Jumat, 15 April 2016

COLOKAN LISTRIK

Zelda resah dan gelisah. Wajahnya mulai pucat, begitu tahu di tempat ia duduk nggak ada colokan listrik. Lho, apa hubungannya colokan listrik dengan keresaan yang ada pada diri Zelda? Memang ia kesetrum gitu sampai wajahnya pucat? Oh, bukan!  

Di zaman internet kayak gini, colokan listrik menjadi hal penting sebuah tempat nongkrong bakal dipenuhi pengunjung. Memang, colokan menjadi salah satu indikator aja. Sebab, percuma juga kalo menu manakan nggak variatif dan nggak enak, ya sama juga bohong. Namun, sekali lagi, colongan listrik penting!

"Masa tempat nongkrong keren gini nggak ada colokan listrik, mbak?" protes Zelda.

"Iya, mbak, maaf. Kalo mau nge-charge hape bisa dekat kasir. Tapi itu juga harus gantian, karena ada yang sudah lebih dulu nge-charge," jelas pelayan kafe itu.

Zelda manyum. Sebetulnya ia mengerti, percuma protes pada pelayan. Ia bukan pemilik kafe yang punya kuasa membuat colokan di kafe itu. Namun, Zelda nggak tahu kemarahannya mau ditumpahkan pada siapa lagi kalo bukan ke pelayan. Fitri, rekan Zelda, yang ikut, cuma bisa menyaksikan protes Zelda pada sang pelayan.

"Saya ulangi lagi ya Kak pesanannya," ujar si pelayan.

Belum juga membacakan pesanan, Zelda "memotong" pelayan.

"Kalo gitu kami nggak jadi pesan deh, mbak," ujar Zelda dengan sewot.

"Nggak enak, Zel kita sudah terlanjur pesan," ingat Fitri, coba mendamaikan hati Zelda yang sudah terlanjur emosi itu. "Lagian emang kita mau ke tempat mana lagi?"

"Nggak tahu, Fit. Yang penting kita keluar dulu aja dari kafe ini..."

Zelda langsung berdiri dan meninggalkan tempat tanpa ba-bi-bu.

"Maaf ya, mbak," ujar Fitri meminta maaf kepada pelayan sambil tersenyum.

"Iya, nggak apa-apa, mbak..."

***

Sudah hampir satu jam Zelda muter-muter lokasi dan sempat beberapa kali masuk ke tempat nongkrong. Pertanyaan pertama yang ditanyakan bukan makanan, tetapi colokan listrik. Begitu sang pelayan mengatakan, tidak ada, Zelda nggak jadi nongkrong.

"Zel, sampai berapa lama lo nyari tempat nonkrong yang ada colokan listrik? Gue udah laper, nih," ujar Fitri.

"Gue juga laper, nih, Zel," ungkap Zelda.

"Nah, kan?! Yuk, makan dulu lah. Ntar maag lo kambuh, lho..."

"Yowis kita makan. Makan dimana?"

"Yang pasti tempat makan yang enak. Nggak peduli di tempat itu ada colokan listrik atau nggak ada, okay?"

"Oke deh. Dimana?"

"Di tempat pertama kita nongkrong dan lo sempat sewot dengan pelayannya..."

"Duh, jangan di situ, Zel. Gue malu tadi udah sempat ngebentak pelayan..."

"Jiaaahhh! Eh, Zel, sejak kapan lo punya malu? Lagian, mana ada kafe menolak pelanggan hanya gara-gara ngebentak pelayan?"

***

"Saya ulangi pesannya ya kak..."

Pelayan itu pun mengulangi makanan dan minuman yang dipasan Zelda dan Fitri.



Senin, 11 April 2016

Makan Sate Kelinci Nggak Usah Membayangkan Kelinci

Sate kelinci? Apa enaknya? Mungkin kalo nggak ada kata "kelinci", nggak akan ada pertanyaan norak seperti pertanyaan saya tadi. Yaiyalah! Mana ada orang bertanya heran untuk sate ayam, sate kambing, maupun sate sapi.

Sampai saat ini, sate kelinci masih dianggap "kontroversi". Setidaknya di keluarga saya. Harap maklum, di keluarga saya memang masih menganggap, kelinci tidak layak untuk dijadikan sate. Kelinci adalah binatang peliharaan yang lucu dan nggak boleh disate.


"Mau nggak?" tanya saya pada anak saya dan keponakan.

Anak saya miringis. Tanda ia menolak untuk makan. Nggak beda dengan keponakan saya yang juga ikut-ikutan memperlihatkan raut wajah menolak.

"Tega banget," ujar keponakan saya.

Saya dibilang tega? Waduh! Masa saya dibilang tega? Padahal saya cuma ingin mencoba makan sate. Ya, kebetulan aja sate yang akan saya makan sate kelinci. Ah, boleh jadi keponakan saya mengatakan saya tega, karena ia termasuk "penyayang binatang". Di rumahnya ia memelihara kucing dan juga musang. Dengan saya makan sate, saya dianggap memakan binatang peliharaan, yakni kelinci.

Meski dari raut wajah anak saya dan keponakan saya nggak ingin saya makan sate kelinci, namun saya dan istri akhirnya pesan sate kelinci juga. Oh iya, tukang sate kelinci ini ada di Lembang, Bandung, Jawa Barat. Sebenarnya sudah lama saya ingin makan daging kelinci di Lembang. Kenapa? Kabarnya, Lembang terkenal dengan kuliner sate kelinci ini, dan gule kelinci. Hingga kini dua kuliner itu menjadi menu khas yang bisa Anda temui di Lembang.

Sate kelinci pun tiba di meja kami. 

"Mau coba?" tawar saya pada anak saya dan keponakan.

Lagi-lagi mereka memperlihatkan raut menolak. 

Saya mengambil satu tusuk sate dan menyantap sepotong dagingnya. Wah, ternyata lezat. Bener-benar lezat. Selain lezat, juga empuk. Daging kelinci sebenarnya punya tekstur yang mirip dengan daging ayam. Hanya saja daging kelinci lebih kenyal dibanding daging ayam. 

"Enak kak, kayak makan sate ayam," goda saya.

Anak saya tetap memperlihatkan raut wajah tidak terima. Tidak terima saya menyantap sate kelinci. Saya yakin, ia membayangkan kelinci yang lucu dan cantik meloncat-loncat, tetapi kemudian disate, dan satenya saya makan. 

"Papa membayangkan gimana kelinci dipotongnya," ujar saya sambil mengunyah sate kelinci itu.

"Ih, pake ngebayangin kelinci dipotong segala, nih, Om," protes keponakan saya sambil memperlihatkan wajah nggak suka.

Jadi, memakan sate kelinci itu memang nggak perlu membayangkan kelinci cantik melompat-lompat atau berkeliaran di halaman rumah. Makan sate kelinci juga nggak perlu membayangkan bagaimana kelinci ditangkap, lalu disembelih, daging dipotong-potong sebesar dadu, ditusukan ke tusuk sate, dan kemudian disate. Makan sate cukup menikmati saja. Anggap saja sate kelinci kayak sate ayam. Dengan begitu, Anda menikmati kuliner khas Lembang ini. Tapi, sebelum menikmati, jangan lupa baca doa sebelum makan, lho.