Senin, 29 Juni 2009

MANUVER POLITIK SI TIKUS IMUT

Bukan Harimau namanya kalo nggak punya nyali. Sebagai Raja Rimba, dia berani mengatakan, pemilihan Raja Rimba periode mendatang dialah yang layak dipilih kembali. Tanda-tanda kesombongan itu bisa tercium dengan kampanye yang dilakukannya dan para pengikutnya, dimana slogan “cukup satu ronde” aja digelorakan dimana-mana.

Sebenarnya di atas kertas, Harimau bakal menang telak. Bayangkan, persentase pemilih dari kalangan dunia binatang, gokil berat. Mayoritas penghuni hutan rimba melakukan kolaborasi suara atau bahasa politik manusia adalah berkoalisi untuk memilih Harimau sebagai Raja Rimba periode mendatang. Kalo Harimau menang, itu artinya dia mengalahkan keempat peserta pemilihan Raja Rimba yang terdiri dari Gajah, Jerapah, dan tentu saja Tikus. Padahal ketiga binatang keren abis ini yakin berat bakal mengalahkan lawan-lawan mereka.



Gajah misalnya. Binatang bertubuh tambur ini menganggap dirinya bisa mewakili kaum kecil yang kebetulan dikaruniai Tuhan bertubuh imut. Dengan kekuatan tubuhnya, Gajah bisa membela yang lemah. Kakinya yang segede tiang beton sebuah rumah bisa menginjak-injak musuh. Badannya yang bulan dan besar jelas akan memejretkan badan lawan-lawannya. Maklum, berat gajah paling kecil aja lebih dari 200 kg. Kebayang dong berat gajah dewasa? Yang nggak kalah penting belalainya.

Belalai gajah multifungsi. Gajah dewasa menggunakan belalai buat mengangkat, menimang-nimang, atau menyeamatkan anak gajah kalo mengalami bahaya. Dengan belalai yang melingkar, anak gajah diangkat. Bayangkan kalo binatang lain yang menjadi lawan politiknya? Tubuh binatang itu dilingkari oleh belalai sang gajah hingga kencang. Kalo nggak remuk tuh body.

Belalai gajah bisa mengelurkan bunyi yang sangat keras. Persis terompet dengan kekuatan suara yang naudzubillah min dzaliq kerasnya. Barangkali irama musik heavy metal juga kalah nyaring dibanding jeritan gajah via belalainya.

Last but not least, belalai gajah bisa menyemburkan air yang super keras. Sesungguhnya, semburan gajah via belalai ini cocok buat menghalau para Demonstran yang melakukan aksi demonstrasi tapi anarkis. Gajah bisa menggantikan mobil pemadam kebakaran yang masih menggunakan selang air manual. Dengan kemampuan menyemprot berkekuatan tinggi, gajah tentu bisa menghalau musuh-musuhnya.



“Oleh karena itu, akulah yang pantas menjadi Raja Rimba!” kata Gajah berkampanye.

Lain gajah, lain jerapah. Jerapah merasa lebih pantas menjadi Raja Rimba. Lehernya yang panjang, membuat dirinya mampu melihat musuh-musuh yang akan menyerang. Ketika bintanag lain belum sempat mengantisipasi musuh, jerapah justru mampu memantau tempat persembunyian musuh.

“Kalo kebetulan musuh-musuhku main keroyok, aku bisa segera melarikan diri,” ujar jerapah.



Kelebihan lain jerapah adalah langkah kakinya. Langkah jerapah delapan kali lebih lebar daripada langkah manusia dewasa. Meski orang dewasa menggunakan sepeda buat mengejar jerapah, tetap aja nggak bisa mengejar. Even Harimau yang katanya Raja Rimba, dia pusing tujuh keliling kalo harus mengejar jerapah. Maklumlah, lari jerapah bisa mencapai 50 km/ jam, cong!

“Aku pernah menyerang singa dengan kukuku,” papar jerapah. “You know what? Singa kalah! Udah gitu, kukuku yang sangat kuat ini mampu mematahkan rahang singa. Makanya jangan salah pilih. Akulah yang cocok menjadi Raja Hutan!”

“Aku memang nggak sesangar kamu harimau. Aku juga nggak sebesar kamu gajah. Aku pun nggak setinggi kamu wahai jerapah. Tapi akulah binatang yang paling ditakuti oleh binatang, termasuk manusia!”

Ucapan tikus itu tentu membuat membuat harimau, gajah, dan jerapah tertawa terkekeh-kekeh. Maklumlah, mereka bertiga merasa aneh, bagaimana mungkin binatang sekecil tikus bisa mampu menjadi Raja Rimba? Dengan menggunakan logika manapun, tikus pasti akan kalah, baik dengan gajah, jerapah, apalagi harimau.

“Anda terlalu percaya diri my friends,” kata harimau.

“Anda harusnya ngaca terlebih dahulu!” ungkap gajah.

“Setidaknya anda nggak ikut pemilihan Raja Rimba ini. Tapi ikut Pilpres yang diselengarakan oleh manusia,” papar jerapah.

Tikus cuek dilecehkan kayak begitu. Dia tetap keukeh ikut pemilihan raja rimba. Dia yakin, dengan segala sumber daya yang ada dalam dirinya, dia mampu terpilih jadi Raja Rimba. Slogannya sangat sederhana, yakni from animal to human. Dari binatang menjadi manusia.

“Saudara-saudara, kita jangan pernah mau menjadi binatang seumur hidup! Kita boleh tinggal di hutan rimba ini. Tapi kita harus bisa menjadi manusia. Bagaimana caranya? Kita nggak perlu melakukan operasi plastik agar menjadi manusia. Kita nggak perlu berganti kelamin buat menjadi manusia. Intinya kita nggak perlu mengganti kodrat kita. Namun yang terpenting kita harus mencuci otak manusia agar manusia terkontaminasi...”

“Setujuuuu!!!!”

Pidato tikus itu membuat harimau, gajah, dan jerapah kaget. Ternyata hadirin yang mendengarkan pidato tikus, begitu antusias. Bahkan teriak setuju dari seluruh penghuni hutan, menjadikan ketiga kandidat panik. Kok bisa-bisanya mereka menyetujui binatang kecil imut ini?

“Saudara-saudaraku, ideologi tikus lebih dahsyat dari ideologi yang dibuat oleh manusia. Betapa hebatnya manusia, kalo otak mereka udah berubah menjadi otak tikus, pasti akan punya cerita berbeda. Cerita sebagaimana manusia-manusia yang kabur membawa uang sesamanya. Cerita dimana mereka akan berubah ketika harus berhadapan dengan uang, uang, dan uang. Dan kami warga tikus sangat mempengaruhi hidup manusia!”

“Horeeee!!!!!”

“So, jangan ragu-ragu, pilihlah saya. Dengan bantuan manusia, hidup kita di hutan rimba ini akan menjadi kaya. Manusia akan membantu kita membuatkan rumah-rumah yang indah, mobil-mobil yang mahal, dan uang-uang yang akan dimasukkan ke pundi-pundi kita. Lihalah lawan-lawanku! Meski harimau perkasa, meski gajah besar body-nya, dan jerapah tinggi lehernya, toh mereka tetap dimasukkan ke dalam kandang. Mereka cuma dijadikan objek manusia. Sementara aku? Aku bebas berkeliaran dimana-mana, even di gedung yang nggak jauh dari TVRI itu. So, don’t forget to pick me! Hidup aku!”

“Hidup!!!!!”

“Akulah Raja Rimba!”

“Hidup!!!!”

Kriiiiiiiiiiinggggg!!!!!!!

Tiba-tiba suara itu muncul. Suasana tiba-tiba senyap kayak nggak ada penghuni. Mereka mencari-cari lokasi bunyi itu berasal. Rupanya suara itu berasal dari kantong si tikus yang sedang berorasi.


Dasar tikus! Nggak duit, nggak pintu, habis dikerjain. Ini pintu di rumah gw yang terkena ulah tikus, digerogori sampai membentuk sebuah lingkaran.

Tikus itu kemudian mengeluarkan sebuah benda yang berbentuk kotak sebesar kartu remi. Benda itu konon sekarang menjadi impian mayoritas manusia yang gadget-freak. Nggak peduli kepemilikan benda itu dengan cara ngutang via kartu kredit atau beli via black market. Sing penting benda itu kudu dimiliki oleh setiap insan, termasuk anak-anak dimiliki oleh anak-anak SD. Kalo nggak, katanya ketinggalan zaman.

“Hah?! Tikus punya BlackBarry?” tanya harimau keheranan.

“BlackBarry-nya keren pula....” komentar gajah.

“Beli dimana tuh?!” tanya jerapah sok pengen beli, padahal lagi bokek.

“Saudara-saudaraku dengan BlackBarry ini, aku mampu menjalankan roda bisnisku dari jauh. Aku bisa mengarahkan manusia-manusia untuk melakukan aksi mereka dengan supercepat. Dengan BlackBerry ini, aku bisa mengajak manusia untuk membawa uang senilai Rp 3,67 triliun dan US$ 26,37 juta, dimana ini sempat masuk ke laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dikelola oleh manusia-manusia juga. Aku juga berhasil mengelabui manusia yang kerja di Bank Indonesia (BI) agar mengaliri dana senilai Rp 100 miliar. Yang terakhir dan kalah menarik, dengan BlackBerry aku mampu meng-update status-ku di Facebook tanpa harus mengerutu gara-gara koneksi internet lambat. So pilihlah aku!”

“Hidup tikus!”

“Tikus hidup!”

“Hidup-hidup tikus!”

“Tikus-tikus hidup!”

“Tikus imut!”

Sorak sorai penghuni hutan lambat laun membuat minder harimau, gajah, dan jerapah. Mereka yang sebelumnya percaya diri menjadi pemenang pemilihan Raja Rimba, belakangan menjadi ciut. Tikus agaknya berhasil menarik simpati penghuni hutan. Manuver politik tikus imut begitu cermat.

“Kayak-kayaknya nggak bisa menjalankan pemilihan satu ronde, nih!” ujar harimau dengan nada pesimis.

Innaa lillaahi wa innaa ilahi raaji’uuna. Allaahumma ajirnii fii mushiibatii wakhuluf lii khairamminhaa (*)

(*) doa menghadapi musibah

all photos copyright by Jaya

Minggu, 28 Juni 2009

Sabtu, 27 Juni 2009

KALO BUKAN KARENAMU, AKU NGGAK AKAN MAU BUGIL

Kalo saja bukan karenamu, aku nggak akan mau bugil.
Buatku, melepaskan segala yang ada di tubuhku tanpa sehelai benang pun, adalah perbuatan memalukan!

Sejak dahulu kala, orangtuaku selalu mengajarkan untuk menutup aurat.
Karena aku laki, auratku dari pusar ke atas dan dengkul ke bawah lima sentimeter.
Kalo aku wanita, auratku semua, kecuali telapak tangan dan wajah.
Kalo aku setengah laki, setengah wanita, itu masa bodoh! Better elo tanya Dorce si Bencong itu.
Kalo aku setengah wanita, setengah laki, auratku sama dengan aurat yang ditutupi oleh para wanita.

Aku ini paling sebel melihat wanita-wanita sekarang yang berani pakai hotpants di public area. Mereka itu tahu nggak sih soal aurat? Mereka itu tahu nggak sih kalo hotpants itu digunakan oleh para Pelacur? Ah, jangan-jangan mereka memang Pelacur yang menutup kedoknya.

Aku juga paling benci melihat wanita-wanita zaman sekarang memakai tank top di depan anak-anak kecil. Mereka mengajarkan pada anak-anak tali bra nggak apa-apa terlihat. Tali bra nggak masalah balapan dengan tali tank top. Padahal dahulu ibuku selalu memusuhi anak-anak perawannya kalo memperlihatkan bra, even cuma talinya saja. Tapi biarlah! Barangkali itu Pelacur memang wajib memperlihatkan tali bra agar pria-pria konak. Ujung-ujungnya, mereka akan membayar service yang memuaskan Pelacur-Pelacur ber-tank top itu.

Aku munafik kata kamu? Mungkin benar! Aku munafik melihat wanita pakai hotpants atau tank top, dimana naluri kelaki-lakianku bisa muncul. Ngaceng! Ya, aku munafik! Tapi jangan salahkan kalo aku bisa memperkosa Pelacur-Pelacur itu akibat ulah mereka yang menantang birahiku. Jangan salahkan teman-temanku sesama kaum pria yang ingin melakukan pelecehan seksual, karena engkau membuat diriku dan teman-temanku konak.


Man! I’m normal, but this is not Hollywood! Kalian yang nggak mau dipanggil Pelacur tapi bergaya Pelacur ini meruntuhkan identitas kebangsaan kita. Ah, sok nasionalis! I’m sorry, man! Anak-anakku nggak mau ternodai oleh contoh-contoh kepelacuran yang kalian cemarkan di Indonesia ini. Kalo kalian mau bebas, sok pergi ke luar negeri sana.

Remember! Di atas hak kalian, ada hak orang lain juga! Kalian berhak tampil bak Pelacur kayak gitu, tapi orang lain juga berhak untuk memperkosa kalian kalo birahi mereka nggak tahan. So, jangan salahkan siapa-siapa.

Kalian nggak lebih bugil. Harusnya kalian bugil bersamaku. Tapi bukannya di mal, bukannya di toko buku, bukannya di tempat rekreasi anak-anak. Tapi bugil seperti diriku. Di tempat yang benar.

Kalo saja bukan karenamu, aku nggak berani tampil bugil.
Telanjang tanpa memakai celana kolor, tanpa pakaian, dan tanpa-tanpa lain.
Buatku, celana kolor itu penting. Tanpa celana kolor, penisku akan diketahui oleh khalayak ramai atau buah zakarku akan menggantung bak buah cokelat yang bertabur bulu-bulu.
Aku malu nggak pake celana kolor.

Makanya kalo bukan kerenamu, aku nggak akan pernah mau bugil sepanjang masa.
Karena orangtuaku mengajarkan soal kemaluan. Bahwa malu adalah sebagian daripada iman.
Kayak-kayaknya sudah waktunya aku bugil. Hari sudah sore. Nggak baik kalo mandi terlalu malam. Bisa rematik kata pakar kesehatan.

Allahuma inni audzubika minal hubusyi wal hobaitsh

Satu per satu seluruh pakaian dan celana kubuka. Sekarang aku bugil. Aku telanjang. Ah, kalo bukan karenamu, aku nggak berani bertelanjang-telanjang seperti ini. Untung pintu terkunci. Cuma ada lubang angin kecil yang terbuka. Kalo ada yang berani mengintip, bisa celaka.

Aku bebas bugil! Tanpa ada orang lain pun tahu seberapa besar penisku, seberapa besar buah zakarku. Aku bebas bugil! Kalo bukan karena dirimu wahai kamar mandi, aku nggak akan berani bugil sebebas ini.

Minggu, 21 Juni 2009

JOROKNYA DIRIMU, EUY!

Seringkali aku bertanya-tanya, apakah aku masih diperlukan di dunia ini. Pertanyanan ini aku rasa wajar saja, mengingat banyak manusia yang nggak terlalu respek denganku. Aku dianggap nggak punya arti apa-apa, dibanding dengan harta benda lain. Padahal apa susahnya sih memperlakukanku dengan baik?

Manusia itu seharusnya pintar. Tuhan telah memberikan akal agar manusia bisa berpikir jauh dibanding mahkluk Tuhan lain. Kalo Tuhan cuma diberikan otak, tentu derajatnya sami mawon dengan hewan. Tentu manusia nggak mau dong disamakan dengan Monyet? Disamakan dengan Babi? Disamakan dengan Anjing? Wong kalo manusia dipanggil dengan nama-nama binatang itu selalu sewot kok, ya nggak?

Manusia itu seharusnya smart. Kata ini bukan mau mempromosikan produk operator selular, lho. Tapi kata itu benar-benar harus ada pada diri manusia. Siapa sih manusia yang nggak suka dibilang smart? Even orang-orang miskin pun bangga kalo dibilang smart, meski mereka sesungguhnya layak disebut goblok karena hidup mereka nggak mau dirubah. Mereka selalu bilang: ah, dasar nasib! Mereka selalu pesimis dan berkata: memang udah suratan Tuhan. Mereka juga seringkali menanamkan kebencian dan protes: ini pasti salahnya pemerintah membuat kami miskin! Padahal ada satu ayat Allah yang mengatakan: nasib manusia nggak akan berubah kalo manusianya sendiri nggak mau merubahnya. Caranya? Ya kerja keras dan kerja smart!



Balik lagi ke manusia dan diriku. Meski manusia itu pintar atau smart atau pandai, toh dalam praktek tetap saja nggak banyak yang merespek eksistensi diriku. Aku tetap dianggap benda kelas rendah yang cuma dijadikan tempat buang tokai-tokai milik manusia. Sekali lagi, penghargaan manusia terhadap diriku sangat sangat sangat rendah. Aku merasa sakit hati!

Hik! Hik! Hik!

Aku memang cuma terbuat dari keramik. Tapi bukan berarti aku nggak butuh diberikan kasih sayang. Aku kan perlu dirawat sebagaimana kalian merewat anak-anak kalian wahai manusia. Mbok disiram tokai-tokai kalian! Mbok kalian tekan tombol flush yang ada di tempatku, agar tokai-tokai nggak dibiarkan mengambang di lubang itu. Agar pembalut atau tisu nggak menemani tokai-tokai di lubang itu. Kok kalian jorok sih! Bukankah kalian udah diberikan akal atau otak kalian yang brilian itu?

Aku heran dengan kalian semua. Meski kalian manusia yang katanya well educated alias berpendidikan tinggi, tapi kalo soal masalah kebersihan benar-benar kebangetan. Kalian terlalu egois buat menjaga kebersihan, membiarkan tokai-tokai dilihat oleh manusia lain yang notabene mahkluk sesama kalian juga. Kalian terlalu tega membiarkan pembalut kalian dibuang ke lubang sehingga manusia yang akan menggunakanku jadi merasa jijik oh baby.

Aku juga heran. Nggak di mal kelas menengah-bawah, nggak di mal kelas menengah-atas, kejadiannya sama. Selalu ada tokai yang mengambang, atau tisu yang berceceran. Yang paling najis kalo manusia sedang dalam kondisi mencret. Tokainya yang seharusnya padat bergizi menjadi encer. Nggak heran kalo tokai-tokai yang encer itu berceceran. Nggak cuma berceceran dinding-dinding di sekitar lubangku, tapi dimana-mana, baik di lantai maupun di tembok.

Hik! Hik! Hik!

Manusia itu jorok banget sih! Manusia itu egois banget sih! Mengapa yang dipikirkan cuma dirinya sendiri? Mengapa nggak ada visi jangka panjang yang dimiliki oleh manusia sebelum menggunakanku, dimana diriku akan digunakan oleh manusia lain. Menusia yang nggak punya visi ini cuma memikirkan bagaimana tokai-tokai miliknya bebas lepas keluar dari lubang anus. Mereka cuma sibuk mikir kebersihan diri sendiri, sementara manusia sesudahnya yang kebagian joroknya. Nggak peduli jongkok di tempatku yang sebetulnya udah ada tulisan “dilarang jongkok saat boker”.



Manusia itu nggak mungkin nggak tahu kalo jongkok itu menyebabkan pinggiran tempatku jadi kotor. Ada bekas-bekas sepatu milik manusia jongkok itu. Mending kalo habis jongkok si manusia jongkok ini membersihkan bekas-bekas sepatu, atau pada saat jongkok nggak pakai sepatu. Aku mengerti sih mengapa sebagian manusia melakukan aksi jongkok di tempatku, meski udah ada tulisan “dilarang jongkok saat boker”. Menurut penelitian kesehatan, jongkok saat boker memang lebih baik dibanding duduk. Dengan berjongkok, manusia akan memperlancar arus tokai yang keluar dari usus duabelas jari melalui lubang anus.

Aku sih nggak masalah kalo manusia tetap jongkok. Silahkan. Asal kalian tetap menjaga kebersihan di tempatku. Pedulilah terhadap mahkluk sesama kalian. Kalo selesai mengeluarkan tokai, mbok yang disiram atau di-flush. Kalo flush-nya rusah, mbok yang disiram pakai gayung berisi air yang ada di situ. Kalo nggak ada gayung, ya ember di isi air lalu disiram. Kalo nggak ada gayung dan ember, mbok ya gunakan spray. Pokoknya pasti ada cara agar tokai-tokai yang nggak dibiarkan ngambang di lubangku. Bukankah manusia punya akal?

Aku nggak masalah kalian mencret sehingga menyebabkan bercak-bercak tokai yang nggak padat itu menempel di dinding tempatku. Tapi mbok yang bercak-bercak itu disiram. Gunakan sprey lah. Masa kalian nggak tahu cara menghilangkan tokai-tokai yang mencar-mencar itu? Kalian kan manusia yang punya akal, kok kelakuannya kayak Anjing, Babi, atau Monyet sih?

Terkadang aku kasihan juga sama para Cleaning Service. Aku tahu menjaga kebersihan adalah tugas mereka, tapi bukan berarti kalian nggak menghilangkan tokai-tokai setelah boker dong. Kalian juga wajib menjaga kebersihan agar manusia sesudah kalian juga senang menduduki diriku. Kalo saja kalian bisa menjaga kebersihan, itu sama aja kalian merespek diriku. Dengan begitu, aku merasa diperlukan di dunia yang fana ini. Dengan begitu pula, aku merasa disejajarkan dengan harta benda yang kalian punya, meski eksistensiku akan selalu di ruang berukuran sempit, dimana kalian yang masih mengaku manusia selalu mendapatkan gagasan setiap kali nongkrong. Dimana kalian yang juga masih menggemari rokok sebagai sampah jasmani, bisa leluasa mengepul-ngepulkan asap selama merokok di ruang kantor dilarang.

Pesan terakhir sebelum aku digunakan oleh kalian semua wahai manusia yang sakit perut, rawatlah diriku. Kasihilah diriku. Pergunakanlah aku sebaik-baiknya. Ingat kan dengan lagu band Pilot berjudul “Sepanjang Hidupku”? Nah, kalo engkau mengasihaniku, kelak engkau akan menjadi manusia yang bijaksana nan jaya abadi di dunia dan menjadi temanku sepanjang hidupku. Tuhan berpesan: kebersihan adalah sebagian daripada iman.

Kamis, 18 Juni 2009

SAYA ABSEN DULU, LALU KITA SAMA-SAMA KE TUGU PROKLAMASI YA, BANG?

Megawati mengritisi kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dalam pemerintahan SBY. Katanya, BLT merendahkan harkat dan martabat orang miskin. Bener juga sih. Masa orang miskin cuma dikasih “ikan”, bukan “kail”? Apakah duit BLT yang cuma 200 ribu per kepala bisa meminimalisir kemiskinan yang ada di tanah air ini? No way lah yau!

Pagi ini gw sebel banget! Tukang-tukang ojek di Kawasan Industri Pulogadung habis. Gw kudu menunggu berjam-jam untuk mendapatkan seekor Tukang Ojek yang bisa mengantarkan gw ke kantor. Oh iya my friends, gw memang masih ngefans berat sama Ojekers (istilah buat menggantikan para Tukang Ojek). Maklum, gw belum jadi Konglomerat yang tergantung dengan Sopir. Gw juga belum punya BlackBerry dan nggak berniat punya. Gw masih setia menjadi rakyat yang membumi. That’s why I need Ojek.

Akhirnya gw dapat Tukang Ojek. Gw nggak peduli jaket si Tukang Ojek baunya naudzubilah min dzalik. Gw don’t care rambutnya tercium bau-bau yang nggak sedap, kayak bau rambut yang belum keramas beberapa tahun. Gw terpaksa harus menahan “keharuman-keharuman” itu, karena yang terpenting bagi gw: arrive to the office as fast as he can.


Inilah Tukang Ojek di Dukuh Atas. Ada yang tidur-tiduran, ada yang nununguin Pelanggan, ada pula merah, ada pula yang biru. Setiap hari, kusiram semua. Mawar melati, semuanya indah. Lho kok jadi nyanyi lagu Lihat Kebunku? Ngapain lihat kebunku, mending lihat kebunmu atau kebun mereka. Kebunku kan nggak ada Tukang Ojek.


“Memangnya pada kemana sih Tukang Ojek, Bang?!” tanya gw sewot. Si Tukang Ojek yang nggak salah apa-apa jadi terpaksa gw semprot. Cipratan jigong gw menempel di pipinya.

“Semuanya ke Tugu Proklamasi, Pak!”

“Ngapain di Tugu Proklamasi? Mau demo?”

“Bukan, Pak. Ikutan kampanye!”

“Kampanye siapa?”

“Megawati-Prabowo!”

“Oh, Tukang Ojek itu pada milih Mega-Pro ya?”

“Ah, kalo nggak dikasih duit mana mau, Pak!”

“Emangnya dikasih berapa Pak?”

“Lumayan, empatpuluh ribu!”

“Halah! Tanggung amat, Bang? Nggak sekalian limapuluh ribu gitu?”

“Itu masih mending. Sebelumnya cuma mau dikasih sepuluh ribu. Mana mau Tukang Ojek dikasih sepuluh ribu?”


Ini Tukang Ojek yang mangkal di depan Pasar Baru. Mereka nggak sempat mendengar ada kampanye yang melibatkan para Tukang Ojek. Yang mereka dengar, gosip soal Ariel Peter Pan yang udah married di bawah tangan dengan Luna Maya. Kata beberapa Tukang Ojek: "Kenapa sih kalo udah married nggak ngaku aja? Daripada mereka disangka melakukan perzinahan atau nggak boleh masuk kamar hotel gara-gara nggak berani ngaku sebagai pasangan suami istri, mending ngaku aja bukan? Ini kok dari urusan kampanye Megawati-Prabowo jadi ngurusin Ariel-Luna Maya sih?


Pikir gw lumayan juga dikasih empatpuluh ribu cuma datang dan nonton Megawati-Prabowo ngoceh. Ya, paling-paling mendiskreditkan Pemerintah. Kalo nggak soal BLT itu tadi, soal iklan “Satu Putaran”, atau mencak-mencak gara-gara iklan pasangan ini dilarang di televisi swasta. Ya, paling-paling juga ngotot gimana caranya bisa menarik simpati rakyat dan akhirnya terpilih jadi Presiden dan Wakil Presiden.

“Paling-paling habis tanda tangan dan dapat duit, Tukang-Tukang Ojek pada pulang,” lanjut Tukang Ojek yang jaketnya bau apek itu.

“O, begitu!”

Akhirnya gw mendarat juga di kantor. Dengan tertundanya mendapatkan Tukang Ojek, otomatis gw agak telat tiba di kantor. Biasanya paling telat tiba di kantor pukul 10:00 wib, hari ini gw terpaksa mendarat di kantor pukul 09:55 wib. Lha, itu kan nggak telat? Hehehe, iya-ya.

“Ini ongkosnya Bang,” gw memberikan duit ke Tukang Ojek.

“Lho, kok ongkosnya cuma segini, Pak?” Tukang Ojek protes ketika gw ngasih duit dua ribuan. Duitnya lecek pula. Gw cengeggesan.

“Bang, saya absen dulu di kantor. Abang tunggu sini, nanti kita sama-sama ke Tugu Proklamasi...”

“Ngapain?”

“Ikutan kampanye Megawati-Prabowo. Kekurangan ongkos saya, setelah kampanye ya? Nanti kan saya dapat empatpuluh ribu. Gene hari lumayan kan dapat empatpuluh ribu? Hehehe. Gajian masih lama pula... ”

“....?????”

Rabu, 17 Juni 2009

APA SALAHNYA MENJADI ORANG KAYA?

Menyebalkan sekali hidup di negara miskin. Setiap kali teman-temanku menjadi kaya, selalu saja dicurigai ini dan itu. Dikatakan kongkalikong alias bersekongkol dengan aparat pemerintah lah. Dianggap sebagai Penjual aset negara atau double agent dari negara luar negeri lah. Yang lebih menyakitkan hati, menjadi terhukum oleh mayoritas orang miskin sebagai Penjual kemiskinan.

Apakah begitu semua orang-orang kaya kita?

Aku yang terlahir miskin, tentu saja ingin kaya. Aku anggap, kemiskinan yang turun temurun dimiliki oleh keluargaku menjadi semacam paku di bangku yang nggak boleh aku duduki. Analogi paku dalam konteks ini buat menjelaskan, betapa menyakitkan pantat kita kalo kita duduk di atas paku. Beda kalo yang duduk orang-orang India yang biasa duduk atau tiduran di tempat berpaku. Atau mereka yang memang nggak ngaruh dengan paku di tempat duduk itu, karena udah kena sindrom comfort zone atau udah biasa berada di zona kenyamanan.

Kemiskinan udah membuat keluargaku direndahkan oleh orang-orang kaya. Kekurangan finansial menjadikan aku dan keluargaku rendah diri. Latar belakang itulah yang membuatku harus berjuang untuk menjadi orang kaya. Aku malu hidup menjadi orang miskin. Aku malu dianggap benalu bagi pemerintah maupun orang-orang kaya. Barangkali orang-orang miskin sepertiku dahulu nggak sadar soal istilah benalu ini. Orang-orang miskin selalu merasa diri udah takdir menjadi miskin. Udah suratan Tuhan menjadi miskin. Padahal nggak begitu! Padahal itu stereotipe yang salah.

Bahwa nggak benar Tuhan menjadikan orang miskin terus menerus. Ada sirklus hidup yang Tuhan atur. Masalahnya, apakah orang-orang miskin ini ikut dalam sirklus ini apa enggak. Ikut berada di bawah dan kemudian berputar menuju ke puncak. Kalo orang-orang miskin yang malas atau menerima kondisi diri tanpa ada niat berubah, pasti nggak mau ikut berputar. Mereka ini selalu menyalahkan, entah itu menyalahkan Tuhan atau pemerintah.


Terkadang demo Buruh itu ditunggangi oleh oknum-oknum LSM yang memiliki ambisi tertentu. Mana ada Buruh bisa orasi sefasih Politikus? Nggak masuk akal! Buruh itu cuma ingin kerja, nggak pengen macam-macam. Kalo ada kebijakan yang membuat diri mereka terancam, Buruh-Buruh ini cuma berani ngedumel dalam hati atau cuhat dengan teman-teman senasib. Lagi pula mereka juga harus tahu diri. Kalo mau kerja, ya ikuti aturan perusahaan. Kalo nggak senang dengan kantor tempat mereka kerja, ya keluar aja. Ngapain juga pake demo-demo segala?
Mereka, orang-orang miskin ini, menyalahkan Tuhan gara-gara Tuhan selalu berpihak pada orang-orang kaya. Rezeki orang kaya lebih besar daripada orang miskin. Sehingga yang kaya semakin kaya, sementara orang miskin makin hari makin miskin. Padahal mereka yang sering menyalahkan Tuhan ini dalam keseharian nggak bertuhan. Mereka masih mengakui adanya Tuhan, tapi nggak menjalankan perintah Tuhan. Berbeda banget dengan orang miskin yang percaya Tuhan dan menjalankan perintah Tuhan, namun tetap merasa Tuhan itu baik. Mereka inilah adalah orang-orang miskin yang imannya nggak miskin.

Orang-orang miskin juga seringkali menyalahkan pemerintah. Mereka anggap, pemerintah menyebabkan mereka menjadi miskin. Eksistensi mereka biasanya di urban atau kota besar. Mereka ini dikenal dengan istilah miskin perkotaan, karena hidup miskin di sebuah kota besar. Gara-gara sering tergusur, entah itu tempat tinggal maupun tempat kerja mereka, pemerintah disalahkan. Lah, kenapa menyalahkan pemerintah? Padahal nggak 100% salah pemerintah, ya nggak? Mereka datang ke kota besar, bukan atas undangan pemerintah. Mereka membangun rumah-rumah kumuh yang sebenarnya dilarang, tanpa izin pemerintah, tapi oknum. Mereka berdagang di tempat-tempat yang membuat jalan macet, dimana orang-orang miskin ini udah tahu tempat itu dilarang berjualan, eh dengan tolol mereka tetap jualan. Jadi kalo tiba-tiba mereka harus tergusur, sebenarnya bukan salah pemerintah 100%, kan?

Aku nggak mau dimanfaatkan lagi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sebelum berjuang menjadi orang kaya, saya dan orang-orang miskin lain selalu dimanfaatkan. Sejumlah LSM mengambil kesempatan mendapatkan bantuan dari pemerintah maupun luar negeri dengan menjual kemiskinan kami. Mulai dari bantuan pendidikan maupun kesehatan, selalu dijadikan aset oleh LSM-LSM buat mengeruk kekayaan. Cuma dengan menampilkan kemiskinan via video-video atau foto-foto dan mendirikan nama Lembaga yang berlatar belakang sosial, bantuan dari berbagai pihak bisa segera datang.

“Padahal nggak sepenuhnya bantuan yang LSM-LSM itu buat menuntaskan kemiskinan. Mayoritas LSM nggak memberikan solusi buat si miskin. Orang-orang miskin tetap aja miskin, sementara orang-orang yang memanfaatkan orang miskin menjadi kaya. Jadi nggak benar kalo 100% pemerintah salah.”

“Padahal bantuan tersebut lebih banyak buat kepentingan pribadi. Dari 100%, paling-paling bantuan yang diberikan ke orang miskin cuma 50%”

“Lembaga-lembaga tersebut banyak yang senang kalo orang-orang miskin tetap eksis. Sebab, dengan eksistensi orang miskin, maka kucuran dana akan terus menerus diberikan. Kalo nggak ada orang miskin, otomatis bantuan berhenti. Orang-orang yang menikmati bantuan, akan sedih. Kesempatan mereka mendapatkan duit buat menjadi kaya jadi nggak ada.”

Jangan heran banyak orang dari LSM yang kaya. Punya mobil mewah, rumah mewah, duit berlimpah, dan memiliki bisnis. Dengan kepintaran mereka mengelola duit bantuan untuk kepentingan orang miskin dan pribadi, mereka jadi tetap eksis. Inilah yang membuat aku gemas. Sebagai orang miskin, aku harus memberantas pemanfaatan secara sistematis yang dilakukan oleh oknum-okunum LSM ini.

Memang aku tahu, orang miskin harusnya dilindungi oleh pemerintah. Ada Pasal yang mengatur itu, yakni Pasal 34 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Bunyinya: "Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Lalu diamandemen menjadi 4 (empat) ayat. Ayat (1) kalimatnya sama dengan Pasal 34 UUD 45 asli. Ayat (2): Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (3): Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Ayat (4): Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal-pasal ini diatur dalam UU. Meski di UUD 45 orang miskin dilindungi pemerintah, bukan berarti orang miskin jadi harus malas. Orang miskin berpikir picik, menjadi orang miskin dianggap udah takdir. Padahal belum tentu. Tuhan pasti akan membantu orang-orang miskin mendapatkan rezeki, asal mereka konsisiten berusaha.


Ada orang miskin yang sikap dan prilakunya juga miskin, ada orang miskin yang otaknya kaya. Mereka yang miskin yang berotak kaya biasa selalu bekerja keras, berdoa pada Sang Pencipta, dan nggak pernah mengeluh dengan kemiskinannya. Itulah mind set orang miskin yang Insya Allah akan menjadi orang kaya. Selalu optimis!
Alhamdulillah, Tuhan memberikanku semangat untuk berjuang. Aku memang fighter sejati. Persisten dan konsisten berusaha untuk menjadi orang kaya. Nggak heran, dalam waktu 10 tahun, aku berhasil menjadi orang kaya. Anda nggak perlu menanyakan bagaimana aku menjadi kaya. Terlalu panjang untuk menceritakan perjalanan hidupku selama 10 tahun. Tapi percayalah, aku udah sukses meninggalkan kemiskinan yang selama ini menjerat hidupku dan keluargaku selama bertahun-tahun.

Kini, aku punya kepercayaan diri yang sangat besar. Berada di dalam mobil Alphard yang punya stereo set yang luar biasa. Ada televisi, dimana tinggal memasukkan DVD atau CD favorit, kita bisa menonton dan mendengar irama musik klasik Bethoven atau Mozzart. Di salam Alphard, aku bisa menyaksikan orang-orang miskin yang berak di kali atau Pengemis-Pengemis yang menyebalkan itu.

Kini aku bisa pacaran dengan Selebritis. Di daftar listku, deretan selebritis yang siap menjadi pacarku antara lain Tamara Blezinsky, Luna Maya, Dian Sastro, dan Sophia Latjuba. Sisa nama-nama wanita yang udah mengemis-ngemis menjadi pacarku adalah Yati Pesek dan Aura Kasih. Namun sayang, kedua wanita itu aku tolak. Sebab, aku nggak suka wanita yang hidungnya pesek, karena hidungku pesek. Saya juga nggak suka wanita yang nama aslinya digonta-ganti demi popularitas. Itu sama saja melecehkan orangtua yang capek-capek memberi nama kita saat masih bayi.

Namun sayang, sekarang ini menjadi musuh orang-orang miskin. Kata mereka, aku lupa kulit sama kacangnya. Aku udah meninggalkan sejarah masa lalu sebagai orang miskin yang menderita lahir maupun bathin. Aku udah nggak menginjak bumi lagi. Hidungku udah diangkat ke atas.

Tapi aku nggak peduli. Biarlah orang-orang miskin itu memusuhiku. Membenciku. Aku nggak peduli. Memangnya aku salah? Apa salahnya menjadi orang kaya? Aku kan udah berjuang dari bawah hingga menjadi orang kaya seperti sekarang ini. Dengan segala upaya, dengan kucuran tetes keringat, dan tetes darah, aku berhasil mengalahkan kemiskinan. Tapi kenapa orang kaya seperti aku dimusuhi?

“Orang kaya itu mengambil kesempatan orang miskin,” kata perwakilan orang miskin se-Jabotabek.

“Siapa bilang? Banyak kesempatan yang ada di dunia ini, tapi orang-orang miskin nggak banyak mengambil...”

“Pekerjaan terbatas!”

“Siapa bilang? Banyak pekerjaan yang nggak membutuhkan modal, tapi lebih banyak orang miskin yang pilih-pilih pekerjaan. Lihatlah di jalan! Anda bisa jadi Tukang apa saja! Tapi jangan jadi Pengemis!”

“Kenapa?”

“Pengemis itu pemalas! Anda lihat, banyak pengemis yang masih sehat jasmani, tapi mereka lebih suka meminta-minta duit dari orang-orang kaya. Mereka lebih suka mendapatkan duit instan daripada bekerja keras sebagaimana diriku. Para Pengemis menjual kekurangan fisiknya. Padahal Tuhan menciptakan sebuah kekurangan bukan dikomersilkan jadi Pengemis.”

“Kalo BLT?”

“Apalagi itu! Bantuan Langsung Tunai memang cara pemerintah membantu orang-orang miskin. Aku setuju kata Megawati, BLT itu merendahkan harkat dan martabat orang miskin. Masa orang miskin dikasih 200 ribu? Mana bisa di kota metropolitan kayak Jakarta ini hidup dengan 200 ribu. Orang-orang kaya kayak diriku ini buat nongkrong di Starbuck aja udah lebih dari 200 ribu dalam sehari. Mega boleh mengkritisi, tapi bukan berarti aku pilih Mega di Pilpres nanti, lho! Dia juga belum tentu punya cara membantu orang miskin.”

“Jadinya gimana dong?”

“Sebenarnya gampang kok menjadi orang kaya.”

“Gampang? Gampang bagaimana?”

“Bersikaplah menjadi orang kaya! Kaya cuma masalah mind set aja. Selama Anda masih berpikir miskin, merasa miskin, terhina, nggak punya kesempatan, nggak berhak menjadi orang kaya, dan lain sebagainya, selama itu pula Anda akan terus menjadi orang miskin...”


all photos copyright by Jaya

Kamis, 11 Juni 2009

DEMI SETAN MERAH

Cuma dirinya saja yang tahu apa yang akan dilakukan. Ketika tahu kalo panitia cuma punya 25.000 lembar tiket yang akan didistribusikan buat Penonton umum, dia langsung memutar otak. Konsep: how to get that ticket? Apapun yang terjadi tiket harus didapat! Selama ini dalam kamusnya, nggak ada istilah gagal.

Kabar jumlah tiket yang minim itu dia dapat dari Tim Komersial Panitia Tur Asia Manchester United (MU), Herman Ago. Tulis Kompas (17/05/09), dari 65.000 tiket yang dicetak, sekitar 40.000 lembar udah habis dipesan oleh mitra dan sponsor.

Oh my God! What should I do?” ujar salah seorang Penggemar fanatik MU.

“Mengapa begini, mengapa begitu?” ucap Penggemar lain.

“Tak ada gading yang tak retak!”

“Tuhan, maafkan hambamu ini...”

“Kasih sayang Ibu sepanjang zaman...”

“Don’t worry be happy!

Tentu jumlah tiket yang seemprit nggak sebanding dengan jumlah Penggemar fanatik MU di Indonesia ini. Konon berdasarkan survey, penggemar MU mencapai 10.000 orang. Lah kok kecil? Lebih kecil dari jumlah tiket yang tersisa? Salah tuh! Iya salah saudara-saudara. Yang benar, penggemar MU berhasil menembus kurang lebih 28 juta orang.


Ini bukan tim Manchester United (MU) yang bakal ke Indonesia. Tapi ini tim futsal kampung yang lagi main di jalan Pramuka. Mereka memanfaatkan jalan Pramuka yang lagi dikosongkan dalam rangka car free day alias hari bebas berkendaraan.

“Itu orang semua?”

“Yaiyalah! Masa ada yang berwujud harimau atau babi?”

“Gw lupa! Harimau nggak tahu bola ya? Babi juga nggak suka nonton MU. Kalo manusia berhati dan bermulut harimau, pasti suka bola. Begitu pula manusia berwajah babi...”

“Maksud loe Babi Face?”

“Yo’i!”

Demi “Setan Merah” (sebutan buat MU), dia pasti punya cara canggih untuk mendapatkan satu dari 25.000 tiket yang akan diberikan ke penggemar fanatik MU lain. Kalo nggak kebagian, dia udah mempersiapkan second plan, third plan, fifth plan, dan seterusnya. Baginya, mumpung MU hadir di Indonesia, ini momentum yang baik buat menarik dukungan dari penggemar fanatik.

Sebenarnya cukup wajar kalo 40.000 lembar tiket cuma diberikan ke mitra dan sponsor. Panita udah mengeluarkan duit 900.000 dollar US$ atau sekitar Rp 9,5 miliar. Kabar terakhir, panitia meminta tambahan tiket lagi sebanyak 5000. So, total tiket yang masih tersisa dan akan dijual di pasaran sebanyak 20.000 dari total 77.688 (Warta Kota/ 12/06/09).

“Lho mana yang bener? Kompas atau Warta Kota nih?” kata salah seorang Penggemar Juventus yang tiba-tiba beralih jadi Penggemar MU gara-gara kedatangan tim MU ke Indonesia ini. “Kompas bilang total tiket 65.000, Warta Kota tulis 77.688. Kok media satu grup di Gramedia bisa beda?”

“Hush! Jangan macam-macam! Nanti kamu bisa dituntut pencemaran nama baik?”

“Lah, gw kan ngomong berdasarkan fakta? Lagipula yang gw bicarakan bukan Rumah Sakit, tapi media cetak alias koran!”

Dia nggak mau menanggapi rekannya itu. Takut kena pasal pencemaran nama baik. Dia cuma tanya balik, kalo memang yang benar Warta Kota, apakah temannya tetap akan berangkat ke Stadion Utama Gelora Bung Karno pada tanggal 20 Juli nanti?

“Memang harga tiketnya berapa sih?”

“Yang paling mahal 3,5 juta.”

“Ah, nggak level!”

“Itu VVIP. Kalo VIP Barat harga tiketnya 1,7. Itu udah termasuk kaos MU.”

“Kaosnya asli dari MU atau buatan Bandung? Kalo buatan Bandung mah gw bisa beli...”

“Asli! Harga satu kaos Rp 250 ribu!”

“OK! Kalo tiket yang paling murah berapa?”

“Cuma seratus ribu rupiah!”

“Nah, gw beli tiket yang paling murah aja deh!”

“Halah!”

“Lho, why? Toh, judulnya gw tetap nonton MU di Stadion Senayan kan?”


Ini juga bukan MU. Mereka anak-anak dari belakang jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta yang juga sedang memanfaatkan momentum car free day.
Dia cuma tersenyum. Dia tahu kalo tiket seharga 100 ribu pasti kayak kacang goreng dan cepat terjual habis. Begitu tiket dijual Senin (15/06) di Pintu I Senayan, kantor Badan Liga Indonesia (BLI), dan outlet-outlet lain, orang-orang pasti pada kesetanan membeli tiket yang seratus ribuan. Moga-moga saja sih nggak terjadi kekisruhan. Soalnya, orang-orang Indonesia nggak biasa ngantri. Hukum rimba masih berlaku. Siapa yang kuat, dia yang menang.

Pemilik tiket seratus ribuan ini pun pasti punya kesulitan buat nonton punjaan hatinya. Pasti duduk mereka di ujung stadion sambil makan kacang gorang atau pisang kayak Monyet. Mereka pasti cuma melihat kepala para Pemain “Setan Merah” yang berkaos merah itu. Badannya kecil-kecil karena lihatnya dari jauh, kecuali pakai kekeran. Mereka nggak tahu apakah Cristiano Ronaldo ada di situ. Soalnya, menurut banyak media, kemungkinan besar pemain yang udah ditransfer 80 juta poundsterling (senilai Rp 1,4 miliar) itu bisa nggak datang. Kenapa begitu? Soalnya dia tengah menderita penyakit turun berok alias hernia. Wah, kata orang jadul, turun berok itu disebabkan oleh karena nggak pake kolor alias celana dalam. Kok pemain sekelas Ronaldo nggak pake celana dalam ya? Ah, tapi duitnya banyak, kok! Dia bisa operasi biji pelirnya segera mungkin agar bisa main bola lagi.

“Paling nggak kalo Ronaldo nggak datang, yang lain datang lah. Carlos Tevez misalnya. Lalu Edwin van Der Sar, Michael Carrick, Ryan Giggs, Wayne Rooney, dan Park Ji-Sung.”

Demi “Setan Merah”, segala cara memang bakal dilakukan. Mau jual kolor kek, atau motor bebek butut kek, sing penting tiket bisa didapat. Tapi jangan sampai jual diri. Najis berat cuma gara-gara “Setan Merah” jadi kesetanan sampai mengorbankan harga diri dan harga-harga kebutuhan pokok segala.

“Kalo nggak punya duit, gw mah mending nonton tvOne!”

“Lah, apa hubungannya nonton MU dengan tvOne? Emang gw cowok apaan?”

“Tunggu tanggal mainnya ya.. Tanggal 20 Juni besok, ada program yang akan menjawab misteri ini. So sabar-sabar aja!”

“Ah, elo! Bikin penasaran gw ajah!”


all photos copyright by Jaya

Rabu, 10 Juni 2009

SALAM SAYANG DARI MOBIL MOGOK

Kekasihku, mengapa wajahmu begitu kencang?
Aku sadar pagi ini ada sesuatu yang membuat wajahmu kayak begitu
Barangkali persentase terbesar kesalahan akulah yang menciptakan
Aku mengakuinya itu
Pagi ini aku memang lalai mengantarkanmu tanpa ada masalah
Maafkan ku oh kekasihku

Kekasihku, mengapa tak ada basa-basi pagi ini?
Apakah karena kamu masih melihatku sebagai manusia yang penuh kesalahan?
Dimana persoalan-persoalan kita yang sebelum pagi ini masih belum benar-benar tuntas
Aku menyadari itu
Pagi ini menjadi picu lagi sebuah persoalan baru sebelum semua persoalan kita tuntas 100%



Kekasihku, mengapa wajahmu begitu kencang?
Padahal kamu cantik, lho
Padahal kamu smart, lho
Sebuah perpaduan yang luar biasa yang nggak semua wanita memiliki itu
Bahwa banyak wanita cantik tapi otaknya nggak ada alias kopong
Bahwa banyak wanita smart tapi wajahnya naudzubillah min dzaliq alias jelek minta ampyun

Kekasihku, mengapa tak ada cium bibirmu yang menyentuh bibirku?
Apakah karena persoalan hari ini menjadi syarat aku nggak mendapatkan bibirmu yang indah itu?
Apakah syarat agar mendapat bibirmu adalah nggak ada persoalan sekecil apapun dalam hubungan kita?
Level yang lebih tinggi: apakah syarat nggak bisa menyentuh tubuhmu adalah nggak lagi kata-kata yang salah dariku?
Nggak ada lagi body language yang membuatmu curiga kalo aku bohong
Nggak ada lagi janji-janji yang meleset



Kekasihku, percayalah aku cintamu
Memang gaya cintaku nggak seindah gaya pria-pria romantis di dunia ini yang pasti kamu inginkan
Memang aku tergelincir dengan sebuah perselingkuhan yang menitikkan noda besar dalam kepercayaanmu padaku
Memang aku juga bukan kekasih yang baik dan barangkali di matamu loyalitas cintaku sangat rendah
Namun aku tetap setia di sini
Meski aku nggak tahu setiap kesalahanmu, tetap aku yang menanggung
Meski aku nggak ngerti mengapa, aku merasa aku nggak bisa marah padahal seharusnya aku berhak marah
Tentu kamu masih ingat malam sebelum pagi ini, dimana aku harus berjalanan kaki ketika kamu tinggalkanku dengan sebuah alasan
Barangkali kalo engkau ada di posisiku, kamu akan marah besar. Tapi aku nggak, karena aku nggak ingin ada perang lagi. Bukankah aku berhak marah?
Tiba-tiba aku salah Mal
Tiba-tiba aku salah Bioskop
Dan kamu marah lagi. Memangnya semua kesalahan harus dengan menampilkan reward kemarahan ya? Tidak bisakah melihat kesalahan seperti apa yang harus menggunakan kekuatan emosi?

Pagi ini barangkali adalah sisa semalam
Rutinitas yang nggak sempurna
Aki habis
Mobil mogok
Tukang Ojek sedang menambal ban
Kamu pergi naik bajaj
Tukang bajaj nggak punya kembalian, karena duit kamu limapuluh ribuan
Kamu pinjam uang duapuluh ribuan
Aku bersama Hansip-Hansip itu membantu menghidupkan mobil mogok



Kekasihku, mengapa wajahmu nggak memberikan semangat pagi yang indah ini
Di tengah persoalan, seharusnya kita tetap senang dan punya hati yang lapang, karena Tuhan pasti sedang menguji kita
Menguji kesabaran kita
Menguji kebesaran hati kita
Menguji hubungan kita

Kekasihku, aku memang nggak bisa berkomunikasi dengan sempura
Body language-ku seringkali menimbulkan persepsi negatif
Cara bicaraku yang terkadang gagap seringkali disalahartikan sebagai menutupi kebohongan atas sebuah kesalahan
Kekasihku, moga-moga mobil mogok nggak menimbulkan persoalan kecil menjadi besar
Jangan sampai persoalan aki mobil yang kosong disejajarkan dengan sebuah perselingkuhan yang sudah aku sesali sepanjang zaman ini



Kekasihku, kamu dapat salam dari mobil.... salam dari mobil mogok
Semoga cinta kita abadi, meski mobil kita sedang mogok

Minggu, 07 Juni 2009

NAIK SEPEDA ITU TERMASUK KATEGORI NEOLIBERALIS NGGAK YA?

Dengan terkentut-kentut, akhirnya gw sampai juga ke Parkir Timur Senayan, Jakarta. Angin pagi yang menyusup ke perut gw yang belum sarapan ini, membuahkan hasil kentut-kentut itu tadi. Tapi Tuhan sangat baik, begitu sampai di venue, nggak ada lagi sisa-sisa kentut. Kalo masih ada, ini akan membuat malu gw sebagai Pengendara sepeda. Soalnya, pagi hari ini, gw bakal ketemu SBY.

“Hah?! Ngapain loe ketemu SBY? Emangnya elo sape?” tanya teman gw sesama Pengendara sepeda yang kebetulan antineoliberalis.

“Gw ini bukan siape-siape cong!’ jawab gw. “Gw ini cuma pengemar musik dangdut dan suka ekonomi kerakyatan.”

“Lantas kenapa elo ketemu SBY? Bukankah SBY itu dianggap representasi Barat yang menganut neoliberalis?”

“Kata orang sih begitu. Tapi gw nggak yakin. Makanya gw buru-buru naik sepeda supaya ketemu SBY. Supaya gw bisa ngobrol bareng dengan beliau sambil naik sepeda. Kalo nggak buru-buru, mana bisa gw ketemu. Gara-gara buru-buru, gw jadi nggak sempat breakfast. Walhasil, gw kentut melulu. Mau emangnya elo gw kentutin?”

“Brengsek loe!”

Ternyata gw kecepatan dari jadwal berjumpa dengan SBY. Semula pukul 07:00 wib, gw udah sampai di Parkir Timur Senayan pukul 10:00 wib. Lah? Bukannya itu malah terlambat ya Bo? Oh iya! Maksudnya gw udah sampe di venue pukul 06:55 wib. Artinya masih ada waktu 5 menit. Nah, waktu 5 menit itu gw manfaatkan buat cari breakfast. Sambil cari breakfast, gw nyanyi lagu “Lima Menit Lagi” yang dipopulerkan Ine Sinthya.


Capres dan Cawapres yang katanya menjalankan ekonomi kerakyatan. Bukankah JK itu Pedagang ya, Bo? Pedagang itu bukannya ikut mekanisme pasar? Kalo di pasaran harganya Rp 5, berarti dijual dengan harga Rp 5. Kalo dijualnya dengan harga di atas rata-rata, berarti nggak pake hati nurani ya?

Lima menit lagi akh.. akh.. akh..
Lima menit lagi.. dia mau datang menjemputku
Lima menit lagi akh.. akh..
Lima menit lagi.. aduh aduh jadi salah tingkah

Rambutku… belum disisir
Bajuku yang baru belum selasai dijahit
Malu ah.. malu ah… malunya setengah mati
Lima menit lagii…

Maa… tolonglah…
Tolong katakan padanya
Hari ini aku sakit
Sakit gigi, sakit perut dan sakit kepala
Mama ma ma ma… tolonglah…

Itu dia sudah datang
Suruh saja dia masuk
aku mau pura-pura
merintih-rintih di kamar

Aduh…
Rupanya dia tahu
Aku bersandiwara

Lima menit lagi akh.. akh.. akh..
Lima menit lagi dia mau datang menjemputku
Lima menit lagii…

Alhamdulillah akhirnya gw menemukan makanan buat breakfast yang luar biasa! Apakah itu saudara-saudara? Bubur kacang hijau! Pagi-pagi, makan bubur kacang hijau ibarat makan-makanan kelas A, kayak spageti, pizza, atau oncom (emang oncom makanan kelas A?). Dengan sisa waktu 4 menit, gw langsung memberanikan diri makan ngebut.

Persis sendok terakhir yang gw mau telan, bunyi sirine terdengar di kejauhan. Pikir gw pertama, pasti ada orang meninggal yang sedang naik sepeda, terus jantungnya nggak kuat, tiba-tiba mendapatkan serangan jantung, matilah orang itu. Pikir gw yang lain, ada anak kecil yang bapaknya petugas ambulan. Anak kecil itu iseng menyalahkan sirene, karena kedengarannya kayak musik rock n roll gitu. Pikir gw yang ketiga, pasti SBY bentar lagi mau beli bubur kacang hijau.

Eh, bener bo! Sirene itu mendekati gerobak bubur kacang hijau. Tebakan gw ternyata benar, SBY bakal breakfast dulu bareng gw. Memang gw cukup cerdas memilih bubur kacang hijau sebagai breakfast. Kalo SBY nongkrong bersama gw di bangku bubur kacang hijau, udah pasti ini namanya breakfast loby. Sambil breakfast, gw bisa lob—lobi gitu.

“Waduh! Kok mobilknya nggak berhenti di gerobak sini?!” tanya gw kebingungan. Iring-iringan mobil SBY ternyata menuju ke venue utama, dimana udah berkumpul para Pengendara sepeda yang bakal bersepeda sehat bareng SBY.

Melihat SBY yang keluar mobil di venue utama, gw langsung memberikan mangkuk ke Tukang bubur kacang hijau dan bergegas kabur dengan sepeda. Ternyata ada yang gw lupa...

“Bos! Bos! Bayar dulu dong buburnya!” teriak Tukang bubur kacang hijau.

Ya, amplop! Gw ternyata lupa bayar. Terpaksa gw balik lagi dan memberikan lembaran duit lecek dari kantong celana. Sebelumnya gw minta maaf atas kekhilafan. Bahkan gw rela mencium-cium jidat Tukang bubur agar si Tukang melupakan kesalahan gw, karena meninggalkan dirinya tanpa membayar terlebih dahulu.



Ada hotel Mega-Pro, ada komunitas Mega-Pro alias mereka pendukung Capres/ Cawapres Megawati dan Prabowo bernama Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta). Gw nggak ngerti, siapa yang yang mendukung siapa? Hotel mendukung Megawati-Prabowo atau sebaliknya Amarta mendukung hotel Mega-Pro? Yang pasti, kalo ada pasangan muda masuk hotel, perlu diperiksa KTP & surat nikah-nya. Mereka udah menikah atau melakukan perbuatan mesum? By the way, slogan "Mega-Pro menang rakyat senang!" itu buat Megawati-Prabowo atau buat hotel ya?

Rupanya, momentum gw memohon maaf ke Tukang bubur kacang hijau ternyata terlalu lama. SBY keburu siap-siap menggenjot Ibu Any, eh maksudnya menggenjot sepeda tandemnya bersama Ibu Any. Gw udah nggak memungkinkan buat menerobos masuk, karena Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres) udah memblockir mereka yang mendekat ke SBY.

Rombongan pun akhirnya pergi. Menurut Panitia, rombongan SBY dan beberapa Menteri bakal menggoes sepeda menuju ke Monas. Oh iya, jalanan protokol Sudirman hari ini ditutup. Bukan sengaja ditutup gara-gara SBY. Tapi memang tiap Minggu, Sudirman ditutup karena Car Free Day (CFD) alias Hari Bebas Kendaraan Bermotor.

Terpaksa gw ikut iring-iringan yang ada di belakang. Gw berharap, SBY masih mau menerima gw buat ngobrol-ngobrol. Mumpung gw ini Pengendara sepeda dan masih ganteng. Coba kalo nggak bawa sepeda, pasti nggak bakal bisa naik sepeda, wong sepedanya nggak dibawa, gimana mau naik sepeda?


Gw nggak sempat beriring-iringan dengan SBY naik sepeda. Padahal gw mau tanya soal mengapa Bapak dituduh sebagai antek-antek Barat? Mengapa Bapak dianggap penganut faham neolibealis? Why? Tapi sepeda gw jauh di belakang sepeda doi, cong! Sehingga ngos-ngosan juga mengejar Capres yang sekarang lagi dikerubutin mereka yang katanya penegak ekonomi kerakyatan, tapi realitanya dolar mereka bertumpuk itu.
Sepanjang perjalanan, gw terus mengingat-ingat pertanyaan yang bakal gw tanyakan ke SBY. Pertanyaan-pertanyaannya seputar tuduhan lawan-lawan politiknya mengenai dirinya yang dianggap penganut faham neolibelis. Salah satu pertanyaan adalah: apakah neoliberalis bakal mengusir orang-orang yang naik sepeda?

Kenapa pertanyaan itu gw ajukan? Soalnya gw ini penggemar bersepeda. Meski nggak ikut Bike to Work (B2W), gw adalah salah satu orang yang setuju kalo Pemerintah membuat jalur sepeda, membatasi jumlah kendaraan di jalan, dan hal-hal yang sangat menguntungkan bagi mereka yang menggunakan sepeda.

You know know my Friends, komunitas B2W meningkat tajam. Pada saat deklarasi di Balai Kota DKI Jakarta pada tanggal 27 Agustus 2005, jumlah anggota B2W cuma 600-an orang. Pada tahun 2006, bertambah dua kali lipat, yakni 1.300 orang. Dari jumlah itu, nggak cuma karyawan-karyawan biasa, tapi udah ada Pejabat maupun publik figur. Bahkan Menteri kayak Pak Kusmayanto Kadiman (Menrisitek), Rahmat Witoelar (Meneg Lingkungan Hidup), Fahmi Idris (Menperindag), dan Andi Mallarangeng (Jubir Presiden SBY) masuk dalam deretan mereka yang pro pada dunia gowes-gowes alias bersepeda.


Ada Akbar Tanjung yang ikutan bersepeda bareng SBY. Begitu dekat-dekat dengan Jubir SBY, Andi Malaranggeng, seluruh wartawan langsung menyerbu. Mereka pengen nguping, ada statement politik apa yang dilontarkan Akbar atau perjanjian apa di Parkir Timur Senayan. Eh, ternyata cuma ngomong gini: "Tiket tol Jagorawi 5.500, Bang!" kata Andi. Lho, bukannya memang segitu bayarannya? Udah lama kalee!

Pada tahun 2007, jumlah anggota B2W makin gokil, yakni 4.000 orang. Menurut Ketua Umum B2W Indonesia, Toto Sugito, hingga pertengahan tahun 2009 ini, anggota B2W mencapai 11.000 orang. Jumlah segitu tersebar di 33 kota besar di Indonesia. Buat gw, ini menandakan Pemerintah sangat concern terhadap mereka yang menggunakan sepeda. Padahal katanya Pemerintah SBY sekarang ini neoliberalis? Bukankah sepeda itu identik dengan transportasi kerakyatan? Lah, Capres/ Cawapres yang mengelorakan ekonomi kerakyatan pada kemana? Kok nggak naik sepeda juga? Ah, omongan dengan kenyataannya nggak sesuai nih!

Gw ngos-ngosan. Antara gw dengan rombongan SBY jauh banget. Belum juga sampai di Monas, nafas gw udah Senin-Kamis. Rupanya nafas model begini memberikan sinyal, gw nggak bakalan sanggup mengejar SBY sampai ke Monas. Ini artinya, gw kudu stop alias berhenti.


Antara kampanye terselubung dan event murni yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup jadi bias. Lihat aja ada segerombolan Pengayuh sepeda yang berjalan menuju Monas, ada seseorang yang melambai-lambaikan bendera bergambar SBY. Biasanya bendera yang dilambai-lambaikan adalah bermotif kotak-kotak.

Payah! Ah, bukan payah! Gw cuma nggak mau memaksakan diri menggejar SBY dan melakukan interview sebagaimana pertanyaan-pertanyaan yang gw udah siapkan sedari tadi. Kalo dipikir-pikir sayang juga sih nggak bisa mendapat jawaban soal ekonomi kerakyatan dan neoliberalis itu. Tapi mending gw stop daripada gw mendapatkan serangan jantung, karena memaksakan diri buat ngejar SBY? Biarlah rasa penasaran gw tetap bersemi di hati ini. Emangnya elo mau bertanggungjawab kalo gw mati? Kata orangtua: sutralah! Mau ekonomi kerakyatan atau neoliberalis sama juga kok! Sama-sama ekonomi Barat yang diterjemahkan ala Indonesia!

...tetap masih bakal ada Pedagang-Pedagang yang sembarangan jualan di jalan sehingga memacetkan jalan. Tetap ada warteg-warteg atau warung-warung tenda yang mengambil trotoar dan dagangannya dijual tanpa lewat izin Dinas Kesehatan. Tetap akan ada parkir liar maupun parkir yang pakai karcis. Tetap akan ada ojek-ojek yang mengejar Penumpang yang baru turun dari bus kota. Tetap akan ada Pedagang asongan yang jualan di jalan tol. Tetap akan ada Metromini yang memindahkan Penumpang-nya ke Metromini lain. Tetap ada warga yang nggak taat aturan: ngerokok di tempat dilarang merokok, sepeda motor masuk ke jalur cepat, dan lain-lain....


all photos and video copyright by Jaya

RUMAH MAKAN MBAH JINGKRAK: "AKHIRNYA KETEMU MY MBAH JUGA..."

Sedih rasanya begitu melahirkan nggak sempat bertemu kedua orangtua. Aku jadi nggak tahu rupa Papa dan Mamaku ketika pertama kali aku menangis. Aku juga jadi nggak tahu kenapa mereka memutuskan buat melahirkanku ke dunia yang fana ini kalo kemudian aku akhirnya ditinggal juga.

Kata Dokter yang mengeluarkanku dari rahim Mama, Papa nggak ada di Rumah Sakit menjelang detik-detik kelahiranku. Kata Dokter yang dia dengar dari Mamaku, Papaku adalah lelaki yang nggak bertanggungjawab. Papaku lelaki yang bertanggungtanya. Kalo nggak bisa jawab, ya banya tanya, ya nggak? Artinya Papaku memang terlalu banyak tanya, terlalu banyak alasan. Itulah kenapa dia nggak mau bertanggungjawab.

“Kenapa sih kamu melepas spiralmu sehingga kita harus punya anak?” begitu kata Papaku yang menyalahkan Mama.

“Aku kan nggak pake spiral, Pap.” Jawab Mama. “Aku pakai alat kontrasepsi lain.”

“Kalo pakai alat lain, kenapa kamu sampai mengandung? Bukankah BKKBN sekarang ini lagi kebingungan gara-gara terjadi ledakan penduduk di Indonesia ini? Kamu tahu nggak, jumlah penduduk Indonesia tahun 2015 diperkirakan akan mencapai 270 juta! ”

“Aku cuma pake kalender, Pap.”


Inilah Mbah yang aku cari. Setelah Papaku kabur. Mamaku meninggal. Dokter yang melahirkanku mengatakan, "ada seseorang yang masih saudara yang masih hidup. Dia satu-satunya saudara yang bisa menjadi orangtuamu. Kepribadiannya anggun seperti Anggun C. Sasmi dan kecantikannya nggak beda kayak Luna Maya. Bedanya, seseorang ini seringkali jingkrak. Makanya namanya Mbah Jingkrak".

“Pakai apapun kalo kamu bisa mengantisipasi supaya nggak hamil, pasti bisa, ya nggak? Kalo penduduk Indonesia 270 juta jiwa di tahun 2015, itu sama aja bertambah 45 juta jiwa. Ini gara-gara peserta Keluarga Berencana (KB) menurun 0,5% per tahun. Nah, salah satu penduduk yang bikin KB menurun, ya kamu ini, Ma!”

“Habis kalender yang Papa kasih udah nggak update lagi...”

“Maksudnya?”

“Itu kalender tahun 1999. Jadi mohon maaf kalo hitungan Mama soal masa subur dan nggak subur juga nggak update lagi...”

“Mati aku!” Papa langsung memukul jidat kepalanya.

Sejak itu, Papa nggak menampakkan diri lagi. Selama masa kehamilan dan akhirnya lahir, Mama yang mengurus aku sendiri. Sampai akhirnya Mama memilih mengakhiri hidupnya dan membiarkan aku menjadi anak yatim piatu.

NEXT SEVENTEEN LATER

“Kamu cuma punya seseorang yang masih hidup di dunia ini,” kata Dokter yang sempat membantu persalinan Mamaku sebelum aku lahir dan Mama meninggal. “Sesorang itu kini tinggal ada di jalan Setiabudi atau di jalan Bulungan Raya, Jakarta Selatan juga nggak apa-apa. Tapi di Setiabudi aja deh...”

“Setiabudi Jakarta Selatan maksudnya, Dokter?” tanyaku nggak percaya.

“Yap!”

“Dokter sedang tidak main-main kan?”

“Enggak lah yau! Saya bukan dokter dari OMNI International Serpong yang menjebloskan Prita Mulyasari yang nggak bersalah itu ke penjara. Saya juga bukan Dokter jaga yang fans berat dengan antibiotik. Saya dokter kandungan yang punya lisensi international dengan image yang harum menawan...”

“Baiklah kalo begitu, saya akan cari seseorang yang Dokter maksudkan itu...”


Selain di jalan Setiabudi, engkau bisa juga nongkrong di jalan Bulungan. Persis di depan GOR Bulungan. Kebetulan arsitektur di jalan Setiabudi nyentrik punya. Atapnya bauhela. Sementara di samping kiri-kanannya udah banyak rumah-rumah modern.

Masa pencarian pun dimulai. Aku mulai bertanya ke beberapa orang di sekitar Setiabudi mengenai seseorang itu. Memang aneh cara yang aku lakukan, yakni dengan memperagakan seorang yang sedang berjingkrak: tangan kiri ke atas dengan kaki kanan ke atas.

“Bapak tahu nggak orang yang kayak gini?” tanyaku sambil bergaya.

“Kok kayak orang jingkrak?” tanya Tukang Parkir di Ar-Rahman, sekolah yang ada di jalan Setiabudi.

“Yap! Bapak tahu?”

I’m sorry my Friend I don’t know,” kata Tukang Parkir yang ternyata fasih berbahasa Inggris dan katanya berhasil mencapai TOEFL 500 ini.

Aku berjalan lagi.

“Bapak tahu ada orang kayak gini?”

Orang yang aku tanya itu menggeleng.

“Bapak tahu ada orang kayak gini?”

Orang yang aku tanya di sebelah orang yang nggak tahu sebelumnya menggeleng lagi.

“Bapak tahu ada orang kayak gini?”

Orang yang aku tanya di sebelah orang yang sebelumnya menggeleng dan menggeleng, kali ini menggeleng lagi. Artinya, orang ini nggak tahu juga.


Di luar resto, ada sepeda nyentrik terbuat dari kayu. Semuanya serba kayu, termasuk pelek rodanya. Yang naik kayak-kayaknya kudu jingkrak-jingkrakan kali ya? Soalnya kalo joknya bukan dari plastik yang membalut busa yang empuk, buah zakar lelaki bisa-bisa kesakitan dan itu membuat lelaki jadi jejingkrakan.

Aku sedih. Aku lelah. Kayak-kayaknya masa pencarianku sia-sia. Padahal aku ingin sekali bertemu satu-satunya orang yang bakal menggantikan posisi orangtuaku, karena selama ini aku dibina oleh panti asuhan, which is not my family. Namun banyak orang nggak tahu keberadaan orang yang aku cari. Apakah aku harus menghentikan pencarianku ini? Apakah aku terpaksa menjadi orang frustrasi?

Aku lapar sekali. Agaknya aku perlu sesuatu buat dimakan. Aku juga haus. Agaknya aku perlu sesuatu buat diminum. Kata orang, kalo kita nggak makan bisa kelaparan. Tapi masih mending daripada kehausan. Soalnya kata orang, lebih gawat kalo kita kehausan tapi nggak minum. Kalo nggak minum, kita akan dehidrasi, kehilangan cairan, dan mengakibatkan mati. Kalo lapar, tapi nggak minum, masih bisa nggak mati. Paling enggak cuma cegukkan.

Aku menemukan sebuah rumah dengan arsitektur gaya bahuela, yakni dengan atap segitiga. Unik sekali. Kayaknya sejak dibangun, atapnya belum pernah direnovasi. Memasuki rumah itu, ada beberapa botol-botol. Bukan botol minuman, tapi botol kecap atau saus. Di dekat situ, aku melihat beraneka rupa makanan khas Jawa Tengah. Ada ayam rambut setan, yakni ayam yang dimasak dengan cabai hijau dan merah yang dari tampilan fisiknya saja bikin ngeri seperti melihat setan. Ada empal bacem yang lebih mirip empal dari Jawa Barat yang diiris pipih tipis. Ada pula sayur berkuah, mulai dari sayur lodeh rebung, sayur brongkos telur, sampai sayur tempe lombok ijo.


Tinggal tunjuk maunya apa, makanan segera diantar. Minumannya sih kudu pilih-pilih, soalnya namanya aneh-aneh. Ada Es Tobat, Es Insyaf, Es Sorga, dan Es Ganja.

“Pake sambal Pak?” tanya Pelayan yang pakai belangkon itu.

“Boleh! Siapa takut!” jawabku dengan penuh semangat.

“Minumannya mau coba Es Tobat, Pak? Barangkali Bapak mau tobat gitu?”

“Enak aja mau tobat! Situ kali yang mau tobat. Saya setiap hari tobat, tapi tiap hari juga buat kesalahan...”

“Jadi sama aja dong Pak? Pahalanya jadi nol. Impas!”

“Ya begitu deh! Es yang lain aja!”

“Es Kolor Ijo barangkali...”

“Waduh! Kamu ini ngerti nggak sih?! Siang ini saya lagi pake kolor yang warnanya biru. Situ jangan asal nebak ya! Es yang lain aja!”

“Es apa dong Pak? Es Surga kali ya?”

“Nah, gitu dong! Nawarin yang positif-positif aja. Kalo es surga saya mau tuh! Yang dibuatnya pake kelapa muda dan gula jawa kan?”

“Itu mah Es Ganja Pak!”

“Wah, saya nggak mau deh! Udah sediakan saya es teh manis aja!”

“Dari tadi aja Pak kalo mau es teh manis. Pake gaya mau es ini dan itu segala...” Sang Pelayan rada ngedumel. Tapi ngedumelnya dalam hati. Soalnya kalo ngedumelnya dikeluarkan, ini akan membuat image tempat makan ini jadi nggak bagus.


Daya tarik resto saat ini adalah mengakomodir anak-anak. Maksudnya, ada tempat bermain anak-anak, selain cuma tempat makan. Tengok aja di KFC, atau di resto Sunda yang ada ayunan atau perosotan. Nah, di tempat ini, ada tempat main lempar-lemparan bola ke dak perahu. Bola-bolanya dibiarkan bebas di kolam renang.

Aku pun makan dengan lahapnya. Belum juga dua suap, mulutku komat-kamit. Keringat mengucur deras. Mataku merem-melek. Kalo digambarkan kayak orang kepedasan. Memang aku kepedasan sih.

“Sambalnya dahsyat! Gokil!”

Tanpa sengaja, aku melihat ada sosok yang aku cari. Dia berwujud nenek-nenek yang berambut putih. Selama ini aku memang melihat nenek rambutnya putih. Kalo rambut seorang nenak berwarna merah, itu bukan nenek tapi perempuan gaul namanya. Nenek-nenek yang aku lihat ini bergaya sebagaimana orang sedang berjingkrak: kaki kanan diangkat ke atas dan tangan kiri ke atas.


“Itu siapa?” tanyaku pada Pelayan yang ada di pojokan dekat wastafel. Wajah Pelayan itu mengikuti telunjuk yang aku arahkan ke sosok yang ada di tepi kolam renang.
“Itu Mbah Jingkrak, Pak.”

“Hah?! Mbah Jingkrak!”

Spontan aku langsung naik ke meja dan berlari ke arah Mbah Jingkrak. Akibat aku naik ke meja, piring-piring yang ada di meja berhamburan. Ada yang pecah, ada yang cuma jatuh tapi nggak pecah, ada pula yang nggak pecah-pecah meski udah jatuh ke lantai.

Aku nggak peduli. Engkau pasti tahu mengapa aku melakukan adegan norak dan ngawur kayak begitu. Coba posisikan engkau kayak aku, dimana seseorang yang udah lama mencari sanak saudara yang hilang dan tiba-tiba berjumpa. Coba bayangkan, ketika aku tadinya udah sempat frustrasi dan nggak mau melanjutkan pencarian seseorang yang dikatakan Dokterku sebagai seorang yang bisa menggantikan orangtuaku. Seseorang itu sekarang ada di depanku. Wajarkan kalo aku ngawur kayak begini?


Kalo anak-anak dikasih permainan, buat orangtua yang doyan baca buku, disediakan perpustakaan mini. Di situ ada anekabuku, mulai dari buku politik, ekonomi, motivasi, sampai Al-Qur'an. Saya yang doyan buku, matanya jadi berbinar-binar dan berwarna hijau kayak ngelihat dolar atau saham.

Melihat aku melakukan adegan ngawur begitu, para Pelanggan dan Pelayan seketika memperhatikanku. Aku menjadi point of view. Mereka yang sebelumnya fokus pada makanan, pada sambel yang pedasnya gokil abis itu, kini memandangiku dengan penuh rasa penasaran. Mereka pasti berpikir: orang gila dari mana sih ini?

Sakali lagi aku nggak peduli. Mbah Jingkrak itu aku langsung peluk erat-erat. Jidatnya aku cium-ciumi. Rasanya aku nggak mau kehilangan dia, sebagaimana aku kehilangan orangtuaku.


Ada koleksi rokok yang dipajang di tembok. Koleksi rokok ini masih kurang banyak dan komplet dibanding milik koleksi milik temen saya. Nama teman saya Meidi. Tinggalnya di Cireunde, persis di dekat lapangan terbang mini Pondok Cabe. Hobinya naik mobil VW. Gara-gara naik mobil VW, wajahnya jadi hitam gemilang. Lho, apa hubungannya ya?

“Mbah, ini aku Mbah. Aku kangen sekali sama Mbah. Nggak ada keluargaku lagi di dunia ini selain Mbah. Mbah jangan kemana-mana ya?”

Para Pelanggan dan Pelayan melanjutkan aktivitas semula. Mereka cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah lakuku. Mereka tetap konsisten memandangku sebagai manusia gila. Yaiyalah gila! Berpelukan dan mencium-cium si Mbah Jingkrak kayak gitu apa bukan disebut gila namanya? Wong yang dipeluk dan dicium-cium itu cuma sebuah patung yang berada di pinggir kolam renang mini.

"Oh Mbah, I love you! Muaaaah!!!"


all photos copyright by Jaya

Sabtu, 06 Juni 2009

PENCEMARAN NAMA BAIK

Begitu girangnya Bejo mendengar Prita Mulyasari bebas. Lelaki itu loncat-loncat di atas sofa warna pink. Tanpa sadar, sofa yang udah berumur lima tahun itu jebol. Maklum, berat bejo kalo ditimbang hampir seberat 10 karung beras yang beratnya @ 10 kilgram. Gara-gara jebol, Bejo pun terjerembab.

Istrinya kawatir Bejo udah syaraf alias gila. Istri Bejo yang bernama Siti juga mengawatirkan suaminya itu kena santet. Maklumlah, gini hari nggak dapat undian berhadiah tapi jejingkrakkan, itu namanya gokil. Yaiyalah, ngapain juga menyusahkan diri kalo nggak mendapatkan reward yang sepadan? Lagipula Prita Mulyasari itu bukan siapa-siapa alias nobody bagi keluarga Bejo maupun Siti.

“Mamaku sayang, Prita itu something!” ujar Bejo dengan tampang berapi-api yang membuatnya hampir kebakaran. “Tanpa Prita, konsumen Rumah Sakit akan selama-lamanya bungkam. Nggak berani mengungkapkan fakta yang terjadi di Rumah Sakit. Fakta mengenai dokter yang bandel-bandel. Tanpa keberanian Prita, konsumen Rumah Sakit cuma ngedumel sendirian dan selanjutnya menerima ketidakberesan yang terjadi di Rumah Sakit...”


Ini anak saya saat masuk RS. Saat masuk RS, istri sempat jengkel gara-gara, hampir tiap pagi tangan anak kami ditusuk-tusuk buat saluran infus. Mending cuma sekali-dua kali, ini beberapa kali. Si suster kayak-kayaknya masih amatir mencari urat nadi dan main tusuk aja. Kalo orang dewasa sih nggak apa-apa. Nah, yang ditusuk anak-anak. Gimana nggak trauma anak kami kalo masuk ke RS?
Siti bengong. Ada dua hal yang pertama yang membuatnya bengong. Pertama, kalimat-kalimat yang diutarakan suaminya itu terlalu tinggi. Kata-kata seperti “konsumen” dan “fakta” terlalu asing buat dirinya. Wajarlah, Siti itu cuma lulusan Sekolah Dasar di daerah pedalaman nan jauh di mato. Kedua, Siti nggak nyangka suaminya sekarang jago berorasi, jago mengeluarkan pendapat sebagaimana layaknya Politikus-Politikus yang wajah-wajahnya kayak tikus itu.

“Sejak kapan suamiku ini jadi jago ngomong ya?” tanya Siti dalam hati. “Padahal dia itu sama-sama lulusan SD. Nggak tamat pula. Waktu sekolah dulu pun sering ngutang bayaran sekolahnya.”

Rupanya Bejo rajin membaca koran. Dia mengamati kasus Prita sejak awal sampai terakhir ibu dari Khairan Ananta Nugroho itu diizinkan pulang pada Rabu (3/6) lalu. Bejo mulai tertarik dengan e-mail berisi keluhan pelayanan di RS Omni International, Serpong yang dikirimkan Prita tanggal 15 Agustus 2008. Judulnya “Penipuan Omni International Hospital Alam Sutera Tangerang”.

Dalam e-mail itu, Prita menyebut-nyebut nama dokter Hengky Gozal dan dokter Grace Hilza. Isi e-mailnya masih Bejo simpan. Bahkan print out-an e-mail Prita sempat dibingkai segala. Ini isi e-mailnya...

Jangan sampai kejadian saya ini menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandar International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah trombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr I (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.




Ini Rumah Sakit Pertamburan, Jakarta Barat. So far sih kami belum pernah mendapatkan perlakuan yang asyik di RS ini. Bukan takut dianggap melakukan pencemaran baik, lho. Kalo memang ada sesuatu yang kami alami sebagaimana Prita Mulyasari, kami pasti akan membuat curhat, entah itu via e-mail atau blog ini. Anyway, RS Pertamburan ini konon katanya "lebih international" daripada RS-RS yang katanya international. You know what? meski belum punya ISO, beberapa prosedur RS Pertamburan "lebih international", bahkan di sini terima operasi beberapa pasien dari RS yang berlebel international.


Dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.


Ini RS Persahabatan. Sama kayak RS Pertamburan, saya belum pernah mendapatkan perlakuan yang nggak menyenangkan di RS yang lokasinya di Rawamangun ini. Kalo soal ada orang-orang yang tidur di sekitar kamar pasien kayak-kayaknya semua RS di Indonesia ini "mengizinkan" kali ya? Meski mengganggu pemandangan dan kelihatannya udik banget, baik di RS bertaraf international maupun taraf kampung, para keluarga pasien yang gelar tikar dan tidur di lantai udah biasa. Barangkali yang kudu jadi perhatian, masih banyak keluarga atau penjenguk pasien yang merokok di sekitar RS. Nggak cuma di RS Persahabatan ini, tapi di hampir semua RS. Padahal udah ada tanda dilarang merokok. Barangkali Security RS harus lebih berani. Kalo perlu tembak di tempat.
dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.


Istri saya pernah sedikit kesal dengan suster di RS Thamrin ini. Gara-gara udah datang tepat waktu, jam praktek dokter dibilang dokternya udah ada. Begitu lewat limabelas menit, kita diminta tetap sabar menunggu. Duapuluh menit, suster itu ngasih tahu kalo dokternya masih diperjalanan. Begitu 30 menit, kita baru disuruh milih: mau tetap sabar menunggu atau mencari dokter lain. Halah! Kenapa nggak dari tadi sih sus? So far sih RS Thamrin ini baik-baik aja. Seluruh keluarga saya rata-rata berobat di RS ini.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og (Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.


Ini Rumah Sakit Cipta Mangunkusomo (RSCM) yang katanya tempat praktek dokter Hengky Gozal. Aneh, masa ada Konsumen yang menginfokan soal perlakuan yang kurang baik dibilang mencemarkan nama baik. Lah, bukankah itu malah justru sangat menolong calon Konsumen lain yang hendak pergi ke RS agar berhati-hati? Coba kalo saya nggak tahu siapa dokternya dan dimana tempat prakteknya, barangkali dengan gobloknya saya akan menjadi pasien dokter itu.
Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.


Meski ada dokter Hengky Gozal, RSCM beberapa tahun ini dikenal sebagai RS yang melayani pasien miskin yang mau berobat gratis via kartu orang miskin. Hebatnya, operasi sampai 100 juta sekalipun, orang-orang miskin ini bisa berobat tanpa mengeluarkan duit sepersen pun. Tapi, nah ada tapinya nih, kartu pengobatan gratis ini seringkali salah sasaran. Yang seharusnya cuma dimiliki orang miskin, eh orang-orang mampu pun banyak yang punya kartu miskin, lho. Nggak fair banget ya?

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

Salam,
Prita Mulyasari
Alam Sutera


Ini apotik kuno di Salemba. Nggak ada hubungannya dengan kasus Bejo yang selalu mendapatkan obat antibiotik tiap kali ke dokter. Ini memang realita yang terjadi. Dokter lebih suka pakai cara instan, memberikan antibiotik supaya cepat sembuh. Kalo pasien cepat sembuh, disangka dokternya jago, padahal belum tentu. Itu bukan dokter yang jago, tapi dokter yang nggak mau repot dan pengen dianggap dokter canggih, sehingga banyak pasien yang mau ke dokter itu lagi. Dokter-dokter antibiotik itu nggak update, bahwa saat ini udah banyak pasien pinter. Nggak tertarik dikasih antibiotik.

Terus terang Bejo nggak ngerti mengapa Prita dianggap melakukan pencemaran nama baik. Lah? Kalo memang faktanya begitu gimana? Kalo dokter-dokternya memang badung-badung gimana? Sebagai anak lulusan SD, otak Bejo cukup cerdas. Dia pikir, yang namanya pencemaran nama baik itu kalo kejadiannya nggak benar-benar ada, sehingga kisahnya dibuat-buat, diplintirkan menjadi nggak akurat.

“Nah, kejadian yang menimpa Prita memang kejadian nyata kan?!”

Siti menggangguk. Dia kaget ucapan Bejo “kenceng” juga di arahkan padanya. Seolah Siti itu dokter-dokter yang memeriksa Prita. Seolah Siti itu perwakilan Manajemen RS Omni International yang protes atas tindakan Prita yang dianggap mencemarkan nama baik. Seolah-olah Siti adalah Jaksa Pengadilan Negeri Tangeran yang menuduh Prita melanggar pasal di Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE).

“Mumpung momentum Prita, mari kita menggugat dokter-dokter yang memeriksakan kita, Ma!” ajak Bejo pada istrinya yang cantik dan seksi mirip Julia Perez itu.

“Menggugat? Menggugat itu apa Mas?” tanya Siti dengan lugu.

“Menggugat itu protes! Menggugat itu juga berarti mengungkapkan uneg-uneg terhadap apa yang kita rasakan!”

“Emang boleh?”

“Ini negara demokrasi sayang! Kita memiliki Undang-Undang kebebasan berpendapat! Ini ada di UU ITE no 11 tahun 2008! Mereka yang membungkam hak kita berpendapat sama saja melanggar HAM!”

“HAM itu apa? Semacam daging gitu?”

“Aduh! Kamu ini cantik-cantik goblok amat sih?!” Bejo kesal.

“Kok kamu gitu sih? Mbok dikasih tahu kalo orang nggak tahu. Kayak Prita gitu, toh! Dia juga nggak tahu kalo apa yang dia lakukan di e-mail bukan cuma curhat, ternyata dianggap pencemaran nama baik...”


Kalo pelayanan Puskesmas masih kampungan, barangkali masih wajar, ya nggak? Maklum, yang datang orang-orang kampung dan pelayanannya terpaksa mengikut aturan kampung, meski harusnya nggak kayak gitu juga sih. Tapi kalo pelayanan RS yang berlebel international bergaya kampungan, wah itu memang kudu dikritisi. Kita jangan mau diam diri. Wong kita udah bayar mahal,kok, ya nggak?

Bejo bengong. Dia kayak kena kick sama istrinya. Nggak heran kalo kemudian nada bicaranya diturunkan. Ucapannya nggak “kenceng” lagi.

“Baiklah saya bersalah. Tapi bagaimana kalo kita tetap protes pada dokter-dokter yang geblek-geblek itu...”

“Dokter geblek itu dokter seperti apa?”

“Dokter yang seringkali memberikan antibiotik tiap kali kita sakit. Dikit-dikit antibiotik, dikit-dikit antibiotik. Kayak-kayaknya penyembuhan penyakit cuma antibiotik. Itu kan geblek! Kita juga menggugat dokter-dokter yang nggak punya waktu buat curhat...”

“Maksud kamu?”

“Seharusnya dokter itu kan bisa membuat pasiennya pintar. Ketika pasien bertanya tentang penyakit yang diderita, dokter bisa menjelaskan dengan detail. Yang terjadi dokter udah nggak punya waktu lagi buat menjelaskan. Targetnya cuma duit dan duit. Kejar setoran. Makanya aku nggak suka kalo kita pergi ke dokter yang pasiennya banyak. Dokter itu memang ngetop, tapi justru malah nggak punya banyak waktu buat curhat, menjadikan kita pintar...”

“Lalu...”

“Aku juga mau menggugat dokter yang nggak pernah mau mengungkapkan diagnosa pasien-pasiennya. Dimana-mana hak pasien mandapatkan diagnosa. Jangan kayak Prita yang minta apa penyakitnya, apa diagnosanya, eh main suntik-suntik aja. Ini kan geblek! Oleh karena itulah, mari kita menggugat dokter!”

Tuti tersenyum. Suaminya yang semanggat jadi ragu-ragu buat menggugat.

“Kenapa kamu tersenyum?”

“Sayang mending kita nggak usah menggugat deh. Gimana kalo kita benerin sofa kita yang kamu jebolin itu...”

“Lho kenapa?”

“Apa yang kamu ucapkan itu seringkali nggak sesuai kenyataan..”

“Maksud kamu?”

“Soal dokter yang sering memberikan antibiotik, kamu nggak pernah protes. Kamu merasa jadi cepat sehat dengan antibiotik, ya nggak? Lagipula pada saat dokter memberikan resep, kamu nggak pernah tanya diberikan antibiotik atau enggak. Kamu cuek, ya nggak?”

Bejo diam.

“Soal dokter nggak punya waktu buat curhat, lah kamu sendiri nggak pernah mau tanya. Yang banyak tanya justru aku, ya nggak? Kamu malah prospekin dokter agar bisa gabung di Multi Level Marketing kamu...”

Bejo diam.

“Terakhir soal memberikan diagnosa juga begitu. Kamu juga jarang minta diagnosa. Buat kamu yang penting bisa cepat sembuh dan cepat pulang. Nggak peduli obat yang disuntikan ke badan kamu. Nggak peduli isi infus yang mengaliri obat lewat selang dan masuk tubuh kamu. Ya kan?

Bejo mulai menggangguk.

“Lebih baik kita betulkan sofa gimana?”

Dalam kondisi lemas, Bejo menuju ke arah sofa. Semangatnya yang beberapa saat tadi membara buat memprotes dokter-dokter geblek itu, mulai sirna. Agaknya ajakan istrinya buat membetulkan sofa, diamini. Dia pun menggangkat sofa yang jebol itu.

Siti tersenyum, sebagaimana senyum Prita yang berhasil menghirup udara kebebasan setelah keluar dari LP Wanita Tanggerang.

all photos copyright by Jaya