Minggu, 04 Maret 2012

PUISI TAUFIQ ISMAIL DI DEKLARASI MIUMI

Pada Selasa (28/2/2012) lalu, sejumlah tokoh nasional berkumpul di Hotel Grand Sahid. Mereka adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. DR. Din Syamsuddin, Ketua MUI, KH. Yunahar Ilyas, Ketua Mahkamah Konstitusi, Prof. DR. Mahfudz MD, serta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Bambang Widjojanto. Mereka hadir dalam rangka Deklarasi Majelis Intelektual & Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Di antara tokoh nasional, hadir pula Budayawan, Taufik Ismail.

Dalam puisinya, Taufik mengkritisi para pemimpin di tanah air yang belakangan sudah kehilangan rasa malu. Tanpa rasa malu, mereka korupsi dan memanipulasi. Rasa malu yang diajarkan di Taman Kanak-Kanak dahulu, tak lagi berarti. Bahkan ketika berada di depan pengadilan dan diputuskan bersalah oleh sang Hakim, mereka masih sempat tersenyum.

Rasa malu benar-benar hilang. Inilah yang membuat Taufik Ismail membuat puisi berjudul Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu yang diperdengarkan di depan sejumlah tokoh nasional, ulama, dan tamu-tamu di Deklarasi MIUMI.

***

Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu

Seorang ibu membawa anaknya ke sekolah A

dia mengajukan permohonan

“Tolong, tolong anak saya diajari rasa malu,” katanya

Kemudian, jawab kepala sekolah

“Waaah, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu,”

“Loh, kenapa, pak?”

“Begini, Bu, ketika murid-murid nyontek, guru-guru kami pura-pura tidak tahu,”

“Ooooh…”

Ibu itu pergi, membawa anaknya ke sekolah B

dia menyebutkan permintaan yang serupa

“Bu, bu, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya

Kemudian, jawab ibu kepala sekolah

“Waadduh, di sekolah kami tidak lagi diajarkan rasa malu,”

“Loh, bagaimana toh itu maksudnya, Bu Kepala Sekolah?”

“Begini, begini… Ketika UAN,

ada guru ditugaskan diam-diam,

kepada murid memberi jawaban ujian,”

“ooooo…”

Ibu yang gigih itu

ibu itu sangat gigih

dia membawa anaknya ke sekolah C

dia mengulang lagi permintaan itu juga

“Pak, pak, pak, pak, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya

Jawab kepala sekolah,

“Yaaaah, kok nggak tau sih ibu ini?

Di sekolah kami kan sudah lama sekali tidak diajarkan rasa malu,”

“Loh, bagaimana itu penjelasannya Pak Kepala Sekolah?”

“Walah, walaaah, sekolah kami sudah seratus persen lulusnya,

dan itu harus dicapai dengan segala cara,”

“Bagaimana itu caranya pak?”

“dee ngaan see gaa laa caa rraa…”

“ooooooooo…”

9 (sembilan) “O”-nya itu

***

Tiga Kali Potong

Di Republik Rakyat Tiongkok koruptor dipotong leher

Di Arab Saudi koruptor dipotong tangan

Di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan

Saya dapat dari sampeyan. Terima kasih!

(sembari Taufik Ismail menunjuk ke salah seorang di depannya)

***

Dua Kali Mundur

Di Jepang, menteri merasa salah memang mundur

Di Indonesia, menteri jelas salah pantang mundur

***

(“Puisi terakhir, inspirasi dari Datuk Sri Anwar Ibrahim yang memberikan perbandingan ini diceramahnya di teater kecil di TIM [Taman Ismail Marzuki, Jakarta]“, kata Taufiq)

Sama Saja Serakahnya, Sama Saja Serakahnya, Cuma… Titik, Titik, Titik

Koruptor di negara bekas jajahan Inggris

geraknya halus, tidak terus terang, lumayan sopan, masih ada rasa segan

Koruptor di negara bekas jajahan Belanda

kasar tingkahnya, gayanya blak-blakan, tanpa rasa malu, tidak sungkan-sungkan

Yang satu melaksanakan transaksinya di bawah meja saja

Yang satu lagi melaksanakan transaksi di bawah meja

dan di atas meja

dan sehabis itu mengunyah mejanya

***

Pesan cerdas dalam puisi Taufik Ismail di atas tersebut juga menjadi amanah untuk organisasi masyarakat (ormas) berbasis Islam, MIUMI. Bahwa ormas ini harus bisa menjadi “sekolah” yang mengajarkan rasa malu. Seluruh pengurus maupun anggota MIUMI harus menularkan sifat malu yang sekarang ini telah hilang. Tak cuma para politikus yang kata orang sudah putus urat malu, namun sejumlah ulama pun banyak yang tak punya rasa malu lagi.

Saat ini, ulama-ulama yang tidak punya rasa malu itu biasa melacurkan diri dalam dunia politik, sehingga yang dikedepankan bukan lagi penegakkan akidah atau memperkokoh syariat Islam, tetapi partai politik (parpol). Ada pula ulama-ulama yang merendahkan diri dengan mematok tarif dalam setiap tausyiah mereka, baik di televisi, maupun di event-event off air. Jika honor tinggi, mereka mau berbagi ilmu dan melakukan tausyiah di event tertentu. Kelak, MIUMI akan “membereskan” ulama-ulama komersil berjiwa “selebriti” ini.

MIUMI bukanlah organisasi bukanlah ormas tandingan manapun, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI). MIUMI justru memperkuat otoritas lembaga keulamaan. Para intelektual dan ulama muda yang sepakati berdirinya MIUMI ini adalah, Dr Hamid Fahmi Zarkasyi, ketua program kader ulama pesantren Gontor, Ponorogo yang secara aklamasi ditunjuk sebagai Ketua Majelis Pimpinan MIUMI, dan Bachtiar Nasir Lc. MM sebagai Sekjen MIUMI. Bachtiar merupakan dai yang menjadi nara sumber rubrik konsultasi agama di surat kabar harian Republika.

“Lahirnya organisasi ini bukan menyaingi MUI tapi justru memperkuat otoritas lembaga keulamaan setingkat MUI,” kata Hamid Fahmi. Nantinya, fungsi majelis MIUMI ini lebih pada aksi dan menjadi solusi bagi persoalan yang selama ini dihadapi umat Islam.

Menurut Sekjen MIUMI Bachtiar Nasir lembaga ini diharapkan bisa merevitalisasi perbedaan yang terjadi di antara ormas Islam. Misalnya, perbedaan waktu hari raya Idul Fitri, jatuhnya hari puasa Ramadhan yang berbeda, serta melemahnya lembaga ormas Islam yang ada selama ini.

Di organisasi ini ada Dr. Adian Husaini, ketua program magister dan doktor pendidikan Islam universitas Ibn Khaldun, Bogor dan pakar tafsir al Quran, Muchlis M. Hanafi dari Pusat Studi Al-Aqur’an Depag), M. Idrus Ramli (Pengurus NU Jember), Muh. Zaitun R. (Wahdah Islamiyah-Makassar), Nashruddin Syarief, Jeje Zaenuddin (Pemuda Persis), Fahmi Salim (Komisi Kajian & Penelitian MUI), Ahmad Sarwad (Rumah Fiqih Indonesia), Farid A. Okbah (Yayasan Al Islam), Fadzlan Gamaratan (Yayasan Al-Fatih Kaaffa Nusantara), Henri Shalahuddin (Peneliti & Sekretaris Insists), Asep Sobari (Redaksi Majalah Gontor), M. Khudori (Alumnus Gontor & Univ. Islam Madinah)

Meski terdiri berbagai ormas, ke-15 ulama muda pendiri MIUMI ini sepakat untuk tidak mempertajam perbedaan-perbedaan di tingkat khilafiyah atau zhaniyah. “Sudah bersatu saja kita belum tentu mampu menghadapi tantangan yang begitu kuat, apalagi sendiri-sendiri,” tandas Adian Husaini.

Cikal bakal pendirian MIUMI dilakukan di awal tahun 2012. Saat itu, Ustaz Bachtiar Nasir merangkul sejumlah intelektual dan ulama muda dari berbagai ormas Islam untuk bersama. Pendiri MIUMI meyakini, wadah ini memberi harapan besar pada dakwah Islam di Indonesia.

Ke depan, organisasi ini tabu bagi anggota yang ingin berpolitik.”Kami tidak akan mencampurkan ke dunia politik. Syaratnya, bila ada anggota hengkang ke politik maka harus berpisah dengan MIUMI,” tegas Hamid.

MARIO TEGUH: "SAYA MENGHARGAI PROFESI COMIC"

Teheran-heran. Begitulah reaksi pertama Mario Teguh (55) ketika pertama kali diundang untuk tampil di panggung stand up comedy di Metro TV. Menurut pria kelahiran Makassar, 5 Maret 1956 ini, agak aneh seorang motivator, apalagi sekelas dirinya, berdampingan bersama para comic (sebutan untuk comedian di stand up comedy).

Motivator berbeda dengan comic,” ujar pimpinan Mario Teguh Super Club (MTSC) ini. “Meski dua profesi ini berdiri sendiri di atas panggung di depan puluhan bahkan ribuan orang, namun kedua profesi ini berbeda”. Memang, lanjut Mario, ada humor dalam motivasi. Tapi humor yang dibawakan seorang Motivator adalah humor kehidupan dalam konteks berbeda.

Motivator bukan melucu, tetapi mengajak orang melihat humor kehidupan”.

Mario memberi contoh, humor dalam kehidupan itu misal ada manusia yang punya impian besar, tetapi upayanya kecil. Atau ada manusia yang memiliki khayalan yang kuat, tapi kesungguhannya lemah alias malas. “Itu kan lucu,” ujar Mario. “Seperti ingin kaya, tetapi prilakunya memiskinkan diri”.

Meski mengaku berbeda dari comic, penampilan Mario Teguh di acara stand up comedy show edisi spesial akhir tahun 2011, yang ditayangkan Metro TV bertepatan tahun baru 2012 lalu, membuat ratusan penonton dan comic-comic berdecak kagum. Pasalnya, ternyata Mario pandai melucu dan dianggap sebagai seorang comic.

Tentu kehebatan Mario berdiri di atas panggung stand up comedy tidak serta merta menjadikan dirinya alih profesi. Ia justru bangga pada comic-comic. Ketika ditanya apa perasaannya setelah berada bersama para comic? “Saya sangat menghargai profesi comic, karena tidak ada pikiran dan perhatian lain dari para comic saat tampil, yakni memberikan kebahagiaan pada orang lain, meski pada saat mereka sedang tidak bahagia”.

Sebagai bentuk penghargaan untuk comic, di edisi Mario Teguh Golden's Way (MTGW) pada 26 Februari 2012 lalu, Mario Teguh mengundang Mogol sebagai bintang tamu sekaligus menjadi Host tamu di acara MTGW pukul 19:05 wib.

Jika dalam stand up comedy show selalu tampil dengan mengenakan kaos, kali ini Mongol “dipaksa” menggenakan jas dan dasi. Comic yang dikenal dengan istilah “KW” ini akan menemani Mario Teguh dalam tema: Capek Deh!.

Life is good, life is beautiful, sehingga diri Anda tidak mempan dengan kata: capek deh!