Sabtu, 05 November 2011

NGATRI DARI SUBUH DEMI E-KTP

Kelar sholat subuh, tetangga saya nampak bergegas menuju ke Kelurahan. Kebetulan saya berpapasan dengan tetangga saya ini. Ia membawa secarik kertas undangan dari Ketua RT-nya, yang berisi panggilan untuk hadir dalam pembuatan e-KTP.

“Mending datang lebih awal daripada dapat nomor belakangan,” ujar tetangga saya itu.

Tentu saja saya heran. Kenapa harus datang sejak subuh ke kelurahan sementara kantor kelurahan sendiri bukannya baru jam 8 pagi? Menurut penjelasan tetangga saya, kalo kita datang siang, dijamin kita akan mendapatkan nomor antrean 100-an. Dan itu bisa jadi saya akan dilayani siang hari.

Hari itu kebetulan saya harus menghadiri miting pukul 12. Lunch meeting. Pikir saya, daripada saya mendapatkan nomor buncit yang baru dilayani siang, lebih baik saya ikut ucapan tetangga saya: antre mendapatkan nomor di kelurahan kelar sholat subuh. Ya, apa boleh buat…

Ternyata benar, sejak dari subuh sampai menjelang pukul 7 pagi, anteran warga untuk mengambil nomor cukup ramai. Meski waktu masih menunjukan pukul 7 pagi, tetapi nomor antrean sudah mencapai nomor ke-100. Alhamdulillah saya mendapat nomor ke-3, sedang tetangga saya nomor 1 dan 2.

Belum pernah terjadi dalam hidup saya antre dari subuh hanya untuk mendapatkan nomor. Ini gara-gara e-KTP. Bagaimana pengalaman Anda membuat e-KTP? Yang pasti, ketika pemerintah menggulirkan wacana e-KTP, terus terang saya senyam-senyum. Kenapa? Sebab e-KTP sebenarnya program usang yang sudah dilakukan di kota kecil di Bali bernama Jembrana. Tentang Jembrana sudah sempat saya tulis di Kompasiana.

Jembrana adalah Kabupaten di Indonesia yang pertama kali mempopulerkan e-KTP. Dengan jumlah penduduk sekitar 269.859 jiwa, Jembrana sudah mampu mengembangkan teknologi elektronik dalam satu kartu yang belakangan popular dengan sebutan e-KTP.

Adalah mantan Bupati drg. I Gede Winasa yang berinovasi terhadap e-KTP ini. Alhamdulillah saya sempat bertemu dengan sang Bupati pada 2009 dan melihat pelaksanaan secara langsung kehebatan e-KTP ini, dimana satu kartu bisa digunakan untuk berobat ke rumah sakit, keperluan admistrasi di Kelurahan, maupun untuk pemilihan Kepala Desa (Kades).

Kini, program e-KTP yang digagas Jembrana diangkat menjadi proyek nasional. Dari pengamatan saya pribadi yang sudah membuat e-KTP kemarin, berjalan relatif lancar. Petugas mulai membuka loket tepat pukul 08:00 wib, dimana nomor-nomor anteran dipanggil satu per satu.

Proses pembuatannya setelah mendapat undangan dari masing-masing RT adalah mendapatkan nomor antrean. Setelah ada nomor antrean, Anda akan dipanggil dan masuk ke dalam sebuah ruang, dimana Anda akan melakukan beberapa tahapan sebagaimana membuat SIM. Selain difoto, Anda harus membuat tanda tangan di atas sebuah mesin yang terkoneksi ke komputer. Anda juga harus melakukan foto mata dan finger print. Nah, pengalaman saya, aktivitas yang cukup menyita waktu terjadi di finger print. Mesin finger print ini cukup merepotkan (baca: kurang sensitif).

Jari-jemari kita kudu ditekan dengan keras agar serat-serat di kulit bisa terdeketsi oleh mesin finger print tersebut. Kabarnya, mereka yang punya kulit jari yang halus itu sulit terbaca. Beda dengan mereka yang memiliki kulit yang kasar. Tak heran, saya butuh waktu sekitar 10 menit di mesin finger print ini.

Alhamdulillah, kurang lebih 15 menit, saya sudah keluar dari ruang proses e-KTP. Beruntung sekali saya mendapat nomor awal. Sebab, begitu keluar ruangan, saya melihat sejumlah warga yang berjubel menunggu anteran.

“Wah, kalo saja saya nggak ketemu elo, mungkin gue nggak bakal antre di Kelurahan abis subuh bro,” ujar saya pada tetangga saya.