di Karawaci sebagai benda yang dikeramatkan.
Tercatat pula dalam sejarah, pada
1938 perayaan Pecun dilakukan
bertepatan dengan tanggal 7-8 Imlek. Saat itu, Lim Tiang Hoat membuat sepasang
perahu naga di Kadaung Barat. Namun, perahu itu dibakar Jepang pada 1942.
Catatan lain, pada 1964, perayaan
Pecun yang semula diselenggarakan
oleh Perkumpulan Boen Tek Bio tidak diizinkan lagi digelar. Pemerintah Orde
Baru (Orba) pimpinan Presiden Soeharto melarang tradisi Pecun itu.
Setelah Orba tumbang, pada 2003
tradisi Pecun digelar lagi. Tujuan
perayaan ini adalah upaya melestarikan keragamaan budaya sebuah kota di
Tangerang, yang dihuni oleh pendatang dari China, Betawi, Jawa, serta kelompok
etnis lain. Sejumlah acara digelar dalam perayaan yang diberinama Festival
Cisadane ini berlangsung di jalan Kali Pasir dan jalan Benteng, Tangerang.
Ada sejumlah perahu yang
dilombakan di Sungai Cisadane ini. Selain perahu papak, terdapat perahu naga
yang konon usianya sudah mencapai ratusan tahun. Pada perayaan puncak,
dilakukan persembahyangan Twan Yang Usai. Di sini, warga keturunan Tionghoa
akan melakukan ritual buang sial, yaitu dengan melepas bebek ke Sungai
Cisadane. Pelepasan bebek-bebek dari sangkar ini bertujuan membuat hidup orang
terbebas dari kesialan, serta dapat melanjutkan kehidupan dengan damai dan
tenteram.
0 komentar:
Posting Komentar