Sabtu, 14 Juli 2012

BENTUK PEMBAHARUAN HUKUM ZAMAN ROMAWI # 1: DICEKIK SAMPAI MATI


Buku Bellum Judaicum (The Wars of the Jews), Yosephus menulis tentang sejarah hukuman Romawi ketika menduduki tanah Jarusalem. Meski kesaksian pria Yahudi pro-kekaisaran Roma ini diragukan kesaksian dan keakurasian fakta di bukunya, namun tak bisa dipungkiri buku karya Josephus tersebut tetap dapat digunakan sebagai sumber sejarah di zamannya.
Menurut Yosephus, sebagai pemimpin pasukan Romawi, Herodes Agung langsung menerapkan hukuman salib di Yerusalem. Herodes sebelumnya dikenal sebagai pengawal pribadi Cleopatra. Ia pun dianggap sebagai seorang Raja ‘boneka’ Romawi yang ditugaskan ke Yerusalem untuk memperbesar kekuasaan Romawi pada 74 SM. Meski dianggap boneka, ia akhirnya menjadi pemimpin yang bertangan besi diRomawi, terutama dalam menerapkan hukuman mati.

Saat itu, hukuman salib bukanlah tradisi wilayah yang saat itu dikuasai oleh Yahudi. Hukuman mati sesuai tradisi Yahudi adalah dirajam atau dilempari batu sampai mati, dibakar, maupun dipenggal kepalanya. Tentu jenis hukuman tersebut tergantung dari jenis kejahatan yang dilakukan oleh si terhukum. Namun, hukuman tipikal Yahudi hanya dua, yakni dirajam dan dibakar. Sementara hukuman mati cara disalib baru ada setelah pasukan Romawi menjajah ke tanah Jerusalem.

Dalam Kitab Bilangan, disebutkan tentang hukum rajam bagi mereka yang menghujat hari Sabat, “Pastilah dihukum mati; segenap umat Israel harus melempari dia dengan batu di luar tempat perkemahan.” (Bil 15:35). Selain penghujat hari Sabat, mereka yang menyembah berhala, kepada dewa-dewa, kepada matahari atau bulan, atau bintang-bintang di langit juga dihukum rajam. Tak terkecuali mereka yang menghujat atau memfitnah.

Lalu menurut Kitab Imamat, disebutkan hukuman mati dengan cara dibakar, yakni jika seorang laki-laki menikahi seorang perempuan sekaligus dengan ibunya. Ketiga orang ini harus dihukum bakar agar perbuatan mesumnya lenyap (Imamat 20:14). Hukum bakar juga berlaku pada seorang perempuan yang menjadi pelacur. Ia dianggap menodai sang ayah, sehingga harus dibakar (Imamat 21:9).

Yosephus juga menceritakan di buku Bellum Judaicum, menjelang akhir hayat pada 4 SM, Herodes Agung menjatuhi hukuman mati bakar pada dua orang ahli kitab dan beberapa muridnya, karena mencopot hiasan elang yang dipasang Herodes di Bait Allah. Sementara putra Herodes Agung, Herodes Antipas, sempat memerintahkan hukuman mati dengan cara memenggal kepala Yohanes Pembabtis dan rasul Yakobus anak Zebedeus.

Bloggers, selain hukuman mati dengan cara dirajam dan dibakar, bentuk pembaharuan hukuman mati yang dilakukan pada zaman Herodes Agung adalah dicekik sampai mati. Mereka yang sempat ‘merasakan’ hukuman mati dengan cara dicekik ini adalah dua putra Herodes Agung sendiri, yakni Alexander dan Aristobulus. Mereka berdua dieksekusi di penjara di Sebaste, sebuah kota dekat Kaisarea. Hukuman mati ini terjadi setelah Herodes memperoleh izin dari Kaisar Agustus, seorang Kaisar yang menggantikan kediktatoran Julius Caesar.

Di antara hukuman mati itu, menurut Yosephus, penyaliban adalah bentuk kematian yang paling menyedihkan. Hukuman seperti ini dijatuhkan tentara Romawi terhadap para pemberontak. Tentu pendapat ini sangat kontroversial. Sebab, banyak pembaca pada saat itu protes. Mereka mempertanyakan: apakah Yesus itu pemberontak sehingga disalib? Apalagi di buku itu Yosephus juga menambahkan, hukuman mati dengan cara disalib hanya dijatuhkan pada para budak, perompak, dan musuh-musuh serta penjahat-penjahat yang secara khusus dipandang rendah, hina. Oleh karena itu, hukuman salib dipandang sebagai cara mati yang sangat memalukan dan hina.

Pada saat itu, hukuman mati dengan cara disalib juga berlaku di Persia,Yunani, dan Carthagena (Kartago). Menurut pendapat para ahli hukum Romawi, para perampok yang sangat kejam (famosi latrines) harus disalib. Mereka yang memvonis hukuman mati disalib ini di bawah wewenang Gubernur setempat.

Dalam ketentuan hukum Romawi, Gubernur bertindak sebagai komandan tentara. Ia berwenang menjatuhkan hukuman mati terhadap pemberontak dan tentara yang bertindak kejam, sehingga mencemarkan nama baik militer. Hukuman salib dianggap sebagai alat untuk melindungi penduduk di wilayah kekuasaan Romawi dari ancaman tindakan anarkis, baik oleh tentara maupun pelaku kriminal.

Hukuman salib juga diperuntukan bagi para budak. Tak heran saat itu muncul istilah servile supplicium atau hukuman para budak. Tentang hal itu, diungkapkan oleh Plautus (250-184 M), seorang penulis zaman Romawi yang pertama kali mengungkapkan hukuman salib Romawi. Penulis Romawi lain yang mengungkapkan hukuman salib ini adalah Sceledrus lewat karyanya berjudul Miles Gloriosus (205 SM).

Scio crucem futuram mihi sepulcrum; ibi mei maiores sunt siti, pater, auos, proauos, abouos (Saya tahu salib akan menjadi kuburanku; yang juga menjadi kuburan leluhurku, ayahku, kakekku, buyutku, buyut ayahku…” (Sceledrus, Miles Gloriosus).

(bersambung)