Kamis, 23 April 2009

Minggu, 19 April 2009

ANAK TAMAN KANAK-KANAK AJA TAHU...

Kalo bukan alasan dedikasi, barangkali Irsan udah resign dari dahulu kala. Soal dedikasi ini, please deh percaya deh sama Irsan 100%, Bro. Semua orang tahu, termasuk teman-teman sekantornya tahu, doi adalah salah satu Manusia gokil di jagat ini. Mau-maunya doi bertahan terlalu lama kayak sekarang ini dengan gaji rendah.

“Sebenarnya gw suka banget kerja di sana. Tapi anak-anak yang bikin gw tersiksa,” kata Bujang lapuk yang nggak laku-laku ini.

“Maksud loe?” tanya Rico dengan nada sok tahu.

“Anak-anak kecil itu terlalu pintar. Pertanyaan-pertanyaan mereka terlalu brilian. They are genius!”

“Anak-anak kecil? Emang elo kerja di mana si San? Bukannya elo kerja di stasiun televisi? Di dunia boadcast? Yang ngurusin budget-budget?”

“Gw ini Guru Taman Kanak-Kanak!”

Rico memang sok belagu. Dari dulu sifatnya memang begitu. Doi pinter sih, tapi kadang ngeselin. Soal Irsan yang sebenarnya nggak doi tahu aja itu, masih disoktahuin, apalagi masalah yang doi nggak tahu, bisa-bisa asplak alias asal jeplak. Kadang udah salah, nggak pernah minta maaf pula. Biasalah, harga diri, Bro.

“Jadi sekarang elo mau resign?”

Irsan menggeleng kencang. Itu artinya, doi akan tetap menjadi Guru Taman Kanak-Kanak (TK). Sekali lagi, ketidakinginan buat resign lebih kepada dedikasi. Cita-cita Irsan memang jadi Guru, terserah mau Guru apa aja. Mau guru SD kek, SMP kek, SMU kek, atau TK, sing penting mengajar. Tapi yang Irsan ingin, murid-muridnya harus bodoh-bodoh. Murid-muridnya nggak boleh ada yang tanya macam-macem. Eh, ndilalah pas ngajar di TK ini, Irsan berjumpa dengan murid-murid TK yang pandai-pandai. Mampuslah doi!

Emang pertanyaannya kayak apa sih sampai Irsan mau resign?

Sejatinya, anak-anak TK cuma belajar menggambar, melipat, main, atau berhitung sederhana. Tapi di sekolah tempat Irsan mengajar, anak-anak ini pingin diajarin juga masalah Epolesosbud alias ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Gokil nggak? Sok dewasa banget sih.

“Pak Irsan, kenapa sih Megawati masih mencalonkan jadi Presiden? Kan Ibu Mega udah pernah jadi Presiden?” Begitulah pertanyaan anak TK di kelas Irsan.

“Kok Wiranto dan Prabowo yang udah kalah masih juga ngotot mau jadi Presiden?”

Pertanyaan-pertanyaan itu jelas membuat Irsan diam seribu bahasa. No comment! Mirip kayak Dessy Ratnasari si Miss No Comment itu. Habis mau jawab apa hayo? Kalo dijawab A, nanti dianggap Irsan berpihak pada Partai B. Giliran jawab C, eh doi nanti dikatakan pro-Mega atau pro-Mantan Jendral Kalah. Serba saah kan?

TK di tempat Irsan mengajar memang unik. Anak-anaknya hampir 80% jenius. Kayak-kayaknya calon Pemimpin masa depan. Oh iya, nama TK-nya adalah TK Al-Amin. Pasti elo menebak-nebak, kok namanya mirip kayak seorang Koruptor deh? Yap! Tujuan Kepala Sekolah (Kepsek) TK Al-Amin memang begitu. Doi ingin segenap Murid dan Orangtua Murid mengingat akan nama Al-Amin sebagai Maskot Koruptor, karena doi udah memberi contoh kepada segenap bangsa Indonesia tentang prilakunya itu, yakni anggota Legislatif yang berhasil melakukan korupsi.

Namun begitu, Kepsek TK Al-Amin punya visi. Seluruh lulusan TK ini nggak boleh ada yang jadi Koruptor. Selain nggak boleh jadi Koruptor, murid-murid juga ditanamkan agar jangan sampai jadi Pengacara, Jaksa Agung, atau Anggota Legislatif. “Selama sistem hukum di sini masih mengandalkan duit, saya akan selalu mendoktrin murid-murid saya agar jangan pernah punya cita-cita Profesi-Profesi itu,” ungkap Kepsek dalam sebuah interview Radio Ga-Ga. “Mending jadi sopir Mikrolet, penjual Jamu Gendong, atau Tukang Sampah daripada hidup membohongi orang terus, korupsi terus, kongkalikong terus...”

Pagi yang cerah ceria ini, Irsan kembali panas dingin. Doi harus mengajar kembali. Berhadapan kembali dengan murid-murid TK yang brilian itu. Pasti nanti pada saat mengajar, doi akan ditanya macam-macam oleh anak-anak kecil yang sok dewasa itu.

Memasuki kelas, keringat Irsan mengucur deras, sederas air pancuran di Kalimalang. Semakin deras ketika mata anak-anak memandang tajam pada dirinya. Kalo digambarkan, mata anak-anak itu kayak hendak menerkam Irsan. Nggak heran kalo keringat di punggungnya makin banyak. Seluruh tubuhnya gemetar. Pertanyaan apa lagi yang pagi ini akan ditanyakan krucil-krucil ini ya?

“Saya mau bertanya, Pak!”

Belum juga sempat menelan teh manis yang ada di meja kelas, seorang murid udah mengacungkan tangan ke udara. Nggak heran dari mulutnya muncratlah air teh manis. Crot! Muncratan itu membasahi ubin kelas.

“Tugas Jaksa Agung itu apa sih Pak?”

“Hmmm....” Irsan berpikir.

“Lalu tugas Polisi Antinakoba itu apa?”

“Hmmm....” Belum juga sempat menjawab pertanyaan tugas Jaksa Agung, eh udah dibebani pertanyaan lain.

Tanpa menunggu Irsan menjawab, si Murid itu nyerocos. Doi bercerita soal pembebasan Ester Thanak (40) dan Dara Veranita (37) dari tahanan Narkoba Polda Metro Jaya, Sabtu (11/4) lalu yang menurutnya sangat memalukan. “Mentang-mentang mereka Jaksa jadi bisa bebas. Ini nggak fair! Mereka itu kan tersangka kasus penggelapan barang bukti 343 butir ekstasi!”

“Oh begitu ya?” kata Irsan dengan nada pelan. Kayak-kayaknya doi nggak berkutik dengan protes muridnya. Kayaknya-kayaknya juga, si Irsan pasrah muridnya itu bercerita soal ketidakadilan ini.

“Bapak tahu kan Ibu Ester dan Ibu Dara itu ditangkap setelah tersangka Bapak Ajun Inspektur Satu Irvan ditangkap?”

Irsan mengangguk pelan.

“Bapak tahu juga kan ketiganya diduga menggelapkan dan mengedarkan barang bukti ekstasi dalam kasus kepemilikan 5.000 butir ekstasi di Apartemen Paladin Park, Kelapa Gading, Jakarta Utara, September 2008?”

Irsan mengangguk pelan again. Gile! Anak TK tahu detail soal kasus ini, bo!

“Jadi apa tugas Jaksa Agung kalo gitu?”

“Mungkin membebaskan tersangka kali ya...” ucap Irsan yakin nggak yakin.

“Lantas apa dong tugas Polisi Antinarkoba kalo begitu?”

“Mungkin membebaskan tersangka juga kali ya...” ucap Irsan lagi. Yakin nggk yakin lagi.

“Kalo tugas Jaksa Agung membebaskan Jaksa yang tersangka dan tugas Polisi Antinarkoba juga begitu, kenapa profesi mereka nggak dijadikan satu aja Pak?”

“Ya juga ya. Nanti deh Bapak tanya Pak Jaksa Agung dan Pak Polisi Antinarkoba itu. Sekarang gimana kalo kita belajar yang lain? Belajar menyanyi?”

Seisi kelas langsung berteriak: “Horeeeee!!!!”

“Lagunya apa Pak?”

“Lagunya Meggy Z...”

Mereka pun seisi kelas mengikuti Irsan menyanyikan lagu Meggy Z dengan riang gembira.

Pak Hakim dan Pak Jaksa, kapan saya akan disidang...
Sudah dua bulan lama, saya ingin cepat pulang...

DEMI GRATISAN AKU RELA MELAKUKAN APA SAJA...

Bukan Agam namanya kalo nggak takut malu. Buat Pemuda yang mengagumi Pancasila dan UUD 45 ini, tiada hari tanpa malu-maluin. Apapun pasti akan dilakukan demi keinginannya agar terkabul. Kali ini hal yang doi lakukan adalah ingin masuk ke Taman Impian Jaya Ancol.

Sejak lahir sampai udah mau wisuda S-2, Agam belum pernah menginjakkan kaki ke Ancol. Buatnya Ancol terlalu mewah buat kantongnya. Maklum, Agam selalu mendapat ultimatum dari ortunya kalo hidup bermewah-mewah. Padahal doi anak Konglomerat tersohor. Maksudnya, anak yang hidup melarat di kolong.

"Hiduplah sesuai dengan kantongmu darling," kata Mamanya. "Kalo di kantongmu ada duit 1 juta, pakailah duit 200 ribu untuk jajan dan senang-senang. Sisa 800 ribu kamu bisa pakai buat ditabung."

Gara-gara banyakan duit yang ditabung, Agam jadi irit. Saking irit, doi dikatakan Mahkluk pelit yang jarang mengeluarkan duit. Tapi Agam punya prinsip, biarlah dikatakan pelit, yang penting tetap ganteng, tetap sering ngaji ke masjid, tetap cinta pada UUD45 dan hafal 5 sila Pancasila.

Buat Agam, Ancol juga venue yang sangat menyedihkan. Kenapa? Maksud hati tempat rekreasi buat keluarga, tapi banyak mobil goyang di situ. Kalo mobil bergoyang-goyang supaya bensin di tangki padat kayak yang sering dilakukan sopir Mikrolet atau Taksi, ya nggak masalah. Tapi yang terjadi, mobil bergoyang lantaran ada sepasang Mahkluk Tuhan sedang bergoyang-goyang di dalamnya. Mereka sedang melakukan adegan meseum.


Gerbang masuk Ancol. Kalo mau gratisan, titip KTP...

"Itu dosa kata Ustadz gw," ungkap Agam yang ternyata juga udah berprofesi sebagai Amal Jariah Boy alias anak yang sering ngider-ngiderin kotak amal dari rumah ke rumah ini, Cong. "Kata Mama dan Papa, kalo kita dosa bisa masuk neraka."

Hal terakhir kenapa Agam nggak suka ke Ancol, karena image Ancol sebagai tempat "jin buang anak" masih tetanam di benaknya. Padahal dari dulu nggak ada yang namanya "Jin buang Anak". Yang ada "Tuyul dan Mbak Yul" atau "Jin Buang Robert".

Namun sekarang, dari nggak suka berubah menjadi penasaran. Yes! Agam penasaran dengan yang namanya Ancol. Rasa penasaran ini tumbuh dari pembicaraan teman-temannya soal Ancol.

"Ancol itu kayak Hollywood, lho," kata Hangga, pria Batak berdarah Manado-Jawa yang suka makan daging mentah ini.

"Kalo elo masuk Ancol, suasana sejuk kayak di Puncak akan langsung terasa ke ubun-ubun," tambah Rafid, mantan Preman Senin yang di lengannya ada tato gambar sayur bayam ini.

Segitu indahkah Ancol?

"Baiklah my Friends, lets go to Ancol!"

Agam nafsu. Nafsunya Agam disambut positif oleh rekan-rekan seperguruan silatnya: Rafid, Hangga, Juju, dan Cholil. Oh iya, mereka memang akrab banget sebagai teman. Nggak bisa terpisahkan. Bagai pepatah: "tak ada durian, akar pun jadi".

"Ancol! We're comming!!!!!!!"

Dengan menggunakan jet pribadi milik Konglomerat tersohor Brillianto, mereka pun tiba tepat di depan gerbang Ancol. Memang, jet pribadi nggak bisa masuk langsung ke Ancol. Ada sinar laser yang akan berbunyi kencang kalo jet pribadi melanggar atau melewati gerbang.


Ini bukan Penjaga Ancol dadakan. Tapi Mahkluk yang sedang mawas diri memandangi pantai Ancol yang indah gemulai...


Pasukan yang dikomandoi Agam udah siap masuk Ancol. Mereka semua begitu percaya diri dan exiting bakal berjumpa dengan venue rekreasi yang sangat terkenal di Indonesia ini. Mereka nggak sadar kalo...

"Semuanya jadi limapuluh ribu, Mas," tukas Petugas Pintu Gerbang masuk Ancol.

"Lho, masuk Ancol bayar ya, Mas," tanya Agam sok bego.

"Yaiyalah! Masa gratis? Emang Ancol milik Nenek loe apa?"

"Bener juga sih, Nenek gw belum pernah punya Ancol," jawab Agam dalam hati.

Melihat ada masalah di Gerbang, Rafid langsung menarik lengan teman-temannya. Kayak-kayaknya doi ada ide buat masuk Ancol tanpa mengeluarkan anggota badan, eh maksudnya tanpa bayar seperak pun. Tapi gimana caranya?

"Begini aja...."

"Setuju. Tapi ada lagi nggak usulan?"

"Begini aja...."

Akhirnya mereka sepakat pada suatu kesepakatan. Agam menjadi perwakilan. Apapun yang diperintahkan pihak Ancol, Agam yang akan bertanggung jawab.

"Baiklah kalo begitu, sekarang copot seluruh pakaian dan celana yang ada di tubuhmu," kata Petugas Ancol. "Kamu boleh masuk ke Ancol tanpa ada sehelai benang apapun..."

"Hah?! Bugil dong gw?"

"Habis, kalian semua nggak ada yang punya KTP. Nggak ada ID pula. Satu-satunya barang yang menjadi jaminan kalian ya pakaian dan celana..."

"Celana kolor tetap saya pake kan Pak?"

"Tetap kamu copot! Saya akan berikan kamu selembar daun talas untuk menutupi kemaluan kamu..."

Agam melirik ke arah teman-temannya. Wajahnya nampak sedih. Ada tulisan tergambar di jidatnya: "Malang benar nasib gw. Mau ke Ancol harus berbugil-bugil ria begini sih?"

Baik Rafid, Hangga, Juju, maupun Cholil menganggat bahu. Itu tanda, Agam kudu konsisten dengan keputusan hasil rembukan tadi.

"Apa boleh buat, demi gratis masuk Ancol, gw rela berbugil-bugil ria lah. Moga-moga nggak kena UU Pornografi ya, Bo!"

MASA MALU NYUAPIN ANAK? ANEH!

Buat Wili aneh banget, ada orangtua malu memperlihatkan diri di depan umum saat memberi makan anak. Harusnya malu kalo kita Korupsi atau melepas tersangka kasus penggelapan barang 343 butir ekstasi yang baru-baru ini dinikmati oleh dua Jaksa Muda: Ester Thanak dan Dara Veranita.

Menurut Wili, segala sesuatu yang ada hubungannya dengan anak, kudu kita nikmati. Sampai sekarang aja, Wili paling suka mandikan anak setelah memandikan bebek dan kambingnya. Ngasih makan anak mah udah biasa! Loe udah pernah belum cebokin anak? Membersihkan lubang pantat anak bekas doi pup? Wili sering banget!

Anak adalah anugerah. Nggak usah malu-malu kucing, bo! Mau jelek kayak apa, baunya naudzubilah min jalik, kalo emang anak itu anak kita, ya harusnya sih kita sayang. Biar Bapak si anak itu umurnya udah tua, tampangnya jelek kayak Genderowo, kalo anaknya sayang sama kita, ya harusnya kita juga membalas sayang doi.

Anehnya lagi, ada orangtua yang nggak terima dengan jenis kelamin si anak. Ketika Tuhan udah menakdirkan jenis kelamin anak Perempuan, eh si Orangtua mau merubah anak itu jadi anak Laki. Eh, giliran Tuhan ngasih anak Laki, si anak didandanin dengan wardrobe ala Perempuan. Orangtua aneh!

"Mungkin anaknya pengen dijadikan Bencong..."

Moral story, sayangilah anak-anak loe dengan tulus dan ikhlas, bro! Dengan begitu, nanti kalo udah besar, anak-anak loe nggak akan pindah ke lain hati. Mereka akan respek sama kita, bukan sama teman-teman mereka, apalagi sama Narkoba. No way!

"By the way, emang Wili udah punya anak? Bukannya Wili belum married?"

"Yang diomongin anaknya orang kali..."

KALO BUKAN MONEY POLITIC APA DONG NAMANYA?

Sebagai anggota KPU, mata gw selalu awas terhadap hal-hal yang berbau money politic. Betapa tidak, buat gw money politic itu akan menghancurkan jalannya Pemilu tahun 2009 ini. Nggak heran, ketika ada Cowok menyerahkan duit ke seorang Cewek di sebuah kantor di bilangan SCBD, gw langsung mengabadikan dengan Kamera gw. Foto ini sebagai bukti bahwa terjadi sebuah money politic.




"Maaf Pak, saya nggak melakukan politik uang, kok," kata cowok yang mengaku bernama Enrico ini.

Meski udah tengsing begitu, Cowok keturunan Jawa ini tetap ngotot nggak mengakui kalo apa yang dilakukannya ini deisebut sebagai money politic atau politik uang.

"Lantas namanya apa dong kalo sehari sebelum Pemilu kayak gini kamu ngasih uang pada seseorang?"

"Menurut Bapak apa?"

"Lah, kok saya disuruh menebak? Emang berani bayar berapa kalo ketebak?"

"Saya kasih Grand Vitara terbaru mau?"

"Nggak!"

"Duit 30 juta?"

"Itu mah gaji gw sebulan. Yang lain ah! Nggak kreatif hadiahnya..."

"Hmmmm....apa ya? Saya kasih kulkas enam pintu deh!

"Nah, kalo kulkas bolehlah! Kebetulan di rumah lagi nggak punya kulkas..."

Gw lantas melakukan aksi tebak-tebakkan. Tebakan pertama, Cowok ini membayar Cewek buat ikutan Kampanye hari terakhir. Soalnya gw yakin, Partai-Partai baru yang banyak pengikutnya itu nggak bakal bisa merekrut masa sebanyak Partai besar kalo bukan karena politik uang.

"Salah!"

Gw lantas menerka, Cowok ini habis kencan dengan Cewek yang katanya mengaku bernama Nanda ini di sebuah Hotel jenis Melati. Sayangnya, pas pulang, si Cowok nggak bawa duit. Padahal doi udah puas sampai ngiler. Nggak heran kalo si Cowok jadi terlilit hutang. Doi baru bisa memberikan uang kencan setelah nyolong duit dari dompetnya Copet.

"Salah lagi!"

"Busyet! Kok gw masih salah sih? Padahal gw kan selalu menang dalam kontes tebak-tebakan se-RT...."

"Hayo tebak lagi. Don't give up my Friend!"

"Waduh? Apa dong, bro?"

Minggu, 12 April 2009

KATA CINTA

Berapa kali dalam sehari aku mengucapkan kata cinta padamu sayang? Sekali? Dua kali? Lima kali? None!

Aku tahu kata cinta adalah bahasa cintamu, di samping bahasa cinta lainnya.



Pasti kamu akan bertanya: why? Why don't you say that I love you? Pertanyan sederhana, tapi terus terang sulit untuk aku jawab. Karena aku tolol. Tolol nggak bisa menjawab pertanyaan simple itu.

Harusnya aku setiap hari mengatakan kata cinta.

Apa susahnya sih? Apakah aku tidak sayang kamu? Aku katanya jujur: tidak! Aku cinta aku. Then why?

I really don't know honey. Please don't push me so hard. One thing that you know: I LOVE YOU VERY MUCH!

TINGGAL TUNGGU GILIRAN

Kita ini seperti menunggu giliran untuk mati. Tanpa sadar, tanpa pernah mengingat-ingat.



Waktu akan terus memperpendek durasi kita menunggu. Apakah hari ini, besok, atau lusa kita akan tiba di subuah venue abadi. Yakni sebuah tanah yang udah digali, dimana akan dimasukkan sebuah peti mati bertuliskan: semoga selamat sampai tujuan.

Sabtu, 11 April 2009

JANGAN YA OM, ELO KAN UDAH TIGAPULUH LIMA TAHUN BERKUASA....

Boleh jadi aku satu-satunya orang yang sekarang punya hati nurani. Ini tulus aku katakan. Setelah hatiku merasa terenyuh melihat kondisi rakyat kini. Setelah kesedihan ini terus menerus menghantui. Jadi bohong kalo ada orang atau sekelompok manusia yang mengatakan punya ”hati nurani”. Bullshit!

Inilah kenapa rasanya aku harus kembali...

Saat ini nggak ada orang di negeri ini yang punya hati nurani selain aku. Believe me! This is true. Hati nurani orang-orang di negeri ini nggak tulus. Semua cuma untuk melindungi diri. Semua cuma untuk menarik simpati. Melindungi diri dari kejaran Polisi Antikorupsi atau lawan politik. Menarik simpati rakyat-rakyat bodoh atau rakyat-rakyat pintar yang masih butuh uang.

Tuh, kan?! Rasanya aku memang harus kembali...

Boleh jadi aku bisa memperbaiki keadaan negeri ini. Negeri yang dahulu konon menjadi incaran Bule-Bule karena rempah-rempah kami begitu menggoda iman. Nggak heran kalo Portugis rela datang jauh-jauh jutaan kilometer ke Ibu Pertiwi cuma buat mencuri kekayaan alam ini. Dan kemudian Belanda-Belanda itu menjajah negeri ini 3,5 abad. Dan selanjutnya Jepang. Dan selanjutnya sekarang ini justru dijajah oleh orang-orang negeri ini sendiri. Oh my God!

Please! Aku benar-benar harus kembali...

Aku orang yang kuat. Lebih tepatnya super kuat bak Superman. Memang sih aku nggak bisa terbang atau nggak pakai topeng. Namun aku punya otak yang bisa mengerahkan puluhan ribu orang, bahkan jutaan orang, agar roda ekonomi dan politik ini bergerak. Semua atas perintahku. Semua nggak akan pernah berjalan sebelum aku yang memberi komando. Aku bisa memerintahkan Tentara untuk membunuh Sipil. Tentara membunuh Tentara. Atau Sipil membunuh Sipil. Sekarang percaya kan kalo aku kuat?

Jadi nggak salah kalo aku harus kembali...

Aku sedih melihat rakyat masih sibuk memikirkan perut yang lapar. Mereka nggak peduli nyawa hilang cuma gara-gara sekotak nasi plus ayam bakar. Mereka nggak peduli Koruptor-Koruptor duit BLBI yang sekarang ini bersembunyi di balik Partai. Dimana duit itu seharusnya bisa memakmurkan mereka yang miskin. Bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Nggak usah bermimpi sekolah di Global Jaya atau High Scope yang uang pangkalnya jutaan rupiah itu. Bisa sekolah di sekolah Inpres aja udah Alhamdulillah. Uang korupsi BLBI itu harusnya juga bisa membentuk kail besar agar Pekerja-Pekerja yang kena PHK atau yang nggak pernah dapat kesempatan, bisa jadi orang kantoran.

Sudah percaya kalo aku harus kembali....

Rakyat-rakyat miskin dikelabui oleh orang yang berlindung di dalam Partai. Mereka sibuk datang karena mendapatkan uang selembar uang warna biru dan sekotak makan seharga 15 ribu. Oh iya, dapat kaos pula. Lumayan buat koleksi. Rakyat dibuat lupa dengan isu ”reformasi”. Rakyat lupa juga ketika corong mike mengobarkan kata ”perubahan”. Perubahan buat siapa? Perubahan untuk apa? Kenapa harus berubah? Apanya yang dirubah? Rakyat terlalu bodoh atau rakyat terlalu pintar untuk mengerti maksud kata ”reformasi” atau ”perubahan”. Bahkan ada yang sempat membuat Kubu Perubahan. Lucu!

Jadi boleh ya aku kembali?

”Nggak boleh!”

Please dong Tuan Malaikat. Boleh ya aku kembali?

”Nggak boleh! Jangan ya Om. Om kan udah tigapuluh lima tahun berkuasa. Masa masih kurang? Please deh! Lebih baik Om di sini aja bersama jiwa-jiwa lain yang sudah nggak menginjak bumi. Mahkluk Tuhan yang udah mati. Om kan udah memberikan kesempatan Negara ini porak poranda bukan? Memang sih, ada Kebijakan-Kebijakan Om yang luar biasa dan sangat berarti buat Negeri ini. Tapi...

Tapi tahu nggak Om? Ada banyak Pengikut Om yang udah mulai berani lagi tampil di permukaan. Mereka kayak-kayaknya nggak peduli kalo dahulu kala pernah ikut andil membuat Negeri ini jadi nggak karu-karuan. Dimana Pemerintah diciptakan nggak punya hati nurani. Dimana Pemerintah meninggalkan Rakyat kecil demi pembangunan atau istilah Om: Pola Dasar Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Masih ingat kan Om?

Niatnya Om sih bagus: membangun bangsa ini agar punya infrastruktur. Dengan begitu, bangsa-bangsa lain bisa melakukan investasi. Tapi Om pasti tahu kenyataannya. Kita yang harusnya punya kekayaan alam yang melimpah, menjadi Produsen hasil-hasil agraris terbesar di dunia, eh malah jadi negara Konsumen potensial. Sumber alam kita dihabisi oleh orang-orang Bule itu. Nggak cuma Emas, sumber alam Minyak Bumi pun dinikmati oleh orang-orang Bule.

Ironisnya lagi, bukannya kita punya duit banyak, eh kita malah hutang banyak. Nggak tahu deh, Om yang bego atau Rakyatnya dibikin jadi tolol? Sekarang ini kita-kita jadi kena getahnya. Maksudnya, yang menanggung hutang-hutang yang udah jatuh tempo dan kudu dibayar. Caranya? Ya Tukang-Tukang Pajak itulah yang memeras duit kita. Sekarang semua dipajakkin. Punya duit dikit, dipajakin. Beli barang, dipajakkin. Moga-moga orang-orang Pajak akan dipajakin juga sama Tuhan. Kalo dipajakkin dosanya mah enak. Tukang-Tukang Pajak itu jadi berkurang dosanya. Moga-moga dipajakkin amalnya. Biar lebih fair.

Sekarang Om udah tahu kan? Kalo Rakyat negeri ini udah sengsara. Penjajahan bukan cuma dari negara-negara pemberi hutang lagi, tapi dari orang-orang kita juga. Mereka mencuri duit yang bukan haknya. Istilahnya korupsi. Mereka juga mengelabui Pejabat-Pejabat kita. Terakhir, mereka berlindung di balik Partai agar sepak terjang masa lalunya nggak lagi diungkit-ungkit. Secara nggak langsung, sebagian besar attitutte mereka gara-gara ajaran Om.

So... jangan kembali lagi ke Negeri ini ya Om. Please deh! Om kan udah tigapuluh lima tahun berkuasa?

Minggu, 05 April 2009

TAMPANG BOLEH PEMBANTU, SING PENTING SPEAKING ENGLISH, CIN!

I don’t know why belakangan teman gw memasukkan kalimat-kalimat Inggris, tiap ngobrol sama orang. Padahal sebelumnya, boro-boro bahasa Inggris, bahasa Jawa yang sebenarnya merupakan bahasa kelahirannya, nggak pernah muncul kepermukaan. Yang terjadi...

“Excuse me ya, gw ini cuma manusia biasa. So, don’t ever tell me that I’m stuppid, baby.”

Begitu itu deh kalo teman gw ngomong. Mending kalo orang yang diajak bicara ngerti bahasa Inggris, nah, sometimes banyak yang nggak ngerti. Boro-boro ikut khusus LIA di Pramuka, orang-orang yang nggak ngerti bahasa Inggris itu malah balik tanya.

“Jeng dewa sing ndjlonet kuwi mau ing saduru nge suwarneng rupa mengkono kudu rupa demalung disik, hara prije?”

Mampus dah, lho?!

Sebenarnya sih bukan cuma teman gw berinisial AW yang sok ke-inggris-inggrisan. Banyak orang Indonesia yang udah lama melakukan chit-chat campuran, kadang Indonesia dulu baru Inggris. Kadang Inggris, campur Perancis. Kadang hitam, kadang putih. Nah, lho?! Kok jadi ngaco begini? Pokoknya, bahasa campur aduk deh.

“What’s wrong with me kalo ngomong campur-campur? Any problem?”

“Kalo ditanya any problem yang sebenar-benarnya sih enggak...”

“Nah, kan?! So? Kalo nggak ada problem, so what gitu, lho!”

Benar juga sih, nggak ada masalah. Tapi kayak terlihat norak aja mendengarkan orang yang mencampur adukkan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, dalam konteks ini bahasa Inggris. Kayak-kayaknya orang yang model begini, nggak bisa menempatkan dirinya dengan orang yang diajak bicara. Parahnya lagi, kalo mendengar orang bicara campur-campur, seolah dirinya derajatnya sok lebih tinggi. Padahal boro-boro kastanya tinggi, wong menginjakkan kaki ke Inggris aja belum pernah, kok. Udah gitu, kadang gajinya pun masih di bawah Pembantu gw, yang mungkin bahasa Jawa-nya lebih medok dari orang-orang sok Inggris itu. Apa hubungan Jawa medok dengan sok Inggris ya?

“Come on! Ini kan era globalisasi. So, we must speak English everytime you go way...”

“Everytime You Go Away”? Kayak lagunya Hall and Oates yang dinyanyikan lagi sama Paul Young. Ya, begitu deh kalo campur aduk bahasa. Kadang kata-kata yang dipilih ngaco. Nggak tepat. Gara-gara nggak tepat, angkanya jadi berkurang. Harusnya dapat angka 100, berkurang jadi 50. Itu kalo saat pertandingan Cerdas Cermat TVRI zaman dahulu kala, lho.
Emang globalisasi ngomongongnya musti campur aduk begitu? Emang orang yang pernah ke Inggris atau punya saudara di Inggris harus ngomong Inggris-Indonesia atau Indonesia-Inggris? Emang Pak Tino Sidin udah meninggal? Wah, pertanyaan terakhir kok jadi ngaco gitu...

I don’t know why orang-orang sok Inggris ini, kayak temen gw ini, melakukan campur aduk. Terus terang gw belum pernah bertanya asal muasal kebiasaan mereka itu. Tapi kalo disuruh menebak, barangkali kejadiannya gara-gara sering nonton film India. Mmm...kayaknya kurang tepat! Nggak mungkin kebanyakan nonton film India jadi sok Inggris. Mungkin sering jalan ke Pasar Baru? Ini lebih nggak mungkin lagi! Kalo ke Pasar Baru mending beli sepatu baru atau kancut baru, daripada speaking English. Kalo gitu sering makan kunci Inggris? Nah, ini mungkin masih bisa dipertimbangkan kebenarannya. Ah, tapi nggak juga. Jadi apa dong?

“I used to be work di rumah orang Inggris di Kemang sana. Because orang Inggris itu can’t speak bahasa, so I must learn speaking English.”

Oh, sempat jadi Pembantu orang Inggris rupanya?! Pantes! Ternyata asal muasal temen gw sok ke-inggris-inggrisan gara-gara pernah ngepel, nyetrika, nguras kolam, nyiram tanaman, dan ngepel di rumah orang Inggris. Setelah nggak kerja lagi dan sekarang jadi Pegawai di kantor gw, gaya ngomong ke-inggris-inggrisan jadi keterusan. Dasar!

Sebenarnya gw udah menduga, teman gw ini pasti bekas Babu alias Pembokat alias Pembantu. Dari wajahnya yang jelek itu, yang giginya tonggos kadang ngiler sedikit, trus rambutnya yang panjang lurus tapi kadang bau apek, dan pantatnya yang gede kayak Mbok Jamu itu. Tapi doi rupanya ingin menutupi kekurangannya itu, baik kekurangan fisik maupun mental. Baik materil maupun non materil. Biasanya memang gitu sih, orang yang kurang, pasti akan menutupi kekurangan dengan menjadi sombong. Sok tahu. Arogan. Nah, hal ini kayak-kayaknya dialami sama teman gw. Tampang boleh Pembantu, tapi sing penting speaking English, Cin!

Jumat, 03 April 2009

AKHIRNYA DIBLOKIR JUGA...

Gosip itu udah beredar lama. Gara-gara gosip itu, hampir separuh Karyawan di Perusahaan tempat Kokom dan Faizal bekerja jadi resah dan gelisah. Analogi keresahan dan kegelisahan itu mirip kayak apa yang digambarkan pada lagu “Kisah Kasih di Sekolah” karya Obbie Messakh.

Resah dan gelisah
menunggu disini
di sudut sekolah
tempat yang kau janjikan
ingin jumpa denganku
walau mencuri waktu…
berdusta pada guru

Malu aku malu
pada semut merah
yang berbaris di dinding
menatapku curiga
seakan penuh tanya:
sedang apa disini?
Menanti pacar, jawabku

Reff:
Sungguh aneh tapi nyata
tak kan terlupa
kisah kasih di sekolah
dengan si dia

Tiada masa paling indah
masa-masa disekolah
tiada kisah paling indah
kisah kasih di sekolah


Lagu “Kisah Kasih di Sekolah” ini konon menjadi lagu favorit salah satu Menteri era sekarang ini. Kata beliau, lagu itu dinyanyikan pas doi pacaran dengan sang istri kala di kampus dahulu kala. Nggak heran kalo ada hajatan, Menteri ini menyanyikan “Kisah Kasih di Sekolah” sambil berlinangan air mata. Lho apa hubungannya ya? But anyway, lagu ini memang pas buat mereka yang gelisah. Entah gelisah nggak punya duit gara-gara gaji udah habis padahal masih tanggal 15. Gelisah menunggu kekasih yang terlalu lama nongkrong di WC, sampai-sampai pasangannya juga pengen ikutan pup. Dan gelisah seperti yang dialami Karyawan perusahaan yang akan memblokir Facebook.

“Sumpe loe?! Facebook mau diblokir?!” tanya Nanda setengah nggak percaya, tapi juga setengah gila.

“Iya! Masa loe nggak percaya gw sih?! Gw ini kan si Gembala Sapi?” kata Mia.

“Yepiyepiye dong?” sambut Nanda lagi.

Sesungguhnya, gosip soal pemblokiran Facebook udah lama beredar. Direksi melihat, Facebook udah mengganggu produktivitas kerja. Kalo dijabarkan lagi, produktivitas itu mencakup, waktu kerja jadi terbuang sia-sia, nggak fokus sama kerjaan, dan yang pasti menghabiskan pulsa internet dan listrik sia-sia. Kebayang dong begitu seluruh Karyawan hadir, hampir separuhnya membuka Facebook. Taro jumlah karyawannya 500, yang 250 Karyawan lagi asyik meng-update status, merespon status orang, mengupload foto, termasuk chatting.

“Tapi kan Facebook itu kan bikin karyawan jadi nggak stres, Cin?” kata Kokom tiba-tiba nyambar saat Mia dan Nanda lagi asyik-asyiknya pacaran. “Kan kita perlu refresing. Masa di kantor kerja doang?”

“Gw setuju sama elo Kom,” tanggap Nanda. “Sebagai Karyawan yang loyal jelly...”

“Maksud loe Royal Jelly?”

“Ups salah! Maksud gw, sebagai karyawan yang loyal, harusnya perusahaan mengerti perasaan kita. Kita akan sedih, terenyuh, sakit hati, dan lain sebagainya kalo Facebook diblokir. Mau jadi apa perusahaan ini?”

“Mau jadi apa ya?” tanya Mia dengan wajah agak stuppid tapi tetap cantik.

“Kita harus protes!”

“Harus!”

Tiba-tiba...

“Nona-nona pada mau kemana? Kok tampangnya nggak enak gitu? Semua lagi mens ya?” Kata-kata Faizal itu bikin kuping Nanda, Mia, dan Kokom panas. Tiba-tiba masuk, eh udah menyebalkan. Si Faizal nggak tahu apa kalo mereka lagi mendidih kayak air panas yang udah mengeluarkan gelembung-gelembung ajaib. Mendidih gara-gara hak mereka sebagai karyawan nggak diakomodasikan oleh Direksi.

“Heh! Faizal yang udik dan kampungan! Dengering gw ya, elo itu tahu nggak kalo hak kita sebagai Karyawan udah dicabut?” tanya Nanda.

“Enggak...”

“Elo tahu nggak, produktivitas kita bakal terganggu gara-gara Direksi menyepelekan sesuatu yang seharusnya membuat Karyawan jadi nyaman dan tentram?”

“Enggak...”

“Elo tahu nggak kalo elo itu bego?”

“Tahu...”

Baik Nanda, Kokom, maupun Mia saling bertatapan. Mereka nggak nyangka Faizal tega mengakui dirinya sendiri sebagai Manusia bego. Biasanya Manusia nggak pengen dibilang bego. Manusia selalu merasa sok pintar.

“Begini aja deh, Zal. Elo berada di pihak mana? Pihak kita atau pihak Direksi?” tanya Mia agak menantang.

“Soal apa nih? Gw kan nggak tahu apa-apa? Gw cuma tahu kalian ini lagi pada mens, eh ternyata elo-elo nggak ngaku....”

“Soal pemblokiran Facebook oneeeeeng!”

“Oh Facebook itu?”

“Emang loe pikir apa?”

“Listen my Friends, dengan tegas gw mengatakan: gw berada di pihak Direksi!”

Baik Nanda, Kokom, maupun Mia saling bertatapan lagi. Mereka nggak nyangka lagi kalo Faizal mengatakan hal itu. Detik ucapan itu terlontar dari bibir Faizal yang berwarna merah delima, detik itu pula Nanda, Kokom, dan Mia langsung kecewa. Mereka nggak nyangka temannya berkhianat buat perjuangan Karyawan yang ingin mengeksiskan kejayaan Facebook agar nggak diblokir.

“Alasan Direksi benar. Sutralah, kalian kembali ke jalan yang benar lah...”

“Maksud loe?!”

“Kembali jadi karyawan yang baik, jadi istri yang baik, jadi ibu yang baik...”

“Maksud loe?!”

“Tanpa Facebook di kantor, elo nggak akan mati kan? Elo bisa menyumbangkan gagasan buat Perusahaan. Nggak fair dong, ada Karyawan yang kerja keras ngejar target, eh elo malah enak-enakan chatting, update status. Elo juga bisa banyak waktu buat ngerumpi sama suami loe, anak-anak loe, pokoknya banyak lah....”

“Ah, basi! Sok tua, loe!”

Kokom akhirnya mengajak Nanda dan Mia supaya meninggalkan orang gila yang ada di hadapan mereka. Orang gila yang dimaksud ya Faizal itu. Alasan Kokom, kalo dengerin orang gila, pikiran mereka akan ikut-ikutan gila. Mending mereka segera ke ruang Direksi buat menyalurkan aspirasi mereka.

Tiba di ruang Direksi, mereka bertiga kaget. Apa yang mereka lihat menjadi sebuah ironi. Why? Ketika mereka mengintip, seorang Direksi udah siap-siap menggunting sebuah pita. Sementara Direksi yang lain siap-siap bertepuk tangan. Mereka semua mamakai topi kerucut, persis kayak sedang melangsungkan perayaan ulangtahun. Ada balon-balon yang berwarna-warni bergantung di atap. Plus rumbai-rumbai dari kertas warna.

“Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan yang Maha Esa. Hari ini secara resmi, saya akan memblokir jaringan Facebook di kantor ini...”

Pernyataan resmi sang Direktur langsung disambut tepuk tangan para Direksi. Seketika pula tiupan terompet kertas terdengar tet-tet-toet. Ada pula letupan conveti. Wajah-wajah senang dan gembira berkumpul menjadi satu di situ. Yang paling senang adalah Direktur Keuangan. Doi adalah Manusia yang paling cerewet soal tagihan internet yang membengkak, gara-gara banyak Karyawan nggak efektif menggunakan internet. Cuma dipake chatting dan main Facebook.

Seluruh Direksi boleh gembira. Tapi buat Kokom, Nanda, dan Mia, hari peresmian pemblokiran Facebook menjadi hari paling memuakkan dalam sejarah hidup mereka. Boleh jadi, mereka akan mencatatkan peristiwa itu di Gueness Book of Record of their Life.

“So what are we gonna do?” tanya Nanda sok ke-Inggris-Inggris-an ala Wawa.

Kokom nggak bisa berpikir, Mia agaknya masih punya ruang otak buat berpikir.

“Gimana kalo kita beli Blackbarry aja? Tapi belinya di BM aja..”

“Apa tuh BM?”

“Black Market!”

“Wah, that’s sound good!”

“Ternyata banyak cara menuju Roma. Nggak bisa main Facebook di kantor, kita bisa main via Blackbarry...”

“Cihuyyyyyyyyyyyyyy!!!!!!”

Rabu, 01 April 2009

EMANG SITU OK?

Nggak biasanya wajah Kokom bermuram durja. Kalo ada Manusia yang bisa membaca aura wajah, di wajah cewek bahenol jental jentul ini akan tergambar sebuah langit berwarna kelabu. Kayak mendung gitu deh. Trus di langit itu banyak kelelawar terbang. Terbangnya dari Pantai Indah Kapuk ke Pantai Anyer. Entah para kelelawar itu cuma mau berjemur di Pantai atau gara-gara takut kena tetesan air hujan.

Padahal sehari-harinya, Kokom selalu cerah ceria. Kayak matahari pagi yang menyinari tumpukan sampah di Bantar Gebang, Bekasi. Wajahnya selalu menunjukan aura positif. Sehingga orang-orang di sekitarnya sangat senang dekat-dekat dengannya. Nggak tahu juga sih dekat-dekat karena pengen merasakan empuknya body doi, atau sengaja pengen mencium harum parfum minyak Nyong-Nyong-nya, atau memang punya niat mau mencopet dompetnya.

“Bete banget deh sama Faizal!”

Itulah sebab musabab mengapa Kokom bermuram durja. Faizal, anak kemaren sore itu udah menyinggung kesenangannya. Emang Kokom senang apa? Emang si anak kemaren sore itu menyinggung soal apa? Katanya sih persoalnya nggak penting. Tapi buat Kokom penting. Jadi penting atau nggak penting nih?

“Kalo gw perhatikan elo itu udah addict banget sama Facebook,” kata Faizal, sehari sebelum Perang Dingin berlangsung.

“Maksud loe?”

“Kalo sehari nggak buka Facebook kayak elo nggak makan 7 hari 7 malam...”

Dalam hati Kokom, Faizal itu Manusia yang banyak nggak ngertinya. Tolol. Doi nggak update. Nggak gaul. Nggak ngerti persoalan globalisasi. Nggak faham soal social networking. Faizal itu terlalu naif.

“Elo itu ngerti nggak kalo gini hari social networking itu penting? Elo tahu nggak kalo era globalisasi butuh pertemanan dari mana pun? Lagipula emang elo mau kerja terus, nggak ada fun-fun-nya? Kalo gw sih ogah! Hidup ini cuma sekali, Cin!”

Faizal tersenyum, Kokom cemberut. Kalo Kokom nganggap Faizal naif ke arah ketolol-tololan, sebaliknya justru si Faizal nganggap Kokom too much. Addicted. Memposisikan sesuatu yang seharusnya nggak “begitu”, jadi “begitu”. Bahwa Facebook adalah media social networking via dunia maya, emang benar. Nggak ada yang menyangkal kenyataan itu. Bahwa Facebook menjadi media membuka pertemanan dari mana pun plus mencari teman lama, itu benar juga.

“Tapi kalo elo mah udah keterlaluan, Cin! Masa bangun tidur nyalahin komputer yang dibuka Facebook? Sampai di kantor, yang dibuka Facebook lagi. Pulang kerja, sampai di rumah, buka Facebook lagi. Ada suara Adzan, bukannya ke majid, malah asyik ngebalesin status updates. Isn’t it too much?”

Kokom diam. Pantatnya kembang kempis. Itu tanda apa yang dikatakan Faizal benar. Meski benar, tetap doi nggak terima. Oh iya, sebenarnya ada satu fakta lagi yang nggak sempat diungkapkan Faizal soal kegilaannya Kokom pada Facebook. Kokom senang kalo Faizal nggak tahu. Apakah itu?

“Gw juga tahu kok. Elo juga beli Blackbarry cuma gara-gara mo updates status Facebook loe kan?”

Anjrit! Si Faizal tahu juga. Dasar anak kemaren sore! Doi ngerti banget kalo Blackbarry gw nggak banyak berguna selain cuma buat main update Facebook, chatting-chatting-an, ngirim voice ke Blackbarry teman lain, foto instan deh yang langsung bisa diupload. Ngecek email? Ah, itu juga nggak penting-penting juga. Maksudnya nggak urgent. Di komputer rumah atau kantor masih bisa, kok. Tapi si Faizal canggih banget! Doi ngerti banget! Padahal doi kan nggak punya Blackbarry? Even Facebook!

“Gw nggak habis pikir, buat elo status update di Facebook begitu penting,” tambah Faizal yang keterusan berceramah di depan Kokom. Doi nggak peduli teman sekantornya udah pasang muka cemberut. “Mending loe berbuat sesuatu dengan Facebook loe ketimbang melakukan sebuah kenorakan yang nggak penting...”

“Heh! Faizal!” Tiba-tiba Kokom menggebrak meja. Suaranya keras. Kayak-kayaknya doi udah naik pitam gara-gara Faizal terlalu lama menceramahi soal Facebook dan teman-temannya Facebook.

“Emang situ siapa?! Emang situ ok?! Mau gw nungging kek! Mau gw punya Blackbarry rasa cokelat kek! Mau gw muntah kek! Emang apa urusan loe?! Facebook itu diciptakan buat kita fun! Ngapain main Facebook serius-serius? Kita kan udah jenuh di kantor. Januh di rumah. Jenuh menjalani hidup ini. Nah, Facebook adalah obat. Dengan begitu, status updates adalah kewajiban yang gw kudu lakukan setiap menit, even setiap detik. Ngerti loe?!”

Meski dibentak-bentak begitu, Faizal tetap cool. Ibarat kata pepatah, anjing mengonggong, kafilah berlalu. Nah, si Kokom dianalogikan kayak anjing yang lagi menggonggong. Namanya juga anjing, pasti Binatang najis itu nggak ngerti apa-apa. Pikirannya negatif.

Faizal setuju dengan apa kata Kokom. Mau melakukan apa aja, itu haknya. Lagipula Faizal juga nggak punya niat usil dengan mengganggu kesenangan atau privacynya. Tapi sebagai teman, Faizal cuma kasihan, kalo hidupnya nggak punya nilai. Hidupnya seolah udah nggak bisa menolak ajakan Facebook. Addicted. Padahal Kokom punya anak, punya orangtua, punya saudara, punya tetangga, punya temannya teman, dan punya-punya lainnya.



Dan Faizal tahu soal hari-hari Kokom, bahwa membuka Facebook pagi, siang, malam, pagi lagi, siang lagi, malam lagi, lebih penting dari ususan dunia yang lain, apalagi akhirat. Faizal juga tahu, Kokom lebih mementingkan meng-update status daripada ngobrol sama suaminya, main sama anak-anaknya, atau silaturahmi ke rumah orangtua atau saudaranya yang lagi sakit atau ngebantuin korban Situ Gintung. Namun...

“Gw ini apa sih? Buat elo, gw ini kan nggak penting banget. Tapi gw cuma mau meninggalkan wasiat yang diturunkan oleh Kakek-Nenek gw. Moga-moga wasiat ini berguna....”

“Wasiat apaan?”

“When the smoke is going down...”

“Maksud loe?!”

“Itu lagunya Scorpions...”

WHY DON'T YOU BE HERE?

Kenapa tiba-tiba semua orang jadi sok punya hati nurani? Kenapa tiba-tiba semua orang jadi peduli sama wong cilik? Kemana saja mereka selama ini? Kenapa mereka menghujat kamu sementara aktivitas mereka seharusnya juga perlu dihujat?



Mengapa tiba-tiba mereka sok moralis? Sok reformis? Kemana saja mereka ketika detik-detik menegangkan itu terjadi?

Kok tiba-tiba aku kangen kamu ya? Aku tahu kamu nggak mungkin lagi hadir. Tapi buat aku, kamu lebih punya kharisma dibanding mereka-mereka yang katanya punya pesona tampil seperti Barack Obama.

Why don't you be here? I wish You were here to see how funny this country is.

BARU TAHU RASA!


Gw sekarang bisa ketawa. Kalo dulu Pemerintah Daerah (Pemda), nggak ngusir-ngusir gw, mungkin jalan di Jakarta nggak akan tercemar polusi. Langit masih potensi jadi biru. Burung-burung masih senang bersemedi di pohon-pohon yang ada di jalan. Sekarang? Baru tahu rasa! Mobil-mobil udah nggak bisa kebendung jumlahnya. Kuantitasnya sama banyak dengan jumlah motor. Kendaran-kendaraan inilah yang jadi sumber kemacetan, plus sumber polusi. Mana bisa sekarang Pemda menahan laju pertumbuhan kendaraan? Baru tahu rasa! Sekarang ini gw tersenyum. Biar gw cuma jadi Tukang Becak, tapi sebenarnya kalo dahulu kami dibiarkan bebas berada di Jakarta tapi tetap diatur jalanannya, pasti kami menjadi manusia yang menolong manusia yang sekarang baru sadar soal polusi. Kami pun bisa berkolaborasi dengan gang Bike to Work. Biar tahu rasa!

MENSANA MENSINI


Katanya di dalam tubuh yang kuat, terdapat jiwa yang sehat. Makanya ada istilah: "Mensana en Corporesano". Soal kebenaran ungkapan itu, memang patut diuji lagi. Kenapa? Justru Owe bilang, di dalam badan kita yang kuat, banyak sumber penyakit. Nah, penyakit-penyakit yang ada di tubuh kita ini kalo dipupuk, akan bener-bener sakit. Misalnya penyakit syirik, korup, dan sakit hati. Kecuali, melakukan olahraga kayak para Security Menara Jamsostek ini. Mereka rajin senam supaya badan mereka kuat, plus mencuci otak dengan berpikir positif. Mereka nggak selalu "mensana", "mensini" juga boleh. Maksudnya "main di sana" hayu, "main di sini" oke juga. Yang penting postive thinking. Bukan begitu bukan?

I WISH I COULD


Seandainya nggak ada motor, pasti nggak akan ada penjual helm, sehingga nggak ada orang yang pakai helm. Ngapain juga pakai helm nggak naik motor? Seandainya nggak ada motor, pasti nggak akan pernah ada segerombolan "nyamuk-nyamuk" jalan yang berseliweran di depan mobil-mobil, dimana para pengguna mobil nggak akan pernah cemas sama cat body mobil mereka yang siap lecet, kaca spion mereka yang bisa bengkok, atau bumper belakang mereka yang ditabrak dari belakang, oleh "nyamuk-nyamuk" itu tadi. Seandainya nggak ada motor, tentu nggak akan ada kendaraan yang lewat trotoar. Padahal seharusnya trotoar digunakan cuma buat pejalan kaki bukan? Seandainya nggak ada motor, nggak akan ada kendaraan yang masuk ke jalur cepat selain mobil pribadi. Seandainya nggak ada motor, pasti nggak akan pernah ada kendaraan yang maksa masuk ke jalur lambat, padahal jelas-jelas ada tanda dilarang belok ke jalur lambat. Seandainya nggak ada motor, pastilah nggak akan ada motor 2 tak yang mengeluarkan asap polusi dari knalpot dan bunyi-bunyiannya yang memekakkan telinga. Seandainya nggak ada motor, udah dipastikan nggak akan ada pengendara yang memarkirkan motor-motor mereka di jembatan layang buat menghindari hujan yang menyebabkan kemacetan dimana-mana. Kalo nggak ada motor, tentu nggak terbentuk geng motor. Kalo memang benar-benar nggak ada motor, kalo butuh ojek, gw nggak akan naik motor, tapi cukup jalan kaki. Sehat bukan? I wish I could.

MEMBIARKAN DIA MATI


Aku membiarkan dia mati. Pada detik-detik menjelang ajalnya, ketika nafasnya masih tersisa, aku sama sekali tak berniat membantunya. Lebih tepatnya ngeri membantunya untuk hidup. Jadi kubiarkan dia menikmati sisa-sisa hidupnya. Begitu kejamkah aku? Masih kategori sadiskah aku? Entahlah! Tapi kalo saja aku punya keberanian menggendong dia dalam kondisi berdarah-darah, dimana aku siap menerima tiba-tiba mati di tanganku, mungkin aku tak akan membiarkan dia mati. Maafkan aku ya kucing. Aku memang nggak sayang kamu. Jadi aku biarkan kamu mati, Blackbary. Mati tanpa aku pernah tahu dan nggak pernah mau tahu kenapa.

PACARAN KOK STRES?

Udah sejak kuda gigi besi, yang namanya pacaran itu kudu have fun. Suka cita. Bisa koprol bareng. Glundung-glundungan bareng. Ajrut-ajrutan di kasur bareng. Main perosotan bareng. Nonton bareng. Serta bareng-bareng lainnya. Tapi minus tidur bareng dan kencing bareng, lho. Yaiyalah! Kalo masih pacaran, please don’t ever think to do that!

Udah sejak zaman rekiplik, pacaran juga kudu membuat hati senang. Tiap ada kekasih pujaan hati di sampingnya, rasanya hidup ini indah. Bunga-bunga mekar. Kupu-kupu berterbangan. Jangkrik-jangkrik menyanyikan lagu “You’re the Inspiration” milik Chicago. Pokoknya nggak ada hari-hari yang berlalu tanpa menatap wajah sang kekasih, menghubungi sang kekasih, dan saling kentut bersama-sama dengan nada dasar D.

Namun kondisi kayak gitu, nggak dialami oleh cewek yang inisial “G” ini. Pacaran bukan membuat hati senang, tapi membuat hatinya gundah gulana. Membuat jantungnya deg-degan. Menciptakan ketakutan dalam dirinya. Serta menebar virus stres yang masuk dari otaknya dan kemungkinan besar akan menyebar ke ulu hati, usus 12 jari, dan paru-paru. Very-very kasihan.

“Udah lah, elo putusin ajah tuh cowok!” Seorang teman menyarankan pada “G”. Sebenarnya saran itu bukan baru kali pertama diucapkan temannya “G” itu. Mungkin ini udah keseribu limaratus tigapuluh tiga kali. Namun “G” tetap nggak menggubris. Doi tetap cuek bebek.

“Emang kenapa?” tanya “G”. “Gw rasa cowok gw fine-fine aja...”

“Sutralah! Elu nggak usah muna. Nggak usah bohongin hati loe dan hati gw. Elo ini sebenarnya sangat stres dengan kondisi elo berpacaran. Ngaku deh...”

“G” diam.

“Tahu nggak, begitu elo bersama pacar kebanggaan loe itu, karakter loe berubah total. Loe nggak jadi diri loe sendiri. Pacar loe jadi memusuhi teman-teman loe dan itu juga mempengaruhi diri loe juga. Dengan begitu, elo akan ditinggalkan banyak teman loe. Kasihan banget sih loe?”

“G” diam. Ucapan temannya boleh jadi benar. Selama ini “G” selalu merasa gaya pacarannya fine. Nggak ada masalah. Cuma jarak yang memisahkan dia dengan kekasih. But isn’t real problem. Padahal, kalo ditelusuri dengan seksama, “G” merasa tersiksa. Merasa stres kalo berhadapan dengan sang kekasih. Boro-boru berhadapan, mendengarkan suara sang kekasih aja udah keringat dingin. Ini bisa dibuktikan, tiap kali ada nomor telepon muncul di HP dengan nama sang kekasih, wajahnya berubah jadi pucat. Suaranya yang sebelumnya bebas lepas, direndahkan nadanya. Ngeri kalo suara “G” terdengar fun, terdengar cerai, pasti akan dipertanyakan sang kekasih.

“Kamu lagi ngapain sih? Kamu dengan siapa? Kamu nggak sama cowok kan? Pulang sama siapa? Kenapa pulang sama cowok itu? Memangnya nggak bisa pulang sama teman kamu yang cewek? Kamu jangan macam-macam ya?”

Pertanyaan-pertanyaan yang katanya tanda sayang, sebenarnya bikin “G” stres. Pertanyaan-pertanyaan yang katanya tanda cinta, sebenarnya bikin hati “G” jadi nggak tentram. Masa pacaran bikin stres? Bukankah seharusnya fun?

“Udah lah, Cin! Elo putusin aja tuh cowok,” usul temannya “G” yang lain. “Memang nggak ada cowok lain yang naksir elo? Bukankah cowok loe jelek?”

“Iya sih jelek. Tapi kaya. Gimana dong?”

Susah juga kalo udah ngomongin kaya. Tapi seharusnya “G” ngerti (karena udah gede), bahwa kekayaan nggak bakal menentramkan hati elo, selama elo berhubungan dengan pacar yang justru membuat hati loe dagdigdug. Harusnya bukan karena usia pacaran yang udah lama, yang menjadi alasan sebuah hubungan dipertahankan, apalagi masih pacaran. Harusnya pula, bukan karena sang kekasih keturunan Raja, sehingga otomatis kalo pacaran bisa jadi Ratu. Nggak begitu! Lihatlah betapa tragis akhir kisah Lady Diana, dimana memaksakan cinta pada Pangeran Charles yang ternyata nggak mencintai sepenuhnya.

Gara-gara stres, mentalitas “G” jadi terganggu. Sering lupa. Sering bengong. Sering gagap. Yang paling sering adalah tidur. Yap! Tidur menjadi sajian utama dalam kehidupan “G” ketika stres menjelang. Sebenarnya bagus sih tidur pada saat stres. Sebab, kita bisa melupakan sejenak kepenatan otak kita. Dengan tidur, akan muncul mimpi yang akan mengiring kita untuk memilih sebuah pilihan yang tepat. Konteks di sini, soal pacar. Apakah pacaran tetap dilanjutkan meski selalu beresiko stres? Atau justru memulai hidup baru dengan mencari pacar baru? Pacar yang bisa menyiramkan hati kita dari kegersangan menuju kesejukan. Pacar yang kalo kita berada di samping serasa bodyguard yang siap membela kalo ada musuh. Juga menjadi teman yang baik untuk dirinya dan teman-temannya.

“Semoga elo dan pacar loe bisa diterima di sisi Tuhan ya, Cin!”

BE CAREFULL WITH "PARTAI BEBEK", CIN!

Irsan bukan Politikus. Bukan pula Caleg. Sebagai Warga Negara kelas tiga, anjuran pria berkumis dan memiliki bewok ini layak disimak. Mumpung waktu pilih Caleg masih 45 hari lagi, ada baiknya memikirkan benar-benar Manusia yang layak jadi Wakil kita di Gedung MPR/ DPR.

“Sebaiknya pilih Caleg yang asalnya bukan dari Partai, dimana dahulu Ketua Partainya pernah jadi Presiden,” kata Irsan sok tahu.

Lho memangnya kenapa?

Menurut Irsan, kalo Presidennya itu-itu lagi, namanya si Caleg nggak mau ngajak ke “perubahan”. Itu namanya ngajak kita ke arah “kemunduran”. Yaiyalah, yang namanya “perubahan” kudu maju ke depan. Masa mau maju ke depan, lihat ke belakang lagi. Makanya itu, calon-calon Presiden yang sekarang ini, kudu tampang-tampang anyar.

“Masa pilih Presiden yang udah pernah jadi Presiden? Itu namanya kemunduran!”

Oleh karena itu, tambah Irsan, pilih Caleg yang bukan dari Partai yang dulu sempat membawa Ketua-nya jadi Presiden. Paling benar, Caleg dari Partai yang Ketua-nya belum pernah duduk jadi Presiden. Tapi bukan berarti Capres-nya yang dahulu yang punya andil mem-back up Orde Baru, lho!

Pelajari Pemerintahan yang sekarang ini, apa kekurangannya dan apa kelebihannya. Ingat! Tinggal 45 hari lagi! Jangan asal pilih! Beraninya ngomong doang! Beraninya kritik doang! Bilang “perubahan” malah ngajak “kemunduran”. Bilang bisa bikin sembako murah, padahal sebelumnya sempat jual aset negara. Bilangnya demi “kebebasan”, eh malah bikin “kebablasan”. Aliran sesat tubuh dimana-mana. Korupsi malah nggak jadi perhatian. Makanya jangan pilih Capres bebek!

“Maksud loe?” tanya Gery yang nggak ngerti yang dimaksud “bebek” oleh Irsan. Yang Gery ngerti, cara makan bebek goreng. Terutama bebek kaleo yang ada di Cempaka Putih dan Rawamanggun itu.

“Partai bebek itu yang sok bisa melakukan kebijakan lebih baik dari Pemerintah sekarang...”

“Konkretnya?” Tanya Gery lagi masih nggak ngerti. Kumisnya turun naik kayak pompa tangan.

“Misalnya soal penurunan bensin sampai tiga kali. Menurut gw itu prestasi, bo! Tapi Partai lain mengklaim harga bensin sekarang masih bisa jauh lebih murah lagi. Lha, waktu jadi Presiden kenapa nggak dari dulu dimurahin aja, Mpok?”

“Iya juga sih,” aku Gery. “Kenapa baru sekarang ngomongnya ya?”

Bebek selalu mengekor, bukan melakukan inisiatif. Tadi baru soal harga bensin. Pemberantasan korupsi yang saat ini dilakukan pun, dianggap mudah dan bisa dilakukan oleh Partai manapun. Padahal Presiden-Presiden terdahulu punya kesempatan yang sama dengan Presiden sekarang. Kenapa nggak dilakuan ya? Entahlah!

“Elo ini kayak-kayaknya pro Pemerintah sekali ya? Jangan-jangan elo ini pengikut Partai-nya SBY?” tanya Gery sok tahu.

“Enak aja!”

“Atau kader Partai-nya JK?”

“Sotoy banget sih loe!”

“Habis apa dong?”

“Gw ini cuma ikut PPPK...”

“Itu nama Partai, bro? Atau nama klab sepakbola? Kayak-kayaknya gw belum pernah dengar Partai PPPK deh. Lolos verifikasi nggak?”

“Itu bukan Partai dogol! Itu pelajaran waktu kita di Pramuka dulu! Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan...”

“Oh...nafas buatan!”

“Hmmm...dasar! Kalo nafas buatan baru muden loe!”

SHELTER KOSONG


Masih adakah ruang hatimu untuk hatiku? Aku ingin sekali masuk. Menyusuri ruang-ruang gelap. Ingin melihat kandungan cinta yang ada di dalam hatimu itu. Tuluskah? Murnikah? Sebab, aku belum cukup mengerti cinta yang kamu punya. Aku mungkin salah mengerti. Aku mungkin salah menduga. Tentang cintamu itu. Apakah kamu benar-benar cinta? I really don't know for sure. Ruang kosong, sebagaimana shelter kosong yang siap ditempati atau ditinggalkan. Ditempati oleh hati lain atau ditinggalkan oleh kekasihmu yang kini tak akan mendapatkan lagi kepercayaan darimu.

FOR WHAT


Buat apa perkawinan kalo akhirnya kita akan bercerai? Buat apa cincin bertahta berlian kalo kemudian kita nggak akan pernah dikenakan? Buat apa anak yang lucu-lucu kalo akhirnya kita membiarkan dia hidup kesepian di rumah atau cuma ditemani para Pembantu? Buat apa rumah mewah dengan halaman luas kalo ujung-ujungnya cuma akhirnya digunakan untuk numpang, bukan untuk dinikmati? Buat apa uang kalo cara mendapatkannya ada orang-orang yang harus mengangis dan teraniaya? For what? Tolong jawab segera! Atau Anda kami adukan ke Komnas HAM. Karena Anda punya hak, tapi tidak menjalankan kewajiban. Anda teralu egois!

TITIP NYALI BUATMU


Bukan aku namanya kalo takut menghadapi bencana. Menurutku aku pantas dianugerahkan manusia perkasa. Begitu sombongkah aku? Tak adakah yang lebih hebat dariku? Aku tak peduli. Aku cuma pesan, titip nyali ini untukmu. Karena aku tidak membutuhkannya lagi. Mungkin ada manusia-manusia yang tak bernyali, butuh nyaliku. Untuk menghadapi hutan belantara bernama demokrasi ini.

APES CUKUP SEKALI INI AJA...

Ironis. Barangkali itulah kata yang tepat untuk wanita cantik berinisial DKS ini. Betapa tidak, ketika sedang serius merevisi rundown yang nggak kelar-kelar, ada berita yang membuat jantungnya berdebar-debar.

“Mbak, mobil mbak kena musibah!”

Kata-kata via telepon dari seorang Security berwajah jelek, membuat hati nggak tenang. Gara-gara hati nggak tenang, makan pun nggak kenyang. Kebetulan saat merevisi rundown, DKS dan teman-teman se-dharma wanita memang belum makan. Perutnya keroncongan. Namun, pikiran nggak lagi ke makanan. Fokus lebih kepada mobilnya. Mobil warna hitam yang setiap hari selalu setia menemani kemana pun DKS pergi.

“Ada apa, Cin?” tanya rekannya asal Sunda yang bertubuh ramping dan berambut gondrong.

DKS diam. Dia lebih baik tutup mulut kayak Megawati atau Dessy Ratnasari yang selalu no comment. DKS kali ini nggak mau meladeni temannya yang Supercerewet itu. Padahal sehari-harinya, sebelum musibah terjadi, DKS selalu kompak dengan si Supercerewet ini.

“Mengapa engkau bermuram durja, Cin?” kali ini yang bertanya rekannya asal Manado. Perhatiannya memang besar, sebesar gajah asal Lampung. Saking perhatiannya, kulitnya yang putih berubah jadi abu-abu metalik.

DKS masih diam. Percuma meladeni si Supercerewet number two. Kalo diladeni, yang ada fokusnya malah menjawab pertanyaan. Bukan mencari solusi bagaimana menghadapi musibah yang terjadi malam hari ini.

“Ayolah Cin bicara. Apa susahnya bicara?” ini kata-kata rekannya dari Bali. Sebelum mengucapkan kata-kata sok bijak ini, si Wanita Bali ini sempat menari Bali. Tujuannya supaya DKS nggak bermuram durja. Sayang, tariannya nggak sukses. DKS tetap manyun gara-gara memikirkan mobilnya.

Di lokasi, DKS kaget tujuh keliling. Apa yang dilihat nggak sesuai kenyataan. Bukan tertimpa durian runtuh, mobilnya malah tertimpa asbes berusia lanjut. Menurut laporan Reporter Koran Jaya, peristiwa terjadi sekitar pukul 19.30-an. Saat itu hujan rintik-rintik. Entah kenapa, tiba-tiba asbes jatuh. Mobil DKS yang parkir di atas asbes itu sulit mengelak. Akibatnya, kap mobil penyok. Nggak cuma kap mobil, lampu sebelah kanan mobil retak.

“Jatuh korban nggak Pak?” tanya seorang karyawan berkumis dan berjenggot yang sehari-hari ngurus budget terus dan nggak pernah punya rencana married ini.

“Alhamdulillah nggak apa, bos,” jawab seorang Security muda yang usianya udah tua.

Ironis memang. Bukan cuma pas kejadian DKS sedang membuat revisi rundown. Namun, kebetulan bonus dari perusahaan belum turun. Konon kabarnya baru turun tanggal 32. Udah gitu, hari musibahnya bertepatan dengan hari ulang tahun perusahaannya. Ini persis pepatah: sudah jatuh tertimpa tangga pula.

“Sabar ya, Cin. Everything gonna be allaright,” kata teman Manado-nya.

“Iya, Cin. Lagi pula mobil loe kan banyak. Bukankah elo punya mobil Hammer? Elo punya Alvard juga kan?” kata si Sunda agak sok tahu. Si Sunda nggak tahu kalo mobil Hammer milik DKS udah dijual ke salah seorang Direktur. Mobil Alvard juga udah digadein ke perusahaan taksi.

“Mobil loe juga di asuransi kan?” tanya si Bali.

DKS mengangguk.

“Syukurlah. Gini hari mobil nggak diasuransi mah ke laut ajah!”

Anyway, DKS tetap sedih. Doi ingin menuntut keadilan sesuai dengan sila ke-5 dari Pancasila: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Apa bentuk konkret “keadilan sosial” itu? Menurut laporan pandangan mata Reporter Koran Jaya, sebagaimana dikutip dari statement DKS, bahwa keadilan yang dimaksud misalnya diberikan ganti rugi berupa biaya asuransi.

“Emang berapa biasa asuransi?” tanya Pria asal Cempaka Putih Barat yang kebetulan malam itu lagi ganteng-gantengnya.

“Satu kali kejadian bayar 200 ribu. Kalo dua kali kejadian 400 ribu. Tiga kali kejadian 600 ribu. Empat kali kejadian 800 ribu...”

Stop! Stop! Stop! Ngga usah hitung-hitungan deh! Nenek-nenek Angkatan Darat juga tahu kalo sekali kejadian 200 ribu dan dua kejadian 400 ribu. Bukankah Neneknya si A dengan Neneknya si B sama-sama kursus Kumon? Sesama peserta kursus dilarang saling mendahului deh! Sekarang yuk kita balik lagi ke nasib yang menimpa DKS. Pokoknya DKS minta diberikan kebijakan perusahaan. Syukur-syukur bonus yang diterimanya dua kali lipat.

Kini, di tengah kesedihannya atas peristiwa itu, DKS tetap eksis. Tetap pada pendiriannya untuk mensukseskan program acara ulangtahun. Jiwa profesionalnya memang dituntut seperti itu. Kini pula, di tengah flu yang belum kunjung sembuh, DKS mohon doa restu kepada semua teman-temannya untuk mendoakan, agar mobilnya nggak tertimpa asbes tua lagi. Apes cukup sekali ini saja.

KERJASAMA SAMA-SAMA KERJA


Sinergi adalah kekuatan. Tanpa saling menjatuhkan, menyakitkan hati, dan mengelupaskan benih-benih kebencian. Sinergi menjadi sebuah kesejukan. Seperti air di tengah perjuangan fanatisme Barat yang individualistik. Memotivasi yang kaum lemah untuk bangkit, menghargai si kuat yang tengah berjuang. Semua survive. Saling bekerjasama. Sama-sama bekerja. Dimungkinkan semua akan tertawa. Everybody's happy. Nikmat nian mimpi itu terdengarnya.

BUKAN RAHASIA UMUM

BUKAN RAHASIA UMUM

Pagi ini akhirnya Oncel berhasil melihat video mesum Dhea Imut. Terus terang awalnya si Oncel nggak percaya sama gosip-gosip yang beredar soal video mesum ini. Kata doi, terlalu naif kalo Dhea dan Ibunya sebagai Manager menjerumuskan putrinya kayak begitu, cuma gara-gara nilai kontrak sinetron yang jumlahnya milyardan. Tapi pagi ini Oncel bener-benar kaget bukan kepalang. Wajah yang nampak di video itu, Dhea yang Oncel kenal sebagai Penyanyi dan Bintang Sinetron. Gokil!!!!!!

“Ah, mungkin itu vodeo rekayasa,” kata temannya Oncel, Junaedi, sok membela, padahal bukan Pengacara. “Pasti itu rekayasa Photoshop. Hari gini kan bisa aja semua direkayasa..”

“Tolol! Mana bisa Photoshop bisa bergerak? Namanya juga Photoshop, ya Photo yang di-shop-shopin...”

Dibilang begitu, temen Oncel mikir. Apa yang dikatakan Oncel bener juga. Nggak mungkin Photoshop melakukan rekayasa kayak begitu. Apalagi setelah Oncel berkali-kali memutarkan video mesum itu dan mem-freeze wajah wanita yang mirip Dhea Imut itu.

Junaedi lesu. Oncel bingung kenapa tiba-tiba rekan seperjuangannya ini nggak vokal lagi. Padahal tadi doi membela habis-habisan soal Dhea yang nggak mungkin mau melakukan itu dengan Produser sinetron terkenal itu. Padahal juga, doi nggak yakin Mamanya Dhea mengizinkan Dhea berdua-dua dengan Produser itu, apalagi sampai merestui berdua di sebuah kamar. Amit-amit!

Junaedi kni jadi berpikir ribuan kali untuk mengorbitkan anaknya jadi Selebriti. Sebelumnya, Junaedi ngotot banget pingin anaknya jadi bintang sinetron terkenal. Habis jadi bintang sinetron, melangkah jadi penyanyi terkenal. Begitu udah namanya harum semerbak, jadi bintang iklan dimana-mana kayak Luna Maya.

“Kalo elo jaga anak loe baik-baik dan nggak tergiur sama kontrak yang nilainya gede, gw yakin anak loe akan selamat dunia akhirat,” kata Oncel menasehati Junaedi yang nampak lesu.

Sebenarnya Junaedi udah tahu kalo di kalangan entertainment, kondisi calon artis “dimakan” Produser udah bukan rahasia lagi. Produser memanfaatkan calon-calon artis dengan cara melakukan pelecehan atau one night stand atau bahkan sampai dihamili dan dijadikan istri simpanan. Bukan rahasia lagi. Itu udah dari dulu.

“Tapi waktu itu gw cuma denger-denger dari teman yang kebetulan kerja di dunia infotainment,” kata Junaedi.

Junaedi juga mendengar, nggak cuma calon artis yang sering “dipake” Produser. Calon-calon artis tersebut kadang juga digilir. Maksudnya “dipake” juga oleh Director, Director of Photography (DOP), bahkan Unit Manager. Gokil nggak? Mending Produsernya ganteng kayak Brat Pitt atau Nicholas Saputra. Mending Director-nya keren kayak Kevin, Nick, atau Joe dari Jones Brothers. Kalo pun ganteng, ya harusnya nggak pake acara “dipake” atau “digilir” kali ya? But, hal tersebut udah bukan rahasia umum lagi, bro! Mau di Hollywod, Bollywood, Hongkongwood, Malaywood, Thaiwood, Tankiwood, maupun di Cempaka Putihwood, calon artis atau artis yang siap dikontrak mahal siap “dipake”.

“Nggak semua artis bisa digituin kale,” kata Oncel yang gantian membela kaum selebriti.

“Iya sih. Tapi mayoritasnya digituin kalee!”

Video mesum mirip Dhea itu rupanya menyadarkan Junaedi ke jalan yang benar. Doi yang tadi udah menyiapkan segala kebutuhan Putrinya buat jadi Artis, mulai dari wardrobe, sepatu, dan aksesori, dijual-jualin ke Pasar Jembatan Serong, Jakarta Pusat. Formulir pendaftaran buat ikut kontes-kontesan di televisi, disobek-sobek. Kartu nama para Produser Film yang semula dikumpulin di sebuah kotak kecil, dibakar-bakarin. Too much sih alias terlalu berlebihan sih sikap Junaedi kayak begitu. Tapi itu udah keputusan doi, mau diapain lagi?

“Cuma orang tolol yang mau menukar keperawanan anak dengan selembar kontrak sinetron. To me and segenap wadia bala my family say: NO WAY!”

HALTEKU SAYANG, HALTEKU MALANG


Andai saja diriku tidak diperlakukan begini. Barangkali aku akan lebih berguna. Rasanya sedih dibiarkan sepi, tanpa seorang pun menyentuhku. Tanpa sebuah pantat yang menduduki bangkuku. Padahal aku udah dibuat dengan biaya mahal,dimana menggunakan uang-uang pajak yang sebenarnya diminta secara paksa, tapi dikemas secara halus. Terlalu naif kalo kita mempertanyakan hal ikhwal sepele begini. Cuma halte geto lho?! Oh, halteku sayang, halteku malang. Mohon maaf kalo kami membiarkan dirimu sendirian, tanpa kami pedulikan.