Selasa, 24 Maret 2009

LONTONG SAYUR MANTAN BOM SEKS

Ketika sejumlah artis memutuskan buat jadi Caleg, Aktris kita satu ini justru memilih jualan lontong sayur. Hebatnya lagi, doi meladeni sendiri para Pembeli lontong sayur yang mengerubunginya. Mulai dari menguyuri para lontong yang udah dipotong-potong, memberi bawang gorong, dan kerupuk warna merah muda. Begitulah keseharian seorang Eva Arnaz saat ini.

Buat yang nggak tahu siapa itu Eva Arnaz, itu artinya elo bukan lahir di zaman “film-film panas” bermunculan. Elo pasti lahir tahun 90-an, dimana film udah nggak “panas” lagi. Tapi udah dikuasai oleh film-film Hollywood dan dimonopoli oleh bioskop Cineplex 21.

Dear friends, Eva yang Arnaz itu adalah mantan bom seks Indonesia nomor wahid. Ini nggak ada hubungannya dengan Abdurrahman Wahid atau Wahid-Wahid lain. Kenapa bom seks? Ini gara-gara kemolekkan tubuh doi yang aduhai bin rojali. Bodynya proporsional deh! Payudara gede, pantat gede. Bikin ngiler lelaki gitu deh. Selain itu, doi selalu membintangi “film panas" terus. Kalo nggak main di scene adegan ranjang, doi selalu pake wardrobe seksi. Pake kaos ketat, you can see, dan hot pants.

Film perdana wanita kelahiran 14 Juli 1958 ini berjudul Duo Kribo (1978) yang disutradarai Eduard Pesta Sirait. Di film itu Eva berpasangan dengan vokalis God Bless: Achmad Albar. Nama Runner Up None Jakarte tahun 1976 ini melambung kayak bola yang ditendang Pemain bola pas main di film Intan Perawan Kubu. Kenapa melejit? Soalnya, di film itu Eva berani tampil tanpa sehelai benang di tubuhnya alias bertelanjang dada. Sejak itulah doi dijuluki bom seks.



Gw nggak tahu dan nggak ngerti kenapa terminologi buat Aktris yang main di “film panas” disebut bom seks. Bukan geranat seks atau nuklir seks. Mungkin gara-gara bom itu bentuknya bulat. Gara-gara bulat, jadi disamakan dengan payudara dan pantat yang bulat. Padahal kalo mau dicari yang bulat-bulat bukan cuma payudara dan pantat, ya nggak cin?! Mata bisa juga bulat, lubang hidung bulat, dan kepala bulat.

Gw juga nggak tahu kenapa doi doyan main film yang mengharuskan "berpanas-panas-ria". Padahal Jakarta udah panas banget. Nggak perlu main “film panas”, doi dan orang-orang sekitar udah pada kepanasan. Boleh jadi, duit di “film panas" lebih menjanjikan daripada film dengan genre lain, kayak film drama apalagi religius. Padahal duit dari “film panas" jadi ikut-ikutan "panas" bukan?

“Waktu itu doi lagi BU kali alias Butuh Uang,” kata Pakar “film panas” asli Bekasi Timur bagian Barat yang ogah disebutkan nama maupun gelar. Takut dicontreng pas Pemilu nanti, katanya.

Eva lebih dulu jadi bom seks sebelum Inneke Koesherawaty, Taffana Dewi, Windy Cendiana, Malfhin Syaina, Fortunella, Ayu Yohana, Laela Anggraini, Febby Lawrence, dan Kiki Fatmala. Kalo gw nggak salah, Eva Arnaz itu seangkatan dengan Selly Marchelina, Arthie Dewi, Indah Fajarwaty, Geraldine Frans, Enny Beatrice, Yenny Farida, Sisca Wedowati, dan Mariam Berlinna.

Begitu bom udah meledak, gantian bom-bom berikutnya ikutan meledak. Ini maksudnya apa ya? Kok jadi ngomongin bom? Emangnya kita lagi ngomongin soal perang di Palestina vs Israel? Bukankah udah kelar? Pokoknya, setelah sadar entah karena kesambet setan apa, baik Eva maupun Inneke, akhirnya nggak lagi-lagi mau main “film panas". “Film dingin" pun nggak diambil ordernya, karena emang nggak ada. Lagi pula nggak ada terminologi “film dingin”, cin! Loe ada-ada aja!

Setelah mencoba meninggalkan image bom seks, Eva sempat mengalami musibah beberapa tahun lalu. Sejak tanggal 29 Mei 1998, suaminya, Dedi Omar Hamdun hilang entah kemana. Berkali-kali doi memohon bantuan dari berbagai pihak, termasuk Komnas HAM. Namun hasilnya nggak jelas. Oh iya, Eva udah lima kali married. Hah?! Gokil! Dedi Omar Hamdun itu suami keempat. Gw taksir, Eva ini pencinta berat Pancasila.

“Apa hubungannya, Cin?”

“Pancasila kan ada lima sila. Nah, si Eva mengikuti lima sila dengan cara kawin lima kali...”

Sebenarnya lumrah kalo Eva kawin sampai lima kali. Ini sesuai dengan predikat bom seks. Masa bom seks cuma married sekali seumur hidup? Ih, kok jadi tendensius gitu sih! Nggak bagus tahu?! Let’s take a look suami-suami Eva. Suami pertama Eva Arnaz bernama Dana Saelan. Doi itu Putra Kiky Saelan, Pemain sepak bola Indonesia. Suami keduanya bintang film action: Barry Prima. Lalu suami ketiganya Adi Bing Slamet. Terakhir, Eva menikah dengan pria berdarah Arab. Namanya Samir Amin.

Minggu pagi lalu, gw ketemu beliau. Doi udah beda banget. Konon sejak tahun 2000 lalu, doi udah pake jilbab. Kalo gw perhatikan, udah jauh dari masa lalu yang kelabu. Kalo gw ramal, doi juga menyesal pernah ada di limbah yang berlumuran dosa dengan gemerlap lampu-lampu disko caca. Namanya aja udah dirubah, yakni Siti Syarifah. Supaya nggak dekat lagi dengan masa lalunya, Eva sekarang mendekatkan diri pada lontong dan sayur. Yap! Pagi itu nggak sengaja gw berjumpa dengan mantan “film panas” ini. Biasalah, ini perjumpaan antara Pedagang dan Pembeli. Eva dagang lontong sayur, sedang gw punya “lontong” yang belum disayurin, eh maksudnya gw mau beli lontong sayurnya si Eva ini.

Turun derajatkah beliau? Kok dari aktris bom seks yang namanya udah melegenda di seluruh jagad perfilman Indonesia jadi Pedagang lontong sayur?

I don’t think so! Gw pikir sih nggak ada istilah turun derajat apalagi turun berok. What's wrong with lontong sayur? Justru gw salut dengan Eva. Doi nggak ikut-ikutan tren jadi Caleg kayak teman-temannya. Doi nggak mau dapat duit cara cepat, tapi resikonya kudu ngibulin rakyat. Mending jualan lontong sayur, bikin perut rakyat kenyang, ya nggak? Toh, duit yang doi terima halal. Bukan duit yang diambil dari upeti proyek yang berhasil digolkan atau selisih dari uang naik Haji.

“Ngomong-ngomong lontong sayur karya Eva Arnaz enak nggak, Cin?”

“Terus terang gw belum sempat ngerasain. Gw kebelet beli DVD ‘Terjebak Dalam Dosa’...”

“Lah, itu kan filmnya Eva Arnaz?”

“Iya, gw pengen ngebayangin bom seks jualan lontong sayur kayak gimana ya?”


photo and video copyright by Brillianto K. Jaya

SAHABAT BANJIR

Aku sahabat banjir paling setia. Dimana pun aku berada, temanku ini selalu bersama. Dalam suka dan duka.



Aku tahu kenapa dia selalu marah padaku dan pada seluruh manusia. Kenapa? karena salah satu temannya yang bernama Air, telah kehilangan semangat hidup.

Tanah-tanah tempatnya menepi, berteduh, dan menghirup nafas, kini telah tertutup aspal. Dan kini, Air tak tahu lagi kemana akan melangkah.

Satu-satunya tempat, mencari teman seperti aku dan ikut kemana pun aku dan teman-temanku berada.

Senin, 23 Maret 2009

APAPUN YANG TERJADI, I'M STILL LOVING YOU...

Belum pernah terjadi dalam sejarah, Gigan nangis meraung-raung kayak motor Yamaha RX King kalo lagi mau tarik-tarikan. Even meneteskan air mata karena sedih, nggak pernah ada dalam kamus per-gigan-an nasional. Gigan is always tough, whatever it takes.

Namun kali ini Gigan benar-benar nangis. Doi menangis bukan karena ditinggal kekasih atau Emak-Babe-nya meninggal atau kakinya kejepit pintu. Bukan itu. Gigan nangis gara-gara nggak rela Emak-Babe-nya mengultimatum dirinya.





“Kalo dalam waktu 2X24 jam motor butut loe nggak dibuang, Babe akan buang sendiri tuh barang,” begitu kata Babe-nya Gigan yang agak galak tapi baik hati dan tidak sombong.

Ultimatum Babe-nya itu membuat hatinya runtuh. Seakan hidupnya nggak punya arti lagi. Nggak punya nilai lagi buat dunia yang fana ini. Sebab, kesempatannya hidup bersama barang kesayangannya cuma tinggal 2X24 jam lagi. It mean tinggal dua hari lagi. Sebuah waktu yang relatif sedikit dibanding hidupnya bersama barang kesayangannya yang udah hidup bersama selama bertahun-tahun.

Benda apaan sih? UFO atau pesawat ulang alik Colombia?

Bukan! Benda yang dimaksud Babe-nya Gigan nggak lain nggak bukan adalah motor Vespa. Lho, memangnya kenapa dengan Vespa-nya Gigan? What’s wrong with that thing? Emang Vespa-nya masuk kategori Penjahat gitu? Koruptor yang suka ngambil duit rakyat gitu? Ah, bukan. Babe-nya Gigan nggak setuju anak semata wayangnya merawat Vespa. Mending Vespa-nya umurnya masih muda, misalnya tahun 2009. Kalo umur segitu, mungkin Babe-nya masih mempertimbangkan masak-masak buat meluncurkan ultimatum. Tapi Vespa yang dimiliki Gigan ini Vespa butut.



“Masa anak konglomerat pelihara Vespa butut? Yang boten-boten aja sih loe, Gan?” temannya sok mendukung gerakan ultimatum yang dilancarkan Babe-nya Gigan.

“Emang anak Konglomerat harus pelihara apa? Pelihara Tuyul? Atau mbak Yul? Pelihara apa Cong?!” Gigan sewot.

“Babe loe itu Konglomerat. Doi pasti mampu beli Harley Davidson. Gw yakin nggak cuma satu, Babe loe bisa belikan Harley lebih dari lima. Tinggal elo yang pilih warna dan tipenya. Gw tahu, elo pasti suka yang warna pink kan?”

Gigan diam nggak berkutik. Bukan masalah tebak-tebakan sohibnya soal warna favoritnya yang pink itu. Gigan cuma kesal, sohibnya nggak mengerti banget soal Vespa butut yang hidupnya tinggal dua hari itu. Sohibnya nggak ngerti, sepanjang hidup bersama Vespa bututnya, suka cita selalu datang silih berganti.

Masih terbayang dalam ingatan Gigan, Vespa-nya berhasil menghadiahkan seorang Wanita cantik yang kemudian menjadi pacar gelapnya. Saat itu, hujan gerimis. Angin sepoi-sepoi. Nggak ada angkutan umum yang melaju di depan jalan Pondok Indah. Baik Metromini, Mikrolet, maupun Kowanbisata nggak muncul batang hidung mereka. Kata sumber yang layak dipercaya, angkutan-angkutan umum itu dipakai kampanye.

Nggak sengaja, Gigan menyusuri jalan Pondok Indah. Eh, pada saat menyusuri, ada Wanita cantik yang berdiri sendiri. Kulitnya putih, bajunya putih, rambutnya putih, sepatunya putih, dan giginya juga putih. Wanita ini cantik sekali. Saking cantiknya, Gigan sampe ngiler. Dasar rezeki, wanita itu memanggil Gigan. Singkat kata, Wanita itu akhirnya diantarkan pulang ke rumahnya.

“Emang pulangnya ke mana sayang?” tanya Gigan dengan nada lembut selembut sutra.

“Ke kuburan, Bang!”

Begitu menyebutkan kuburan, Gigan langsung ngebut. Bukan ngebut menuju kuburan kale. Ngebut karena takut. Gara-gara tancap gas, Wanita yang tadi membonceng di belakang jok terpelanting. Namana juga Kuntilanak, bukannya kesakitan karena jatuh ke aspal, doi malah ketawa-ketiwi. Harusnya doi dimasukkan ke RSJ Grogol ya?

Gigan juga punya pengalaman menyebalkan dengan Vespa bututnya. Suatu hari doi dengan Vespa-nya mejeng di salah satu Mal di Jakarta. Tiba-tiba seorang Security meminta Gigan untuk pindah. Karena Mal tersebut nggak cocok buat dipejengin Vespa butut. Kalo Harley Davidson nggak apa-apa. Bukan masalah nggak boleh mejengnya yang bikin Gigan sakit hati. Tapi cara Security itu meminta get out from Mal.

“Kalo kamu merasa diri laki-laki, silahkan angkat kaki dari sini,” kata Security yang wajahnya berewekon itu. Kok wajah berewokan ya? Terserah lah!

Gigan nggak suka dibilang banci. Nggak suka kelaki-lakiannya dipertanyakan oleh seorang Security. Mentang-mentang motornya Vespa lantas dibilang banci. Emang banci nggak ada yang naik Harley? Atau emang laki-laki macho nggak ada yang naik Vespa? Gara-gara cara pengusiran itu, Gigan nggak mau lagi menginjakkan kaki ke Mal itu. Doi bersumpah nggak mau belanja di Mal itu. Nggak mau makan di food court itu.

“Kecuali kepepet!”

Begitu cintanya Gigan pada Vespa bututnya. Doi rela kehilangan kepejakaannya demi mempertahankan Vespa pujaan hatinya. Doi juga rela kehilangan Pacar ke duapuluh limanya demi Vespa bututnya. Padahal kata Gigan, Pacar-nya itu wajahnya mirip Luna Maya. Eh, bukan mirip Luna Maya ding, tapi mirip Omas. Jauh banget ya?

“Waktumu tinggal 1X24 jam!” Babe-nya Gigan mengingatkan.

Sebagai anak yang baik, Gigan terpaksa menuruti perintah orangtuanya tercinta. Doi dengan berat hati harus melepas kepergian Vespa bututnya. Menjelang kepergian sang Vespa butut, Gigan membuat selamatan kecil-kecilan. Doi mengundang beberapa teman-temannya buat tumpengan. Seorang Ustadz juga dihadirkan buat membacakan doa.

“Terus terang saya nggak ngerti kenapa saya harus membacakan doa buat Vespa,” kata Ustadz mengantarkan wejangan sebelum membacakan doa. “Saya juga nggak tahu pasti apakah doa yang akan kita panjatkan ini tergolong musyrik apa nggak. Soalnya segalanya ritual di Indonesia ini serba abu-abu. Adat yang memasukkan unsur-unsur keagamaan dianggap sah-sah aja. Jadi, kalo ada yang bilang doa buat Vespa ini dianggap musyrik, ya harusnya berkaca diri.”

Wejangan Ustadz menyadarkan beberapa orang yang diundang Gigan malam itu. Mereka setuju kalo adat yang ada di Indonesia ini jadi mengajarkan ummat Islam mensahkan kemusryikan. Masa ada upacara mendewakan air bekas memandikan kereta kencana? Masa ada upacara melepaskan kepala sapi yang diletakkan di nampan ke tengah pantai berikut sesaji-sesajinya? Masa ada pula berdoa di makan sambil minta rezeki atau jodoh? Keterlaluan!

“Moga-moga Vespa ini akan berguna bagi nusa dan bangsa,” papar Ustadz.

“Amin!”

“Kalo ada sumur di ladang, kita menumpang mandi...”

“Amin!”

“Kalo ada umur panjang, Vespa ini pasti akan kita jumpai lagi...”

“Amin!”

Doa udah selesai. Saatnya memotong tumpeng. Kebiasaan orang Indonesia juga, tiap ada hajatan, selalu ada tumpeng. Yakni nasi kuning berbentuk kerucut yang di tempatkan di sebuah nampan bambu, dimana di sekitar nasi kuning itu ada berbagai macam lauk pauk. Ada ayam goreng, perkedel, tahu serta tempe bacem, dan lalapan. Biasanya pucuk kerucut akan diberikan oleh orang yang punya hajat ke orang yang dicintai, dihormati, atau paling berjasa bagi hidupnya. Dalam upacara selamatan Vespa butut ini, Gigan memberikan kepada Vespa-nya sendiri. Pucuk kerucutnya itu diletakkan di atas jok Vespa.

“Biar arwah Vespa ini akan memakan nasi tumpeng ini,” jelas Gigan menanggapi beberapa pertanyaan seputar kenapa pucuk tumpeng diberikan ke Vespa. “Dengan makan nasi tumpeng, arwah akan kenyang, dan pergi meninggalkan gw tanpa perut kosong.”

Tiba-tiba.

“Assalamu’alaikum!”

Seorang Pria berwajah Yahudi tiba-tiba muncul di depan pintu rumah Gigan. Babe-nya Gigan langsung menyambut dengan riang gembira. Wajahnya semringah. Mereka berpelukan dan cipika-cipiki. Gigan bingung, sejak kapan Babe-nya bersahabat dengan orang Yahudi. Bukankah selama ini Babe-nya rajin sholat? Bukankah Bebe-nya juga tergabung sebagai Pengurus Masjid? Bahkan Babe-nya sempat menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) cabang Rawasari. Kok doi berteman dengan Yahudi? Ada apakah gerangan?

“Anakku, kenalkan ini Om Barak,” kata Babe.

Om Barak langsung menjulurkan tangannya. Tangannya Om Barak disambut oleh Gigan. Kalo Om Barak tersenyum, sebaliknya Gigan masih bingung. Wajahnya masih menggambarkan tanda tanya besar soal hubungan diplomatik Om Barak dengan Babe-nya ini.

“Nama orang Yahudi ini mengingatkan kayak nama Presiden Amrik ya?” tanya Gigan dalam hati. Yap, nama Om Barak memang kayak nama Presiden Amrik ke-40, Barrack Obama. Namun wajahnya nggak mirip-mirip acan atau nggak sama sekali. Wajah Om Barak malah lebih mirip orang yang mau berak atau bahasa halusnya orang mau pup. “Pantesan namanya Barak. Kata Barak dengan kata Berak beda tipis....”

“Om Barak ini yang akan membeli Vespa butut kamu.”

Kata-kata Babe-nya Gigan langsung membuat kepala Gigan pening dan mau pecah. Betapa nggak mau pecah, Vespa yang selama ini dirawat dengan baik dan benar, tiba-tiba mau dibeli oleh orang lain. Orang Yahudi pula. Memang sih, meski dirawat jadinya butut-butut juga, toh Vespa butut itu tetap number one di mata Gigan. Nothing compares to you. Kok kayak lagunya Sinead O’Connor sih?

“Why Babe? Why?” Gigan nggak ngerti kenapa Babe-nya tega melepas Vespa demi orang Yahudi.

“Because your Vespa is butut! Selain itu, Vespa ini akan dimusnahkan di Perbatasan Gaza sebagai tanda kekalahan Yahudi atas Palestina.”

Itulah mengapa Gigan menangis. Nangisnya dengan gaya meraung-raung dengan nada dasar D mayor. Doi nggak nyangka Vespa butut-nya cuma dijadikan tumbal. Babe-nya nggak berprike-vespa-an. Masa Yahudi yang kalah, Vespa butut-nya yang dikorbankan? Harusnya dikorbankan para Koruptor-Koruptor yang sekarang hidup nyaman di rumah tahanan itu.

Sebelum Vespa butut-nya diangkut oleh Om Barak and the Gang, Gigan memeluk erat-erat motor kesayangannya itu. Selain memeluk, doi pun mencium berkali-kali. Menciumnya nggak cuma di lampu depan, tapi mencium stang, stater, rem, jok, ban, dan nggak ketinggalan knalpot.

“Apapun yang terjadi, aku tetap menyayangimu my Vespa,” ujar Gigan dengan suara bergetar tanda haru.

Babe-nya Gigan mendekat. Dia memegang pundak Putranya sambil tersenyum.

“Calm down my Son. Babe punya kado istimewa buat kamu,” ujar Babe.

“Pardon..”

Gigan berdiri. Babe mengantar Gigan menuju sebuah ruang yang sengaja di set gelap gulita. Maksud hati, si Babe pengen bikin surprise si Gigan. Kayak di film-film gitu. Lampu dimatikan, begitu orang yang mau dikagetin muncul di ruang, lampu dinyalahkan dan beberapa orang langsung teriak: “Surprise!!!!!”

“Moga-moga kamu senang ya my Son.”

“Hah?! Blackbarry?!”

Gigan langsung jingkrak nggak terkendalikan. Seluruh barang-barang yang ada di sekitar ruangan, ditabrak satu per satu. Nggak heran banyak barang yang ambruk, mulai dari lemari, kursi, meja, piring-piring, dan lain sebagainya. Babe-nya cuma bisa geleng-geleng kepala dan memaklumi.

Gigan kini berbalik persepsi. Kalo sebelumnya si Babe dianggap tega dan nggak berprike-vespa-an, kini Gigan menggap Babe-nya is the best. Babe-nya ngerti banget keinginan Gigan yang udah lama diimpi-impikan. Sebuah Blackbarry warna pink. Blackbarry yang akan menemani kapan pun, dimana pun doi melakukan chatting, browsing, dan main Facebook.

“You are my Hero, Be! I can’t stop loving you...”


all photos and video copyright by Brillianto K. Jaya

Minggu, 15 Maret 2009

KEJARLAH DAKU BAJAJ KUTANGKAP


Meski udah ada yang 4 tak, tetap aja Bajaj 2 tak ini ngalor-ngidul di Jakarta. Maklum, harganya yang 2 tak murmer, yakni 25 jutaan. Sementara Bajaj 4 tak yang bahan bakarnya dari gas harga jualnya 35 jutaan.


Meski udah maju pesat kayak di New York, warga Jakarta tetap butuh bajaj sebagai kendaraan umum favorit. Meski nggak pake AC kayak taksi, tapi soal eksklusif, bajaj nggak kalah kayak taksi. Hebatnya lagi, bisa masuk-masuk gang segala.


Tangki bajaj. Kalo bajaj 2 tak bahan bakarnya bensin campur. Campuran antara bensin, solar, dan kadang-kadang campur dorong.


Mesin bajaj yang bikin kuping jadi budeg. Kalo diibaratkan, suara bajaj mirip suara Penyanyi trash metal, bo! Opa dan Oma yang kupingnya udah budeg, dilarang naik bajaj, kecuali kuping mereka mau tambah budeg.



Stang bajaj yang mirip stang Vespa.



Ngebenerin bisa dimana aja. Nggak peduli jalanan lagi padat-padatnya atau lagi sepi. Sing penting, Bajaj kudu dibetulin dulu. Ngejar setoran, cin!



Ini deretan bajaj yang ada di samping Mal Arion. Gw nggak ngerti, kenapa Polisi nggak ada yang melarang bajaj ngetem di situ. Padahal pos Polisi ada di seberangnya. Cuma bajaj yang bisa begini...


Nggak ada dongkrak, kayu pun jadi. Kalo elo niat jadi Tukang Bajaj, siap-siap kalo ngebetulin bajaj rusak, kudu ahli dorong-mendorong dan tahu dimana lokasi yang harus diganjel.



Jadi sopir bajaj kudu berani. Nggak cuma berani malu gara-gara berhenti seenak udelnya, tapi berani kebut-kebutan kayak Pembalap yang biasa latihan di Sentul. Belok kanan, belok kiri seenek-enaknya. Yang tahu kapan berhenti, kapan jalan, kapan belok, cuma sopir bajaj dan Tuhan.


all photos copyright by Brillianto K. Jaya

EMANG POLISI INGGRIS KAYAK GITU?

Begitu menyebut kata Bekasi, yang terlintas di kepala Robert, sebuah kota padat penduduk, penuh perumahaan kelas menengah-bawah dengan segala kesemerawutannya. Panas dan banyak debu bertebaran. Angkot-angkot bertebaran di mana-mana. Pokoknya semerawut lah.

“Udah gitu, di Bekasi masih banyak serigala dan domba-domba liar yang siap menerkam penduduk setempat,” tambah Robert yang kebetulan diberikan rezeki tinggal di Jakarta nan indah permai ini.

Kata orang, Jakarta biang macet. Lalu lintasnya semerawut. Penduduknya padat. Namun kalo ditelusuri dengan seksama, mayoritas Manusia yang memadatkan dan memacetkan Jakarta, berasal dari daerah-daerah di luar Jakarta. Nggak percaya? Coba periksa KTP mereka, pasti akan tercantum alamat Cibubur, Depok, Bogor, Tangerang, dan tentu saja Bekasi. Tiap Senin-Jumat, bahkan Sabtu, Manusia-Manusia Bekasi, turun ke Jakarta. Katanya sih buat cari hiburan. Kasihan ya di Bekasi nggak ada hiburan?

“Iya sih. Di tempat gw cuma ada perosotan dan ayunan. Paling mahal hiburannya bioskop. Itu pun setengah layar tancap, setengah gedung,” papar Agam, warga Bekasi yang kerja di Kawasan Industri Arion.

Robert langsung sakit perut ketika harus ke Bekasi. Sebagai warga metropolitan, doi paling anti pergi ke Bekasi. Namun, doi kudu bela-belain buat pergi ke Bekasi. Pasalnya, sohib doi yang bernama Juju Sumringah mengundangnya 7 bulanan. Jangan salah ya, yang 7 bulanan adalah Juju, bukan Robert. Soalnya, Juju itu berjenis kelamin wanita, sementara Robert adalah pria. Entahlah kalo nantinya akan memutuskan akan berganti jenis kelamin.

“Kenapa sih acara 7 bulanannya nggak dibuat di Jakarta aja, Ju?” tanya Robert. “Nyewa tempat gitu kek, misalnya di Mal Ambassador atau di Plaza Semanggi. Kan keren banget? Apalagi yang elo kandung itu kan anak pertama...”

“Nanti kalo elo yang 7 bulanin, elo buat sendiri sama keluarga loe, gimana menurut loe?” jawab Juju agak sewot. Mau menggampar Robert nggak tega. Takut badannya jadi kempes dan kandungannya jadi terganggu.



“Oke juga tuh idenya, Ju! Thx ya?”

“Sama-sama Beruang!”

Oleh karena perhelatan Juju nggak bisa dirubah, Robert terpaksa kudu ke Bekasi. Sebagai pria yang beriman kepada Tuhan yang Maha Esa, doi nggak pergi ke Bekasi sendirian. Kata doi, Maminya nggak mengizinkan dirinya pergi ke Bekasi sendirian. Takut ada kampak merah. Udah gitu, takut nyasar juga, karena ternyata di Bekasi masih banyak mayat yang bergeletakan di jalan. Konon kabarnya banyak Preman yang ditembakin dan dibuang ke situ.

Robert pergi dengan kekasihnya Mia dan selingkuhannya Rafid. Sebagai tumbal supaya nggak nyasar, diajak pula Agam yang warga Bekasi dan dua dayang-dayangnya: Nanda dan Kokom. Mereka pergi dengan sebuah mobil keren tapi antik, yakni Metromini. Sengaja dipilih Metromini. Kenapa? Karena Metromini mencirikan mobil matropolis yang nggak ada duanya, tapi ada tiganya.

“Ada-ada aja loe bawa Metromini, Bet?” kata Rafid agak protes, karena seumur-umur belum pernah merasakan naik metromini, tapi sempat jadi Kondektur bis Patas AC.

“Betul tuh sayang. Seharusnya kamu mengeluarkan mobil Jagguar warna hijau belang-belang merah,” kata Mia sang kekasih pujaan hati.

“Mobi Jagguarnya lagi dijemur sama Mami,” kata Robert. “Udah lah, terima aja kenyataan hidup ini. Kebetulan mobil yang nganggur di rumah, ya Metromini ini, Cin. Gimana dong?”

“Yaudah! Tapi gw nggak mau nyetir ya...” ucap Agam.

“Gw juga nggak mau! Soalnya gw lebih suka bawa truk,” kata Nanda. “Elo aja Kom?”

“Gw? Ada-ada aja, loe? Masa cewek imut kayak gw disuruh nyetir Metromini? Kalo bajaj gw mau!”

Semua mata memandang Robert. Itu artinya, Robert yang patut mengendarai Metromini ini. Kesempatan emas ini diberikan ke Robert, karena beberapa alasan, antara lain: Robert pemilik sah Metromini, badan Robert pas dengan Metromini. Kalo disandangkan di pelaminan, Robert dan Metromini bak pinang dibelah dua. Selain itu, Robert punya pengalaman menjadi Sopir dan sebelumnya magang jadi Kondektur.

“Tega banget sih loe pade?!” protes Robert.

“Ini anugerah terindah yang pernah kau miliki sayang,” kata Mia pada Robert, sambil membelai-belai rambut Robert yang udah mulai rontok gara-gara sering dimakanin tikus. Berkat dorongan dari kekasihnya, Robert akhirnya mau melaksanakan ibadah puasa, eh salah, menjadi sopir buat pergi ke Bekasi.

“Bekasi I’m comming!!!!!”

Sepanjang perjalanan, mereka bergembira ria. Maklumlah, perjalanan ke Bekasi jauh bener! Kalo kita nggak gembira, bakalan BT abis, Cin! Dalam kegembiraan itu, mereka menyanyikan lagu-lagu yang biasa dibawakan di karaoke, yakni “Madu dan Racun”, “Gelas-Gelas Kaca”, “Nina Bobo”, dan 50 lagu lainnya. Lagu yang paling keren yang mereka nyanyikan adalah “Wake me up before you Go Go” dari Wham.

Ternyata jadi orang Bekasi nggak menjamin bakal nyasar. Agam yang orang Bekasi aja bingung dengan kota tercintanya itu. Doi jadi nggak berfungsi banget. Maksud hati diajak supaya nggak nyasar, apa daya nyasar juga. Gara-gara nyasar itulah mereka terpaksa harus mencari Manusia yang hinggap di sepanjang jalan.

Mencari Manusia yang sempurna benar-benar susah. Sebetulnya Manusia sempurna ini buat ditanyakan lokasi rumah Juju. Yang ada hanyalah beberapa Tukang Ojek yang jaketnya bau-bau itu. Robert memutuskan buat menepikan Metromini. Doi ceritanya mau mempraktekkan pepatah kuno, yakni malu bertanya agar nggak sesat di jalan.

“Bang rumah Juju dimana?” tanya Robert.

Tukang Ojek bingung tujuh keliling. Kok rumah Juju? Mana doi tahu rumah Juju? Yang doi tahu rumah hantu Pondok Indah. Itu pun udah dibongkar. Yang doi tahu rumah Konglomerat tersoroh sejagat raya Brillianto K. Jaya. Kok rumah Juju?

“Juju srimulat, Bos?” tanya Tukang Ojek.

“Emang di Srimulat ada Juju Bang? Bukannya Cuma Gepeng, Asmuni, Tarzan, Timbul...”

“Stop! Stop!”

Robert stop berbicara.

“Abang mau tanya Juju atau mau ngebahas Srimulat, nih?”



Robert cengegesan. Doi akhirnya membuka rahasia maksud dan tujuannya bertanya. Dengan penuh kemesraan, si Tukang Ojek juga mendengarkan apa yang diuraikan Robert.

“Oh itu toh rumahnya Juju! Kalo itu mah dari tadi bilang, ane tahu lokasinya,” ucap Tukang Ojek yang kumisnya yang sebelah kanan udah mau putus itu. “Abang cari aja Polisi Inggris.”

“Polisi Inggris?” Robert heran. Kok di Bekasi ada Polisi Inggris? Di Jakarta aja nggak ada Polisi Inggris? Adanya Polisi Pamong Praja atau Polisi Lalu Lintas atau Polisi Wanita. Kok Bekasi jauh lebih hebring ada Polisi Inggris segala?

“Pokkoknya cari gerbang yang ada Polisi Inggris-nya. Itu pasti kompleks rumah Juju.”

Sambil berbingung-bingung ria, Robert dan kawan-kawan mencari gerbang yang ada Polisi Inggrisnya. Yang terbayang di otaknya, konsep Polisi Inggris adalah bertopi panjang, wardrobenya merah darah, dan membawa senjata laras panjang. Baik Robert maupun Agam, Nanda, Mia, Rafid, dan Agam memakai konsep yang sama soal Polisi Inggris. Yang beda Cuma Kokom. Menurut apa yang doi tahu, Polisi Inggris itu rambutnya pake pita, wardrobe-nya pake tuxido, dan sepatunya pake pantopel.

“Itu mah Bruce Lee lagi mo kondangan, Kom! Ada-ada aja sih loe,” kata Rafid.

Berjam-jam udah lewat. Robert dan kawan-kawan nggak menemukan Polisi Inggris. Yang ada Tukang Las Ketok Duco, Tukang Tambal Ban Goodyear, Warteg Pak Kumis, Sate Padang Uda Pengkor, dan Lapotuak Enrico Situmorang. Namun tanpa sengaja, Rafid melihat beberapa patung Prajurit di depan pintu masuk kompleks perumahaan. Rafid langsung menepuk pundak Robert agar menghentikan Metomininya. Metromini yang sedang berjalan dengan kecepatan 80 km/ jam langsung direm mendadak oleh Robert.

“Kira-kira dong loe Bos kalo ngajakin berhenti!” Robert sewot. Untung nggak terjadi tabrakan beruntun.

“Mungkin yang dimaksud Tukang Ojek bukan Polisi Inggris. Tapi Pajurit Romawi kali,” kata Rafid.

“Sejak kapan Prajurit Romawi pindah jurusan jadi Polisi Inggris?” kata Agam yang sempat benjol kena kaca Metromini gara-gara adegan rem mendadak tadi.

“Iya, Fid! Mana mungkin?”

Begitu yakinnya Rafid. Nggak heran dengan kekuatan penuh, doi turun ke jalan buat menanyakan kompleks rumah Juju pada dua Security yang ada di depan gerbang. Ketika Rafid menghampiri, dua Security tersebut langsung bergegas memakai lipstick dan memakai bedak. Mereka berdua tahu banget kalo Rafid suka cowok kayak mereka berdua, apalagi profesinya Security.

“Pak, rumah Juju di kompleks sini bukan?”

“Lho kok tahu? Kamu sering main ke kompleks ini ya?” kata Security Number One.

“Iya nih! Kalo main ke sini bilang-bilang dong. Kan kita bisa ketemuan,” kata Security Number Two.

“Jadi bener nih?” tanya Rafid meyakinkan si Security yang wajahnya lagi berbinar-binar memandang Rafid. Mereka seolah melihat seorang Luna Maya versi cowok yang ada di hadapan mereka.

Sebelum dua Security itu menciumnya, Rafid langsung kabur. Robert dan kawan-kawan bingung. Nggak ada anjing, kok terbirit-birit begitu. Begitu Rafid memerintahkan jangan banyak tanya, mereka langsung masuk ke kompleks perumahaan rumah Juju yang ternyata lumayan indah itu.

Akhirnya mereka sampai juga di rumah Juju. Sebagai Tuan Rumah yang baik, Juju menyambut dengan penuh suka cita. Doi mengalungkan kembang ke seluruh temannya itu, karena udah berhasil sampai ke Bekasi. Selain mengalungkan kembang, Juju juga menyiramkan ke Robert dengan seember air yang udah dicampung dengan kuning telor. Hal tersebut sebagai tanda, Robert adalah sopir Metromini yang jempolan dan layak dipuji.

“Boleh makan sekarang nggak Ju?” tanya Rafid.

“Tentu saja. Sebelum makan jangan lupa cuci tangan dan cuci kaki dulu ya. Soalnya kata Ibu Guru TK gw, dari tangan dan kaki bisa mengeluarkan cacing,” jelas Juju yang siang itu memakai kebaya dan konde ala Ibu-Ibu Pejabat.

Semua makan, kecuali Robert. Teman-temannya cuek. Mereka pikir, Robert memang nggak usah makan lagi. Di perutnya masih banyak makanan yang disimpan. Lagipula kalo kebanyakan makan, tensi darah dan gula Robert akan semakin menanjak. Bisa-bisa asam urat, kolesterol, darah tinggi, gula dara, dan aneka penyakit lain akan berkembang dengan cepat. Ujung-ujungnya doi bisa semaput alias mati di tempat. Tentu saja teman-temannya nggak mau bertanggung jawab kalo Robert mati. Nggak tahu kalo Juju mau.

“Elo nggak makan, Bet?” tanya Juju dengan intonasi lembut.

“Gw nggak bisa terima dengan perlakukan Tukang Ojek tadi!” jelas Robert. “Masa gw dikasih petujunjuk kompleks rumah loe ada Polisi Inggris-nya? Padahal gw sama sekali nggak menemukan petunjuk yang dimaksud. Gw sebagai orang yang pernah ke Inggris nggak terima dengan perlakukan Tukang Ojek itu!”

“Jadi mau loe apa, Bet?”

“Gw mau samperin dan minta pertanggungjawaban!”

Robert pun pergi meninggalkan rumah Juju, sekaligus meninggalkan kompleks perumahaan tersebut. Pada saat melawati pagar depan kompleks, dua Security sempat menanyakan Robert soal Rafid. Oleh karena lagi naik pitam, pertanyaan nggak penting dua Security itu dibalas oleh Robert dengan bentakan. Kondisi yang nggak mengenakkan itu membuat Security Number One dan Number Two nangis.

“Nanti gw bilangin Direx lho!” kata Security Number One sambil menangis dengan nada dasar B.

“Siapa tuh Direx?” tanya Robert menantang. “Panggil tuh yang namanya Direx, gw kagak takut!”

Robert tancap gas. Metromini yang dikendarainya menyusuri jalanan yang penuh dengan motor dan kendaraan pribadi. Dasar cuek, doi melakukan zig-zag kayak sopir Metromini yang ngejar setoran. Namun kali ini bukan ngejar setoran, tapi ngejar Tukang Ojek di pangkalan.

Sesampainya di pangkalan, Robert langsung mencari Tukang Ojek yang tadi memberi tahu alamat rumah Juju. Kebetulan di situ ada sekitar lima belas Tukang Ojek. Robert memandangi satu per satu wajah Tukang Ojek yang ada di situ. Robert sempat bingung, rata-rata wajah mereka ganteng-ganteng. Ada yang mirip Anjasmara. Ada pula yang mirip Fahri Albar. Robert jadi malu sendiri, karena wajahnya nggak seganteng Tukang-Tukang Ojek di situ. Untunglah kemaluannya dikikis abis, dan lebih fokus pada kemarahannya. Lebih tepatnya, ingin meminta pertanggungjawaban pada Tukang Ojek tadi.

“Siapa di antara Abang-Abang ini yang tadi ngasih tahu gw dimana rumah Juju berapa?” tanya Robert, sambil meletakkan kedua tangannya di pinggang.

Para Tukang Ojek diam. Mereka saling berpandang-pandangan. Setelah berpandang-padangan, mereka menatap Robert dan menggelengkan kepala secara bersama-sama.

“Kok nggak ada yang ngaku sih?”

Para Tukang Ojek diam lagi. No comment, persis Dessy Ratnasari yang janda tiga kali tapi masih tetap bahenol itu. Persis mantan Presiden Megawati yang jarang ngomong dan jarang berkomunikasi dengan wartawan itu.

“Gw cuma mau ngasih tahu, next time kalo ada yang tanya rumahnya Juju, jangan sebut-sebut Polisi Inggris lagi ya?”

“Emang kenapa, Bang?” seorang Tukang Ojek berani bertanya.

“Patung yang ada di kompleks rumah Juju buka patung Polisi Inggris, tapi Abdi Dalem dari Yogya, tahu?!”

“Oh begitu ya?”

“Iya, begitu!”

“Emang Abang pernah ke Inggris?”

“Belum! Tapi gw tahu Polisi Inggris itu kayak gimana. Bukan kayak Patung di kompleks itu...”

“Bang! Gw yang pernah ke Inggris nggak sombong kayak Abang...” tiba-tiba salah seorang Tukang Ojek lain ikut-ikutan bicara.

Mata Robert melotot. Bukan melotot marah, tapi melotot kaget.

“Polisi Inggris zaman sekarang ya persis kayak Patung itu. Polisi Inggris sekarang udah mereformasi diri. Sekarang Polisi Inggris jadi mirip kayak Prajurit Yunani. Kalo nggak percaya, sekarang Abang ke Inggris aja...”

“Nggak mau, ah. Mahal!”

“Nah, makanya dari itu. Jangan sok protes-protes segala...”

“Maafin ya, Bang...”

“Sip! Oh iya, kapan-kapan kalo mau melancong ke Inggris kabarin aye ya Bang..."

"Emang Bang mau ke Inggris?"

"Enggak! Tapi ane mau ke Garut..."

"....."

Selasa, 10 Maret 2009

COBA GW NURUT KATA EMAK....

Akhirnya gw bisa bangga pada Emak. Padahal sebelum-sebelumnya, boro-boro bilang “I’m so proud of you, Mak!”, gw selalu ucap “I hate you, Mak!”. Why? Because Emak gw nggak beda sama Emak-Emak lain. Ibu Rumah Tangga yang pake daster dan kerjaannya gosip sana gosip sini.

“Habis nggak ada kerjaan lain? Kalo nggak ngegosip ngapain dong?”

Kata-kata Emak itu seolah menutup pintu dan jendela-jendela bahwa yang namanya Ibu Rumah Tangga kerjaannya ya ngegosip. Ada juga sih kerjaan yang lain, yakni nonton TV. Tapi program yang ditonton dan digemari, ya gosip alias infotainment. Ada juga kerjaan lain, yakni membaca. Tapi bacaannya tabloid yang berisi gosip-gosip selebritis. Gosip again! Gosip again!

Begitulah Emak gw. Nggak bisa pisah ranjang sama yang namanya gosip. Jadi kalo udah waktunya program gosip menyudara, remote control beralih ke tangan Emak. Remote itu digenggam erat. Nggak ada yang boleh sentuh, baik remote maupun TV. Kalo udah begitu, gw dan adik-adik gw langsung menyingkir dari ruang tamu. Di ruang itu tinggal Emak dan Pembokat.

“Kasihan ya Aldi Taher?” kata Emak.

“Kenapa, Nyah? Bukannya enak bisa kawin sama Dewi Persik?” Itu kata Pembokat. “Dewi itu kan ngetop berat, Nyah? Saking ngetopnya tiap mau show selalu dicekal...”

Pembokat gw memang faseh baget kalo ngomong gosip terkini, khususnya masalah idolanya: Dewi Persik. Doi tahu gosip-gosip Dewi sejak masih pacaran dan married dengan Saiful Djamil. Namanya juga fans, doi tahu segala tentang Dewi, mulai dari tanggal lahir, bintangnya, tempat tinggalnya, dan of course album-albumnya. Gokilnya lagi, Pembokat gw juga tahu Dewi sedang pake celana dalam motif apa dan BH warna apa.

“Saya kasihan sama Aldy gara-gara dia dibohogin, Cin! Status Dewi ternyata masih belum cerai. Gokil nggak tuh?”

“Gokil tuh, Nyah!”

Terus terang percakapan kayak begitu pasti bakal terjadi setiap hari. Selama program gosip masih dikandung badan, baik Emak dan Pembokat gw pasti akan melakukan chit-chat kayak begitu. Luar biasanya, yang chit-chat cuma dua Manusia, tapi suaranya menggelegar sampai ke RT tetangga. Habis, seru banget. Ibaratnya, kayak anggota DPR/ MPR yang sedang melakukan diskusi atau Mahasiswa-Mahasiswa yang sedang protes soal kenaikkan harga pecel lele dan indomie.

Tiap kali chit-chat dengan Emak, yang ada di otaknya cuma gosip updates. Ini hampir mirip kayak member yang selalu menulis sesuatu di status updates. Bedanya, kalo status updates agak narsis, sedang gosip updates ngurusin rumah tangga dan kehidupan pribadi selebritis. Padahal gw ingin sekali chit-chat dengan Emak seriouslly. Betapapun Emak cuma Ibu Rumah Tangga yang doyan gosip, gw tetap menghormati beliau. Lebih dari itu, kebanggaan gw baru satu, yakni gw berhasil dilahirkan lewat rahim Emak dan kini menjadi pria ganteng jental-jentul. Setelah itu, nggak ada lagi yang gw bisa banggakan dari Emak gw.

“Please berubah lah, Mak,” kata gw someday in the evening.

“Maksud loe?”

“Nggak usah sering-sering nonton gosip. Kata MUI, gosip itu haram hukumnya...”

“Halah! MUI kan selalu bikin sensasi. Dikit-dikit haram, dikit-dikit haram. Kemarin rokok dibilang haram. Lama-lama nyeberang nggak dijembatan penyeberangan bisa dibilang haram, wakil rakyat yang nggak menghadiri rapat bisa difatwakan haram juga...”

Kadang-kadang Emak pintar juga. Diam-diam doi mengamati hal-hal lain di luar gosip. Belakangan gw baru sadar, Emak itu faseh juga bicara soal politik, ekonomi, sosial, budaya, Matematika, Bahasa Indonesia, Tata Buku, Pendidikan Moral Pancasila, Fisika, Kimia, Biologi, cara beternak ayam kate, cara melakukan aborsi yang efektif dan efisien, 30 gaya bercinta ala David Copperfield, sampai cara efektif membuat anak dalam 24 jam. Gokil bukan?

“Amazing!” Gw langsung takjub begitu mengetahui otak Emak yang luar biasa itu. Padahal selama ini gw terlalu under estimate Emak. Meremehkan Ibu Kandung gw yang tercinta ini. Ternyata.... she is incredible woman. Bukan incredible hulk, lho!

“Thank you Son.”

Yang bikin gw takjud lagi, ternyata dahulu Emak adalah seorang Rocker. Ini terungkap setelah gw menggali-gali lagi soal pengetahuannya yang beragam itu. Salah satu mata pelajaran yang doi suka adalah musik. Gara-gara musik, doi melangkah ke dunia musik sesungguhnya. Setelah mengikuti kursus menyanyi dengan guru vokal terkenal: Brillianto, Emak gw ikut beberapa festival rock. Hebatnya, doi menang semua. Dari beberapa festival itulah, doi bertemu dengan Pemandu Bakat termasyur, yaitu Ksatrya Jaya.

“Sejak itu Emak jadi Rocker.”

Emak gw rocker!!!!!

Pantas, di rumah gw banyak kaset-kaset rock. Ada Kiss, Judas Priest, Motley Crue, Aerosmith, dan masih ribuan kaset lagi. You know what? Gw nggak pernah dengar kaset-kaset itu, even menyetuhnya. Semua menumpuk di sebuah lemari tua berukuran 5X5 cm. Emak gw udah mengkoleksi kaset sejak tahun 70-an, saat masih ada perusahaan rekaman Ramako. Emak gw juga masih punya banyak koleksi kaset milik perusahaan Atlantik Records atau Aquarius, dimana tahun-tahun itu pembajakan lagu-lagu bule lagi marak. Nggak heran Bob Geldof sempat ngasih statement: “Indonesia negara pembajak!”. Brengsek juga tuh bule, tapi bener juga sih.

Anyway, gw nggak nyangka Emak gw ternyata rocker. Katanya, doi angkatan Nicky Astria. Sebelum Nicky Astria mengeluarkan album “Tangan-Tangan Setan”, Emak gw sempat bikin album “Tangan-Tangan Tuyul”. Meski albumnya nggak ngetop, Emak gw sempat jadi idola di Kelurahan. Tiap kali Emak manggung, panggung pasti rubuh.

“Dulu fans Emak banyak banget, Cin. Kalo dihitung-hitung, ada kali 50-an...”

“Maksudnya limapuluh ribu orang?” tanya gw meyakinkan.

“Ya nggak sampe segitu Tong. Emang cuma 50 orang.”

Gw terpaksa menyetujui angka 50 dianggap banyak oleh Emak gw. Tapi mungkin ada benarnya juga sih. Dahulu, jumlah orang nggak sebejubel sekarang ini, ya nggak? Buat ukuran Kelurahan, jumlah penonton 200 orang udah cukup fantastis. Dari 200 penonton kalo 50 orang jadi fans, ya wajar dong?!

“Coba dulu kamu ikuti kata Emak, pasti kamu bakal jadi Rocker terkemuka, Cin,” kata Emak dengan raut wajah agak menyesal. “At least ketenaran kamu mirip kayak Ariel Peter Pan atau Giring Nidjie.”

“Kapan Emak pernah ngajak saya jadi Rocker? Perasaan belum pernah deh?”

Emak menggeleng. Gw dianggap melupakan sejarah. Gw heran kenapa bisa dicap begitu? Setahu gw Emak nggak pernah mengajak gw menyukai lagu-lagu rock. Setahu gw juga, Emak belum pernah ngajak gw ikut kursus vokal atau ikut kompetisi rock. Yang gw inget, Emak selalu membawa tape compo dan mengajak gw ke lorong bawah tanah.

“Itu namanya bukan menjeruskan saya jadi penyanyi rock, Mak. Lorong bawah tanah itu kan bau tokai. Lagipula gelap banget. Emak kan tahu saya takut gelap. I love terang benderang...”

“Maksud Emak tempo hari itu supaya kamu latihan teriak-teriak..”

“Mana saya tahu, Mak?”

“Kamu sih rada tolol. Mending latihan sama Emak daripada kursus di Purwatjaraka atau di Elfa Scisoria? Muahal kan, Cin?”

Rupanya compo yang Emak bawa supaya bisa memutarkan lagu-lagu dari penyanyi rock. Setelah lagu diputar, gw disuruh teriak-teriak sekuat tenaga. Kata Emak, kalo teriak-teriak di lorong bawah tanah nggak bakal diomelin oleh tetangga. Tetangga bisa tidur siang atau malam dengan tenang. Maklum, rumah gw berada di gang sempit yang dihuni puluhan kepala keluarga, dimana tiap rumah berukuran 2x2 meter bisa dihuni sepuluh kepala Manusia.

Gw sekarang juga baru tahu, dengan sebuah compo dan teriak-teriak di lorong bawah tanah, Emak akan mengajarkan gw teknik vokal agar jadi Rocker sejati. Saya menyesal nggak mengerti apa kata Emak. Makanya elo-elo kudu nurut apa kata Emak. Apa yang elo rasa nggak ok, maksudnya belum tentu jelek. Siapa tahu Emak loe bakal menjerumuskan elo ke masa depan yang cerah ceria. Jangan sampai kayak gw, menyesal nggak bisa jadi Rocker.

“Padahal kalo kamu jadi Rocker, boleh jadi pacar kamu adalah Luna Maya atau Hellen Sparlingga.”

“Gimana kalo sekarang Emak ajari saya jadi Rocker? Kita latihan teriak-teriak di lorong bawah tanah?”

“Udah telat kale?! Lorong itu sekarang udah nggak bisa lagi dipake buat teriak-teriak. Soalnya udah dijadikan tempat tinggal para Pengungsi. Gara-gara rumah mereka udah digusur Tramtib, karena tanahnya mau dibangun apartemen...”

“O gitu?”

“Kalo kamu tetap maksa nyanyi, mereka bakal merasa tergusur lagi. Gara-gara suara kamu yang fals-fals gitu deh. Kasihan kan?”

“Iya juga sih...”

Senin, 02 Maret 2009

THE LAST CHAPTER



Now it the time to me to kill myself. This is my last chapter. I hate to be rich and living in a great condominium. Benar-benar memuakkan tinggal di atas situ. I don't have much friends and too much privacy. Gw lebih suka hidup bersama banyak Manusia dan membuka diri kayak Dewi Persik. Kehidupan gw harus diketahui orang banyak. No secret life.

"Elo serius mo mengakhiri hidup loe?" simply question but stuppid.

"Yaiyalah!" begitu yakinnya gw.

Saat ini, kaki gw udah setengah berada di ujung balkon kondominum. Angin yang sangat keras mengayun-ayunkan badan gw, sehingga keseimbangan gw dipertaruhkan. Namun, dialog dengan teman gw itu, tetap berlangsung dengan hikmat.

Teman gw yang rada jenius tapi tolol sesekali melihat ke bawah kondominium. Doi percaya nggak percaya kalo gw yang kaya raya ini akan mengakhiri hidup dengan cara yang norak. Meloncat dari lantai 50.

"Elo serius, bro mau loncat?"


video copyright by Brillianto K. Jaya